150622 ; ednamy.

Hoshi as Edward. Sana as Anna. Zoa as Amy.

kissing, typo.


“Amy ada uangnya?” tanya Anna ketika Amy mengatakan kalau ia ingin mentraktir mereka berdua untuk makan malam. Anak tunggalnya itu mengangguk dengan antusias.

“Ada kok, Mi! Aku sengaja nabung, nanti aku juga nabung lagi buat ulang tahun mami.”

Anna terdiam sebentar dan tersenyum tipis. “Kalau kita bayar berdua gimana? Nanti kita beliin papi makanan paling mahal.”

“Hmm ... gini aja, mi. Tetap aku yang traktir, tapi semisal uangku kurang mami boleh bantu. Gimana?”

Anna mengusak rambut anak itu gemas. “Baiklah, as you wish, princess,” katanya lalu kembali menonton televisi.

Mereka berdua sudah bersiap-siap untuk pergi. Hanya tinggal menunggu kepulangan Edward dari kantornya.

“Sekarang kita tinggal tunggu papi. Omong-omong, papi sama mami gak mau aku hari ini nginep di rumah nenek aja?” tanya Amy membuat Anna menatapnya bingung.

“Loh, kenapa harus nginep? Papi sama mami gak akan pergi, kok.”

Amy menatap Anna dengan meledek. “Ya ... siapa tahu ... mami mau ngasih papi hadiah spesial.”

Anna mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu wajahnya terlihat memerah. Dia menggeleng setelah itu, membuat Amy yang memperhatikannya tertawa gemas.

“Mami udah ngasih papi hadiah paling spesial dari lama, sampai sekarang gak ada yang bisa gantiin itu,” ucap Anna tanpa menatap pada Amy, masih malu dan menyesal karena tanpa sadar sudah bereaksi demikian di depan putrinya.

Amy menatap Anna dengan binar penasaran. “Apa itu, Mi?”

Anna balas menatap lalu mengusap pipi Amy pelan.

“Kamu, Sayang.”


Where are we going?” tanya Edward ketika dua orang yang ia sayang sudah duduk dengan nyaman dalam mobilnya.

“Aku udah kirim location-nya ke papi,” jawab Amy dan Edward mengangguk paham. Ia lantas menyalakan ponselnya untuk melihat tujuan mereka.

“Oh ini, 'kan ...,” ucap Anna menggantung, ia turut melihat lokasi yang Edward buka.

“Restoran tempat mami kerja dulu, 'kan? Aku minta alamatnya ke Tante Cherry.”

Amy menatap keduanya dengan bingung karena tak kunjung mendapat balasan. “Kenapa, kok diem?”

Edward terkekeh canggung. “Maaf, jadi kita pergi ke sana, 'kan?” tanyanya sambil menatap pada Anna. Untuk beberapa detik ada hening di antara mereka, sebelum akhirnya Anna mengangguk sebagai balasan.

“Ayo.”

“Uhm ... kalau kalian gak nyaman kita bisa ganti tempatnya,” ucap Amy merasa tak enak. Dilihat dari reaksi kedua orang tuanya, ia tahu ada yang tidak beres.

Anna tersenyum. “Gak papa, kok. Ayo ke sana, Ed.”

Edward mengangguk seraya melajukan mobilnya menuju tempat itu.

Sesampainya, sebelum masuk Anna sempat terpaku di depan pintu. “This place has changed a lot,” gumamnya.

Edward merangkul Anna lalu menuntunnya untuk masuk ke sana. Amy sudah masuk lebih dulu.

“Benar gak papa?” bisik Edward.

Anna tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya.”

Alright.”

Ketika sudah mendapatkan meja dan buku menu. Amy meringis melihat daftar harganya. “Ternyata benar mahal, ya.”

“Kalau mau, papi aja yang traktir hari ini,” balas Edward dan langsung diberi gelengan oleh anaknya.

“Aku bawa cukup banyak kok—tapi kalau kurang boleh bantu,” jawabnya diakhiri dengan kekehan.

“Kalau begitu, Amy dulu yang pesan, ya.”

“Tapi ini, 'kan, ulang tahun papi ... harus papi dulu, dong.”

Edward menggeleng. “Gak papa, kamu dulu aja.”

Amy mengangguk pasrah. Menurut. Dia kembali memandangi satu per satu makanan di buku menu itu.

Steak adalah ikon tempat ini. Mungkin kamu mau coba,” ucap Anna ketika Amy tampak kebingungan.

“Kalau daging aku takut gak bisa habis. 'Kan, sayang kalau mahal ternyata gak habis.”

How about spaghetti? I think you will like the pesto one?

“Pesto itu yang mana, ya, Mi?”

“Yang sausnya hijau, Sayang.”

Mata Amy berbinar, kembali teringat dengan makanan yang Anna maksud. “Oke, aku itu aja.”

“Kamu mau steak-nya?” tanya Edward.

