Bintang – part of taut universe.
⚠ mention of accident.
Untuk jatuh ke seseorang seperti Soonyoung sedikitnya membuat gue belajar banyak hal. Tentang si dia yang selalu lebih mengutamakan tawa orang lain, atau dia yang selalu sanggup untuk membuat orang di sekitarnya berpikiran positif. Tentang dia—ah kalau gue jabarkan bagian ini mungkin akan habis dengan lama.
Gue Sana, atau Shasa sebagaimana dia sering memanggil gue, yang kemudian menjadikan orang lain di sekitar kami juga memanggil gue demikian.
Mengenal Soonyoung semenjak sekolah, membuat gue gak hanya mengenal sisi baiknya aja. Dia tuh pada kenyataannya haus akan kesempurnaan dalam setiap tarian yang ia pertontonkan, gak jarang Soonyoung akan marah-marah sendiri kalau hasilnya belum memuaskan. Kebiasaan lainnya mungkin adalah Soonyoung yang kalau marah, telinganya seakan tuli. Walau ujungnya dia bakal minta maaf kalau emosinya udah mereda, jadi gue dan teman-temannya yang lain lebih sering membiarkan Soonyoung sendiri ketika laki-laki itu marah.
Soonyoung bukan sekedar teman untuk gue.
Shasa dulu bukanlah seorang yang punya mimpi, gue dulu memang ada keinginan, tapi jarang yang kuat. Gue selalu berakhir pasrah tanpa melakukan apapun, membiarkan dunia gue mengalir tanpa rencana esok hari yang gue ajukan sendiri.
Mendengar setiap keluhan dia kalau mimpinya terhalangi, membuat gue tanpa sadar ingin mewujudkannya. Dia mau masuk kuliah seni tari dan nantinya mau jadi salah satu pengajar bidang itu. Keinginannya tidak diterima dengan baik karena gak sesuai dengan bidang yang dijalani keluarganya.
Soonyoung itu nekat.
Dia menghabiskan tingkat akhirnya gak hanya untuk belajar. Tapi, juga mengambil beberapa pekerjaan dan uangnya ia kumpulkan untuk membiayai kuliahnya sendiri. Dia bahkan melakukan hal yang gak disukai sebelumnya; berpose di depan kamera.
Bagaimana gue gak makin mengagumi laki-laki ini? Sayangnya, gue gak bisa berharap lebih karena Soonyoung selalu memperlakukan semua orang sama, mau perempuan atau laki-laki.
Yang berbeda, mungkin cuma cerita yang selalu dia perdengarkan ke gue. Dia memang percaya sama gue, tapi hal itu juga ia lakukan pada tiga temannya yang lain. Jun, Wonwoo, dan Jihoon.
Soonyoung selalu melakukan sesuatu dengan alasan yang jarang ia suarakan. Keputusannya untuk ambil jurusan yang gak diizinkan keluarganya, bukan sekedar untuk mendalami bidang tari.
“Lo tahu gak sih, Sha? Tarian kadang bisa ngajarin seseorang tentang kehidupan.”
“Jangan dulu ngomong, lo ganti baju dulu. Nih gue habis pinjem punya Papa.”
“Hahahaha, kenapa repot-repot sih?”
“Lo bakal ngebuat gue tambah repot kalau duduk dengan baju yang basah!”
Di luar tengah hujan deras, dan laki-laki ini datang dengan keadaan basah kuyup. Entah apa yang terjadi di rumahnya sampai dia nekat datang malam-malam ke rumah gue, meskipun dipelototi Papa dia tetap kukuh mau masuk.
Untungnya, keluarga gue udah terlalu hafal bagaimana random-nya dia.
“Siap atuh, Neng. Akang ganti baju dulu, ya,” ujarnya diakhiri dengan tawa renyah, menertawakan gue yang menunjukkan raut sebal. Dia mengambil alih pakaian di tangan gue kemudian pergi ke kamar mandi yang udah dia hafal letaknya di mana.
