150622 ; pintu.
“Hari ini Aru bakal ke sini,” kata mama. Gue yang tadinya fokus cuci piring jadi mikir ke mana-mana.
“Ngapain?”
“Hari ini hari apa, Ci?”
Gue mengernyit karena mama malah balik bertanya. “Rabu?”
Mama mengangguk. “Bener, sih. Tapi ini juga hari ulang tahun kalian.”
Gue menghela napas. Sial. Di tahun sebelumnya, mungkin gue selalu menantikan kedatangan hari ini. Mama bakal masak banyak hanya untuk gue.
Namun, dua tahun ke belakang gak begitu spesial. Terlebih ketika gue mengingat bahwa gue sama Aru lahir di hari yang sama.
“Ibu mau masak buat kalian berdua. Tahun kemarin gak sempat soalnya Aru konser.”
Gue terdiam sebentar. “Kalau gitu, Cici mau beli permen dulu.”
“Loh buat apa?”
“Buat Aru.”
Malamnya, Aru beneran datang ke rumah. Gak ada papa, mungkin karena mama masih enggan buat bertemu sama dia. Aru datang memakai bucket hat favoritnya, pemberian gue kala gue masih mengetahui dia sebagai sekedar layanan curhat.
“Makan yang banyak, ya, Ru. Maaf mama baru bisa ngerayain ulang tahun kamu sekarang.”
Gue bisa lihat Aru senyum. Senyumnya itu beda ... dia beneran bahagia. Padahal ini sekedar masakan mama. Mungkin Aru emang mendamba sosok ibu sejak kecil.
“Makasih banyak, ma,” ucapnya masih kedengaran canggung dengan panggilan baru itu.
“Sama-sama. Cici juga makan yang banyak, ya.”
Gue senyum. “Makasih, Ma.”
Selesai makan, mama minta Aru untuk nginep di sini. Meski kelihatan canggung, dia tetap menurut. Sekarang, dia lagi nonton siaran olahraga.
“Aru,” panggil gue, turut bergabung sama dia buat duduk di sofa yang menghadap ke TV.
“Kenapa, Ci?”
“Makasih buat botol minumnya,” ucap gue. Aru membelikan botol minum yang sempat gue idamkan tapi belum dibeli karena ada kebutuhan lain yang lebih utama.
“Sama-sama. Moga suka, yak.”
“Gue suka, kok. Gue boleh pinjem tangan lo gak?”
Meski bingung, Aru tetap menyodorkan tangannya. Gue meletakkan permen lolipop itu di sana, tapi gue gak langsung menjauhkan tangan gue dari tangan Aru.
Mirip seperti tahun lalu.
“Kenapa ngasih permen?”
“Soalnya lo ulang tahun hari ini.”
“Soalnya kita ulang tahun hari ini. Gue beli dua.”
“Tapi sebelum hari ini, urang sibuk buat nyiapin konser sekarang. Gak sempet beli hadiah, jadi urang kasih ini dulu. Anggap aja DP.”
“Gue sebenarnya sempat untuk beli sesuatu yang lain, tapi gue bingung harus menyambut hari ini kayak gimana. Jadi gue kasih ini dulu, ya.”
Aru senyum lama-lama cowok itu malah ketawa. Ini hampir sama dengan tahun kemarin, tapi jika sama Aru semua bakal kerasa berbeda seakan gue baru mengalaminya.
“Hbd, ya, Ci. Lo manusia paling cakep, paling hebat yang urang kenal tahun ini. Makasih karena udah luangin waktu lo buat nontonin Aksa.”
“Selamat ulang tahun, ya, Ru. Lo manusia paling berkesan buat gue selama ini. Makasih karena udah luangin waktu lo buat ke sini dan bikin mama senyum,” ucap gue lalu memberikan tepukan pada pundaknya. Setelah itu, gue kembali menciptakan jarak antara kami berdua.
“Urang yang makasih, Ci. Makasih karena udah ngasih kesempatan buat urang ngerasain semua itu. Urang boleh minta sesuatu gak? Anggap aja kadonya.”
Gue mengangguk. “Boleh, lo mau apa?”
“Peluk. Sebentar aja.”
“Sini, lama juga gak papa.”
Detik berikutnya, Aru menabrak tubuh gue. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gue. Untuk beberapa menit, gue dan dia gak ada yang bicara.
“Aru, gue juga mau ngasih tahu sesuatu.”
“Apa, Ci?”
“Sekarang lo udah boleh buat memperlakukan gue seperti yang seharusnya. Mulai sekarang kita bisa ngabisin waktu tanpa menyembunyikan status saudara kita,” ucap gue, “maaf, ya. Kemarin gue egois dan minta lo buat bersikap seolah kita tetaplah dua orang yang gak punya ikatan.”
Aru gak balas. Namun, gue bisa merasakan anggukan dia beri.
Aru mempererat pelukannya. Lalu katanya, “Ci, bahagia terus sama dia, ya. Dia kemarin nemuin gue dan bilang kalau dia mau bantu gue buat jaga lo.”