“Mau, tapi aku, 'kan, gak terlalu suka.” Amy memang tidak begitu menikmati daging. Terlebih kalau itu bukan ayam.

“Kita bisa pesan yang untuk dimakan bertiga. Jadi, biar papi sama mami yang habiskan, ya.”

Mata Amy berbinar. “Boleh! Papi sama mami mau pesan apa?”

“Hm, sebentar.”

“Kok itu? Papi harus pesan yang mahal dong, 'kan, lagi ulang tahun. Mami juga ...,” protes Amy kala melihat menu yang Anna tulis.

“Ingat gak, apa yang pernah mami bilang soal traktir, Sayang?”

Amy terdiam, mengingat. “Kita harus memesan yang gak lebih mahal dari yang mentraktir?”

“Pintar. Tapi kami benar-benar mau ini, kok, Sayang. Dulu papi sama mami sering beli menu ini.”

Amy mengangguk paham. Setelah itu mereka memesan minuman, menyampaikan pesanan mereka, dan menikmati waktu bersama kala di restoran.

Di sela itu, Anna diam-diam bernapas lega karena yang ia khawatirkan tidak terjadi.


“Aku puas sama makanannya, tapi gak mau sering-sering ke sini ah,” ucap Amy kala mereka sudah berada di luar. Berjalan menuju parkiran.

“Karena mahal?”

Amy mengangguk. “Itu salah satunya, sih. Alasan lainnya karena mami gak begitu kelihatan nyaman tadi.”

“Mami menikmatinya kok, Sayang. Terima kasih, ya, sudah traktir kami berdua,” ucap Anna seraya merangkul putrinya.

Edward tersenyum melihat itu. “Terima kasih banyak, Amy. Papi senang hari ini,” ucap Edward.

Amy balas tersenyum. “Kembali kasih, sekali lagi selamat ulang tahun, Papi!”

Di parkiran, sebelum mereka memasuki mobil ada seseorang yang memanggil Anna. Hal itu membuat langkah ketiganya tertahan.

“Anna! Itu kamu, 'kan?”

Anna spontan memejamkan matanya kala mendengar suara itu. Edward menatap Anna ragu dan Amy bingung dengan suasana ini.

“Ah selamat malam, Pak,” ucap Anna formal seraya menunjukkan senyumannya.

“Ternyata benar kamu, saya pikir tadi bukan,” ucap orang itu lalu menatap pada Amy dan Edward secara bergantian.

Laki-laki itu menunjuk pada Amy. “Dia ....”

“Putri kami, Pak,” ucap Anna dengan sedikit penekanan.

“Sudah besar, ya. Tak terasa kalau kamu sudah sangat lama meninggalkan kami yang membantu namamu naik sebagai pâtissière hebat.”

Anna mengepalkan tangannya tanpa sadar. Hal yang tak ia inginkan terjadi, terlebih kali ini di depan Amy.

“Padahal kamu tetap bisa hidup enak loh kalau bekerja di sini. Gak perlu lelah mengurus rumah dan anak. Uang kamu akan banyak dan namamu juga akan makin dikenal.”

“Sa—”

Belum sempat Anna mengucapkan kalimatnya. Amy sudah memotong dengan berkata, “Bapak ini kenapa, sih? Bicaranya ngaco banget.”

Mantan atasan Anna itu mengernyit. “Kamu anak yang tidak sop—”

“Cukup,” potong Edward, “kalian masuk ke mobil sekarang juga.”

“Tapi, papi—”

“Masuk, Amy.”

Mau tak mau akhirnya Anna dan Amy menurut. Edward jarang menunjukkan sisinya yang satu ini, makanya terlihat lebih menyeramkan dari biasanya.

“Saya belum selesai bicara dengan Anna,” ucap laki-laki itu.

Edward menatapnya. “Pembicaraan kalian sudah selesai sejak istri saya memutuskan untuk keluar dari restoran ini.”

“Kamu ini membujuk istrimu yang tidak-tidak! Dia merelakan karirnya hanya untuk menikah dengan kamu!”

Edward menggeleng. “Dia tidak merelakan karirnya untuk menikah dengan saya. Itu adalah pilihannya agar dia bisa semakin berkembang.”

“Berkembang apanya? Kamu malah membuatnya jadi mundur!”

“Anna punya dua kafe sekarang. Dia juga paham bagaimana harus memperlakukan karyawannya, tidak seperti Anda,” jawab Edward, masih berusaha menjaga nada bicaranya.

“Jaga omongan kamu, ya!”

“Anda yang harusnya menjaga perkataan Anda,” ucap Edward. Laki-laki kelahiran Juni itu pun membuka pintu mobilnya. “Tidak ada yang perlu Anda bicarakan lagi dengan istri saya.”

Sebelum masuk, Edward juga sempat berkata, “Selama dia membangun kafenya, tak pernah ada yang mengenali dia sebagai mantan chef dari restoran ini. Faktanya kalian tidak memberikan pengaruh sebesar itu.”


Keadaan ketiganya saat sampai di rumah adalah canggung.