“Sha! Naha ieu teh gak ada dalamannya?!” Gue malu karena dia ngomong gitu sambil teriak. Gue yakin orang tua gue yang selalu diam di ruang tengah ketika Soonyoung datang, bisa mendengarnya.
“Gak tahu! Papa ngasihnya itu aja! Pake punya lo aja sih!”
“Nyaaaa!” teriaknya lagi.
Omong-omong gue emang pindah ke Bandung waktu kelas 11, tapi gue belum sepenuhnya berbicara dengan bahasa daerah sini. Gue lebih sering memahami dari pada mengucapkannya. Sementara, Soonyoung yang asli Bandung kadang mengerjai gue dengan berbicara Bahasa Sunda yang jarang dipakai. Tapi, untungnya gue bisa belajar di luar yang diajarkan sekolah.
“Kenapa ke sini gak ngabarin gue dulu?” tanya gue begitu dia keluar dari kamar mandi.
“Hujan, terus rumah lo lebih deket. Gue mau numpang neduh. Belum larut ju—lo udah makan belum?”
Lihat? Dia ini emang random.
“Pas lo datang, baru aja selesai makan malam,” jawab gue, “lo belum ya?”
Dia cuma terkekeh.
“Tadi diajakin dulu sama yang lain, tapi takut keburu hujan jadinya pulang duluan. Tetap aja kejebak hujan di jalan, untung deket rumah lo.”
“Bentar, gue ambil makan dulu. Ntar lo sakit lagi,” ucap gue seraya berdiri.
“Gak usah, Sha. Berat badan gue naik, tadi agak diomelin sama mbak-mbaknya gara-gara pipi gue tembem.”
“Jangan sampai skip makan deh. Gue gak suka,” ucap gue sambil memegang kedua pipinya, “lagian lo gak kelihatan tembem kalau lagi biasa gini.”
Pipi Soonyoung empuk. Gue kadang sering mainin pipinya, dan Soonyoung gak pernah mempermasalahkan hal itu. Gue memandang lekat laki-laki itu dan berkata, “Makan ya?”
“Dikit aja, ya? Gue sungkan ngerepotin keluarga lo terus.”
Gue tersenyum. “Gak perlu sungkan. Gue temen lo dan lo juga temen gue. Tunggu, gue ambil makanannya dulu.”
Gue keluar dari kamar, membiarkan pintu terbuka karena Papa gak pernah membiarkan pintu itu tertutup kalau ada Soonyoung atau teman gue yang lain. Untungnya, makan malam tadi gak habis, masih ada sisa untuk satu porsi lagi.
“Sana, kamu lapar lagi?” tanya Mama ketika melihat gue kembali dengan seporsi makanan dan segelas air. Gue menggeleng dan memberi kode lewat tatapan kalau ini punya Soonyoung.
“Jangan makan sampe jam 9 malem loh, Soon! Kalau hujannya belum reda, kamu gak boleh di kamar!” ucap Papa tiba-tiba dan agak keras, agar Soonyoung yang ada di kamar dapat mendengarnya.
“Siap laksanakan, Om!”
“Nih, makannya. Abisin.” Gue sedikit menekan kalimat gue.
Soonyoung mengangguk, matanya berbinar melihat makanan. Dia sebenarnya doyan makan, tapi karena kadang dia ambil kerjaan model, jadinya dia gak sebebas dulu.
“Gue kayaknya mau warnain rambut abis perpisahan,” ucapnya setelah cukup lama hening di antara kami.
“Warna apa? Emangnya gak akan masalah nanti lo maba yang rambutnya diwarnain?”
“Biru, tapi pudar gitu, kece kayaknya,” balas Soonyoung, “Maba cuma status, gue tetap manusia yang punya hak nentuin diri gue sendiri.”
Nah, 'kan, dia kadang bisa tiba-tiba berkata bijak kayak gini juga.
“Shasa, menurut lo penting banget gak sih kejujuran dalam sebuah hubungan? Gak hanya sama pasangan, tapi hubungan apapun itu termasuk sama saudara seagama.”
Gue diam sebentar kemudian mengangguk. “Menurut gue penting, karena kalau jujur artinya pantas dipercaya, 'kan? Kecuali lo mau kasih kejutan ulang tahun.”
Soonyoung ketawa. Padahal gue rasa gak ada yang lucu dari kalimat gue.
“Buat kejutan gak harus ulang tahun, tau. Bisa aja kita lagi nyantai gini, bukan di hari khusus, tahu-tahu dapat kejutan. Mending kalau buat bahagia, gimana ya kalau nyakitin?”
Gue mengernyit gak suka denger itu. “Ini lo kenapa sih, Soon?”
Soonyoung gak jawab, dia malah masukin makanan ke mulutnya lagi dan ngebuat pipinya menggembung.
“Gue pikir,” ucapnya menggantung, “kita harus pacaran kalau kuliah, Sha.”
Lucu rasanya ketika omongan yang kayak candaan itu benar-benar dia realisasikan. Waktu hari pertama kuliah, dia langsung nembak gue ketika pulang.
Gak banyak perubahan yang terjadi ketika kami berteman sampai ada di status pacaran. Yang paling kerasa jelas berubahnya kata-kata yang ada dalam pembicaraan kami. Lebih lembut, pakai aku-kamu tanpa merasa geli karena sebelumnya kami adalah sahabat.
Terus, jadi lebih sering kalau pulang atau pergi bareng.
Gue gak pernah menduga kalau saling membagikan dunia masing-masing akan membuat gue antusias. Jika itu bukan Soonyoung, gue gak tahu apa gue akan bersikap sama atau nggak.
Hubungan gue sama Soonyoung bisa dibilang baik-baik aja, kami jarang berantem. Bahkan gue jadi akrab sama tiga temannya Soonyoung saking seringnya dia bawa gue kalau kumpul sama mereka. Kalau ditanya siapa yang paling akrab, ya itu Jun. Dulu, pas sekolah gue sekelas sama dia soalnya, terus dia anak seni tari juga. Beda sama Wonwoo dan Jihoon.
Lucunya, gue gak pernah sekalipun merasa bosan ketika sosok Soonyoung mengisi hari gue hampir seharian, belum keesokannya juga kayak gitu lagi.
Justru ketika Soonyoung gak ada gue malah merasa aneh. Kami emang jarang bertukar kabar lewat pesan karena Soonyoung lebih suka langsung. Kondisi yang sering satu kelas juga jadi alasannya.
Ketika hubungan kami mau mencapai umur satu tahun, ada yang berubah dari sosok itu. Dia jadi jarang masuk dan gak bisa gue hubungi. Teman-temannya bahkan bertanya ke gue gimana kabar Soonyoung, padahal gue juga mengalami hal yang sama kayak mereka.
Gue selalu berusaha ngejar dia kalau dia masuk, tapi entah kenapa gue selalu kalah cepat. Ketika didatangi ke rumahnya pun, laki-laki itu gak pernah ada di sana.
Soonyoung tiba-tiba menghindar, bukan cuma dari gue, tapi dari dunianya sendiri. Soonyoung gak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Gue percaya kalau sekarang, Soonyoung cuma butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Gak ada yang mengagetkan gue di hari itu kecuali Jun yang tiba-tiba datang dan memegang kedua bahu gue cukup kencang. Kelas sebentar lagi dimulai, dan dia baru aja datang. Laki-laki itu juga kelihatan panik.
“Sha, Soonyoung ... dia ... dia—” Jun tiba-tiba diam, dia sepertinya baru menyadari sesuatu.
“Soonyoung kenapa, Jun?” Gue berusaha untuk tenang, meskipun Jun tadi sempat kelihatan panik.
Jun masih diam, dia menjauhkan dirinya dari gue. Membuat jarak lebih besar antara gue dan dia.
“A-ah gue tadinya mau ngasih kejutan bahagia kok malah kayak panik, ya?” ujarnya kaku dan diakhiri tawa yang canggung.