Anna mengusap rambut Amy pelan lalu berkata, “Istirahat, ya, Sayang. Besok kamu masih sekolah.”

Setelah berkata itu, Anna menuju dapur. Amy mulai menunjukkan wajah tidak enaknya.

“Papi, maaf ... ini karena aku ngajak makan di sana.”

Edward tersenyum tipis menenangkan. “Bukan, Amy. Bukan karena kamu. Makasih, ya, udah traktir kami berdua.”

“Tapi, Mami ....”

“Amy nurut dulu apa kata mami tadi, ya? Biar papi yang ngomong sama mami.”

Amy akhirnya mengangguk pasrah. “Kalau gitu papi susul mami aja. Aku mau diem dulu di sini sebentar baru ke kamar.”

Edward mengangguk. “Okay, jangan lama-lama, ya. Selamat istirahat,” kata Edward lalu menyusul Anna ke dapur.

Amy yang merasa tak enak diam-diam membuntuti ayahnya itu. Setidaknya ia dapat tertidur tenang jika sudah mengetahui maminya akan baik-baik saja.

Di dapur, Anna tengah diam di depan dispenser. Tampaknya dia akan mengambil minum tapi tertahan oleh pikirannya sendiri.

Edward berjalan mendekat, mengambil alih gelas yang dipegang oleh Anna lalu meletakkan di dekat wastafel. Laki-laki itu kemudian mengangkat tubuh Anna agar duduk di atas meja.

“Edward—”

“Diam sebentar di sini,” potong Edward sembari menatap pada Anna yang kini posisinya lebih tinggi darinya.

You know, anna? I am proud of you,” katanya.

“Saya paham kalau dulu keluar dari restoran adalah pilihan yang berat buat kamu. Terlebih rekan kerja kamu tak begitu baik dalam menanggapinya. Namun, kamu hebat karena bisa membuktikan pada mereka kalau keputusan yang kamu ambil tak kamu sesali.”

“Kamu melakukan semua peranmu dengan baik. Saya paham kamu pasti sempat merasa kewalahan karena perlu menjalankan semuanya, tapi kamu tak pernah menyerah untuk salah satunya.”

Edward menatap Anna dengan lekat. “Menjadi seorang atasan yang juga dapat mengajari karyawannya, menjadi seorang anak, menjadi seorang kakak, menjadi seorang ibu yang selalu sedia untuk Amy, dan menjadi teman hidup saya sampai sekarang. Kamu tak pernah menyerah, untuk semua itu saya ucapkan terima kasih banyak.”

Anna memberanikan diri untuk menatap pada Edward. Matanya tampak berkaca-kaca ketika tangan Anna menghiasi kedua sisi wajah suaminya.

It's your birthday, you should be the one getting all the appreciation.

Edward tersenyum tipis. “Saya sudah mendapatkannya dari Amy.”

“Ed, i can't do all that without you.

“Saya hanya menemani, tak membantu banyak.”

Anna menggeleng. “Kamu sudah banyak membantu saya. Kehadiran kamu pun, sudah sangat membantu.”

Anna menyatukan kening keduanya. Edward spontan memejamkan matanya.

Happy birthday, Dear. Thank you for still standing with me until now.

Edward kembali membuka matanya kala merasakan Anna menjauh. Kini keduanya kembali saling menatap.

Edward awalnya menatap pada sepasang mata yang tak akan pernah bosan untuk dipandang. Namun, perlahan tatapannya itu turun. Menjadi pada bibir yang lebih muda.

“Anna ... can i?

Anggukan dari Anna membawa Edward untuk mempertemukan bibir keduanya. Awalnya hanya sekedar kecupan, tapi lama-lama Edward membawa keduanya untuk menyelam semakin dalam.

Tangan Anna kini menghiasi leher Edward. Cukup lama mereka beradu lidah, akhirnya bibir keduanya menjauh walau masih tersambung oleh benang saliva.

Edward membenamkan wajahnya pada ceruk leher Anna walau napasnya keduanya masih sama-sama memburu. Menyembunyikan wajahnya yang memerah, sama seperti wajah Anna.

Tangan Edward melingkar pada pinggang Anna. “Jam tangan yang ada di tas saya dari kamu, 'kan?”

“Iya. Suka?”

Edward mengangguk. “Apa pun dari kamu, saya suka.”

Anna tersenyum tipis, lalu mengusap rambut suaminya pelan. “Syukurlah.”

Tangan Edward yang semula memeluk, kini menjadi meremas pelan pinggang perempuan itu. Gerakan Anna pada kepala Edward terhenti. Ia dapat menangkap maksud Edward melakukan itu.

But anna, can i get another gift from you?”


Di sisi lain ada Amy yang buru-buru masuk ke kamarnya. Menenggelamkan wajah pada bantal kesayangan.

“Aaa harusnya aku tadi nurut buat cepet masuk ke kamar! Bukannya malah diam-diam ngintip terus mereka—lupain, Amy. Lupain!”