“Sha, tadi Soonyoung hubungi gue. Sebenarnya harusnya jadi kejutan sih, tapi karena gue salah akting lo nanti pura-pura gak tahu aja ya.”
Gue gak habis pikir sama manusia satu ini.
Jun natap gue, dia seperti berusaha menunjukkan raut bahagia? Entalah, cuma gue merasa apa yang ditunjukkannya gak tulus. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
“Besok, kalian satu tahun, 'kan, ya? Nih gue ngucapin selamat sekarang, jadi orang yang pertama, bahkan sebelum Soonyoungnya sendi—”
“Juni,” potong gue, “jangan berbelit.”
Jun lagi-lagi ketawa canggung.
“Soonyoung bakal jemput lo besok buat ngerayain annive kalian. Lo besok pura-pura kaget ya pas dia jemput, seharusnya gue gak bilang hal ini ke lo.”
Gue memutar bola mata malas, untuk apa dia menunjukkan wajah paniknya ke gue tadi?
“Selama seharian itu, lo bisa gak cari kejelekan dia yang bisa ngebuat lo gak suka sama dia?”
Gue memandang Jun heran, maksudnya apaan sih?
Gue menggeleng. “Gak akan bisa. Soonyoung bahkan gak pernah nyakitin gue, buat apa gue gak su—”
“Sana,” potong Jun, suasana kerasa lebih serius karena dia memanggil nama gue.
“Besok, mungkin lo gak hanya dapat kejut—”
“Selamat siang semuanya, silahkan duduk ke tempat masing-masing karena ini sudah masuk jam saya.”
Jun gak menyelesaikan kalimatnya, bahkan hingga hari itu berakhir. Membiarkan gue dengan perasaan gak enak dan berusaha untuk menyingkirkan segala pemikiran aneh.
Semoga apa yang dia bilang benar, Soonyoung bakal datang untuk merayakan satu tahunnya kami.
Dulu gue mengalami kesulitan untuk membuat seseorang berhasil mengenal gue. Gak hanya diri gue yang selalu bisa dilihat mereka secara langsung, tapi juga dengan dunia gue. Apa yang gue sukai, atau bagaimana gue menghadapi dunia.
Bersama Soonyoung, dibalik minimnya kata manis diantara kita, gue gak perlu ngasih tahu dia tentang dunia gue karena Soonyoung bisa masuk sendiri. Entah bagaimana, tapi saat ini, bisa dibilang sosok itu adalah yang paling tahu gue.
Gimana bisa gue untuk berhenti sayang sama dia?
Perkataan Jun kemarin benar. Jam 7 pagi, ketika gue keluar kamar untuk sarapan bareng kayak biasanya. Soonyoung udah nangkring duduk di sebelah Papa, pasti dia diajak untuk ikut sarapan sama Mama.
Berbeda dengan dirinya akhir-akhir ini, Soonyoung malah menunjukkan senyumannya yang lebar. Seperti dirinya yang biasanya.
“Selamat pagi, Shasa.” Mendengar panggilan itu keluar dari mulutnya lagi, membuat gue tersenyum tanpa sadar. Kangen banget. Kalau gak ada Papa sama Mama mungkin gue udah lari buat peluk dia.
Mungkin sekarang, Soonyoung udah merasa cukup dengan agenda menghindar dari semuanya.
“Pagi, Soon.”
Setelahnya, kami gak banyak berbicara karena mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sudah kebiasaan pula, kalau sedang makan bersama jangan dulu mengobrol kecuali makanannya sudah habis.
Selesai makan, gue harus kembali ke kamar buat siap-siap. Soonyoung tampil sederhana dengan sweater hijaunya, yang membuat gue menarik kesimpulan kalau ini gak akan jauh beda dengan hari-hari biasanya. Detak jantung gue berdetak lebih kencang, yang gak bisa gue terjemahin itu karena gue antusias atau karena yang lain. Gue merasa bahwa hari ini gak akan berjalan baik, entah kenapa.
“Mau kemana, Sha?” tanyanya.
“Terserah kamu?” balas gue, karena emang gak kepikiran apa-apa.
Soonyoung menggeleng. “Terserah kamu,” balasnya dengan penekanan.
Gue diam untuk berpikir. “Ke Alun-alun yuk, Soon?”
“Boleh,” jawab Soonyoung kemudian menyerahkan salah satu helm yang dia bawa ke gue. Laki-laki itu menyalakan mesin motornya, kemudian memberi kode ke gue untuk ikut naik.
“Tumben kamu pakai helm kayak gini?” ucap gue agak keras karena Soonyoung sudah melajukan motornya. Helm yang Soonyoung pakai memang kelihatan beda dari biasanya, dia pakai helm yang membuat wajahnya tertutupi kecuali bagian mata.
“Biar keren, Shaa,” jawabnya dengan suara yang agak teredam.
Gue memilih untuk diam setelahnya. Gue memeluk pinggang Soonyoung dan menumpukan dagu gue di pundaknya. Ketika kami dihadapkan dengan lampu merah, kepala Soonyoung mundur. Tangannya bergerak untuk mengusap lutut gue, dan dia berkata, “Kamu hari ini harus seneng ya.”
Gue mengangguk. “Kamu juga.”
Dia gak balas lagi, tapi kembali melajukan motornya.
Hari itu, waktu terasa lebih berharga. Gue menikmati bagaimana Soonyoung yang kembali seperti biasa, kebersamaan kami, serta memori yang pastinya akan selalu gue kenang nantinya. Kegiatan jalan-jalan sebagai perayaan itu gak berjalan sampai malam hari, karena tepat jam tiga, kami udah ada di perjalanan menuju ke rumah gue. Gue benar-benar bahagia hari ini, perasaan gak enak semalam memang cuma perasaan.
“Bentar, Soon. Aku ada sesuatu,” ucap gue, dan Soonyoung menurut. Gue buru-buru masuk ke rumah untuk mengambil benda yang udah gue siapkan untuk laki-laki itu. Yang sialnya, tadi gue lupa untuk membawanya.
Gue kembali dengan sedikit terengah-engah, gue mengambil tangannya dan memberikan kalung bintang itu ke Soonyoung.
“Hadiah satu tahun dariku,” ucap gue sambil tersenyum. Soonyoung juga tersenyum, cuma kelihatan beda? Dari sorot matanya, dia kelihatan kosong...
“Kenapa harus bintang?” tanyanya.
“Soalnya, kayak bintang yang ada di langit. Keberadaan kamu berarti banget buatku, ter—intinya makasih karena ada di kehidupanku dan sanggup untuk saling berbagi tentang dunia.”
Soonyoung tidak langsung membalas, jujur gue agak malu karena mungkin ini kali pertama gue mengatakan hal manis ke dia. Tangan gue yang semula ada di atas tangannya karena memberi kalung itu jadi berbalik. Membuat gue menatapnya penuh tanya.
Soonyoung menyerahkan kembali kalung itu ke gue.
“Sana, gue gak pantas buat ini.”
Gue memandang Soonyoung bingung, kenapa laki-laki ini tiba-tiba mengubah gaya bicara dan panggilannya ke gue?
“Mungkin iya, gue bintang. Bintang jatuh, di mana langit gak lagi menerima keberadaan gue.” Soonyoung menjauhkan kedua tangannya yang semula memegang tangan gue. Secara gak langsung, dia udah menolak kalung yang gue persiapkan.
“Sana, ayo selesain hubungan ini.”
Kenapa Soonyoung menghindari matanya bertemu gue ketika mengucapkan kata itu?
Apa maksudnya ngomong kayak gitu setelah ngebuat gue bahagia hari ini?
Kenapa dia harus ngomong ketika sudah merayakan satu tahunnya kami?
Banyak pertanyaan dalam kepala gue, dan gak ada satu pun yang bisa gue suarakan.
“Soonyoung, jangan bercan—”
“Gue serius. Ayo putus dan gue akan pergi dari dunia lo. Masih banyak yang jauh lebih pantas untuk jadi bintang lo, San.”
Gue takut. Gue gak mau ini. Gue gak mau yang lain.
“Kenapa?” tanya gue lirih. Ia gak kunjung menjawab, membuat gue mencengkeram kedua lengannya. Gue mengguncang tubuhnya supaya dia menatap gue, tapi Soonyoung malah memejamkan matanya.
“Jawab aku! Kenapa kamu tiba-tiba minta kayak gini?!”
“Gue cuma mau kita selesai. Gue bakal pergi dari lo setelah ini, San.”
Gue ... gue gak tau kenapa rasanya tambah menyakitkan ketika laki-laki itu gak lagi memanggil gue seperti biasanya. Apalagi dengan matanya yang enggan untuk melihat gue.
Apa yang salah? Kenapa kata selesai harus keluar disaat gue dibuat bahagia?
“Soon, aku tahu kam—”
“Gue cuma mau kita putus, kenapa lo gak bisa paham, sih?!”
Badan gue bergetar. Soonyoung bahkan membentak gue. Tapi, kenapa dia gak mau mengatakan alasannya?
Laki-laki itu melepaskan tangan gue dengan paksa. “Makasih untuk selama ini, San. Gue pamit ya.”
Kemudian dia pergi, ninggalin gue tanpa kata-kata apapun lagi. Gue buru-buru masuk ke rumah, untuk menangis sejadi-jadinya.
Hubungan kami ada di kata selesai yang gak gue ketahui penyebabnya apa.
Gue terbangun karena suara telepon. Mata gue terasa berat akibat tertidur pas masih nangis. Yang gue rasakan hanyalah perasaan kosong, gue gak tahu hari ini gue harus menjalani hari kayak gimana.
Nada dering telepon yang terus berbunyi dari ponsel gue pun, gue abaikan. Gue gak sanggup jika harus berinteraksi dengan orang lain.
Soonyoung...
“Sana, Mama boleh masuk?” tanya Mama dari luar.
“Pintunya gak aku kunci, Ma,” jawab gue pelan, entah Mama bisa mendengarnya atau nggak.
Pintu itu terbuka, Mama langsung masuk dan memeluk gue. Gue gak tau kenapa Mama tiba-tiba menangis, hanya saja ada perasaan memuakkan yang gue rasa kemudian. Gue gak suka Mama nangis.
“Sana, Mama percaya kamu pasti bisa melewati hari esok tanpa Soonyoung.”
Ah, Mama sadar kalau gue putus sama Soonyoung?
“Mama baru aja dikabari sama keluarga Soonyoung, dia semalam kecelakaan.”
Gue melepas pelukan Mama. Perasaan takut dan khawatir langsung menyerang gue, gak ada rasa kosong yang gue rasain lagi.
Gimana kalau Soonyoung benar-benar mau pergi dari kehidupan gue? Gak hanya dari gue, tapi dari seluruh dunia.
“S-soonyoung, sekarang gimana?”
Mama memeluk gue lagi, dan tangisnya kembali terdengar.
“Soonyoung udah pergi, Nak. Me-mereka bilang kepalanya terbentur sangat keras dan dia kehilangan banyak darah.”
Gue gak bisa menangis. Ketakutan yang tadinya gue rasain hilang, kembali digantikan dengan kekosongan yang gue rasakan.
“A-aku mau lihat Soonyoung.”
“Keluarganya bilang kalau Soonyoung baru saja dimakamkan.”
Dunia gue seakan hancur.
Soonyoung bahkan gak memberi gue kesempatan untuk melihat dia terakhir kalinya.
Soonyoung benar-benar pergi ninggalin gue.
Dia memang pergi, tapi kenangan yang dia beri ke gue gak pernah mau gue lupakan. Meski ada tanda tanya yang dia tinggalkan, dia akan selalu menjadi sosok berharga yang gak pantas dihapus dari memori. Gue gak akan peduli meskipun nantinya, dunia akan mendesak gue untuk melepasnya dari ingatan.
Soonyoung akan selalu jadi bintang gue.
—honeyshison