before 20 ; bagian 3

Zoa as Amy Hoshi as Edward Sana as Anna

“Edward! Can you meet me when you're done?

Okay, boss.

Edward menghela napasnya tanpa sadar. Pemikirannya kini terpenuhi memikirkan apa alasan bosnya itu memanggilnya.

“Jangan terlalu dipikirin, kamu bekerja dengan baik sejauh ini,” ucap salah satu rekan kerjanya sembari menepuk bahu Edward.

Edward tersenyum tipis. “Thank you, Kak.”

Can i ask you something?

“Apa?” Edward balas bertanya.

“Setahu aku kamu mahasiswa jurusan arsitektur, 'kan? Kenapa sampai rela-rela kerja jadi pelayan di kedai makan yang kecil begini?”

Edward terdiam sebentar. Ia tentu tak mungkin menceritakan apa alasan sebenarnya. Jadi, ia menjawab, “Mengisi waktu ... aku baru bisa bekerja sesuai bidangku setelah lulus nanti.”

Laki-laki itu mengangguk. “Okay, good luck then,” ucapnya sebelum menjauhi Edward. Keduanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

Edward mengetuk pintu ruangan milik atasannya ketika pekerjaannya selesai. Sesuai apa yang diminta tadi, ia datang untuk menemui laki-laki itu.

“Kamu tahu apa alasan saya panggil kamu ke sini?”

Edward menggeleng.

“Kamu tahu kalau kedai kita akhir-akhir ini ramai, 'kan? Tapi saya sudah beberapa kali mendapati kamu bermain ponsel bahkan di luar waktu jeda kamu, Ed. That's not a good thing. Kedai sedang ramai dan kamu malah bermain ponsel.”

Edward terdiam. Ia tak menyangka kalau hal itu berhasil ditangkap oleh atasannya. Edward sadar bahwa tindakannya salah, tapi ia tak bisa mengabaikan pesan dari Amy begitu saja.

I'm sorry—”

“Saya belum selesai bicara,” potong yang lebih tua, “Edward, kedai kita ini semakin ramai setiap harinya. Saya lebih membutuhkan pekerja yang full time dibandingkan part time seperti kamu. Terlebih kamu sudah ada di semester akhir, 'kan? Saya pikir, kamu bisa fokus dengan itu, tidak perlu bekerja.”

Mata Edward membulat tanpa sadar. Secara tidak langsung, atasannya itu sudah memberhentikan nya dari sini. “Saya benar-benar butuh dengan pekerjaan ini, Pak. Tolong ....”

“Edward, saya tahu latar belakang kamu. Saya sangat paham bahwa sebenarnya kamu tak punya alasan untuk bekerja.”

“Saya punya alasan, Pak. Saya dan papa—we didn't have a good relationship after the divorce happened. Kami terkesan hidup sendiri terlebih setelah mama pulang.

Edward meringis, ia gagal mempertahankan fakta yang satu itu. Kepala yang semula menunduk kini mendongak, menatap atasannya dengan lekat.

“Saya mohon untuk pekerjaan ini ... setidaknya sampai dia bisa pulang ke tempat asalnya, Pak.”


“Oh, Om Marvin!” ucap Amy spontan begitu melihat siapa seseorang yang menjemputnya.

“Eh kok tahu namaku?” tanya laki-laki itu langsung.

“Tahu dong, hehe,” jawab Amy, tak berniat untuk menceritakan tentang dirinya pada Marvin.

Amy mengenalnya sebagai adik ipar ibunya. Jadi, kemungkinan besar sekarang Marvin belum menikah dengan adiknya Anna. Oleh karena itu, Amy tak berminat untuk bercerita.

“Aku belum masuk ke umur 20. Jadi, panggil kakak aja, oke?”

Amy mengangguk. “Oke!”

“Tadi Kak Anna nyuruh aku buat beliin kamu minuman. Kamu suka minuman apa, Dek?” tanya Marvin lagi sembari menyerahkan helm pada Amy.

“Susu ta—eh, kak ... di sini udah ada susu taro, 'kan?”

“Uhm aku kurang tahu. Gimana kalau nanti kita cari tahu sendiri, ya? Kalau gak ada kamu bisa pilih yang lain.”

Amy mengangguk, lantas ikut menaiki motor milik Marvin. Keduanya pun melaju, menuju kediaman Anna juga keluarganya.

“Sudah, ya, aku mau balik ke kampus,” ucap Marvin setelah Amy sampai di rumah Anna. Laki-laki itu rela melakukan permintaan Anna supaya perempuan itu semakin yakin dengan dirinya yang menjadi kekasih adik Anna.

“Makasih banyak, Marvin. Ini ada waffle, nanti bagi sama Cherry, ya,” balas Anna.

“Siap dan kembali kasih. Aku pamit, ya, Kak!”

Selepas Marvin menghilang dari pandangan keduanya. Anna menoleh pada Amy, lalu mengajaknya untuk masuk.

“Papa dan mama saya belum pulang kerja. Oh iya ... Amy, waffle-nya mau ditambah es krim?”

Amy mengangguk dengan antusias. “Boleh, Mami.”

Anna terdiam sejenak. Jujur ia tak terbiasa mendengar panggilan yang diarahkan padanya itu. Jujur, ia sebenarnya kurang nyaman. Namun melihat bagaimana pandangan Amy yang begitu tulus setiap melantunkan itu, membuat Anna tak tega.

Setelah Anna termenung sejenak karena pemikirannya, ia akhirnya mengambil es krim dan memindahnya sebagian kecilnya ke atas waffle milik Amy.

Amy menerima makanan yang Anna beri itu, dan memakannya dengan antusias.

“Masakan mami ternyata enak dari dulu!” komentar Amy ketika sudah memasukkan satu potongan besar ke dalam mulutnya.

Anna terkekeh kecil, merasa malu. “Terima kasih banyak, Amy. Kamu sukanya kue apa?”

“Aku suka kue cokelat,” ucap Amy, “selain karena itu kue buatan mami yang paling aku ingat rasanya. Kue cokelat juga jadi kue pertama buatanku yang dikasih ke papi waktu hari ayah.”

“Aku buat itu dibantu mami loh, udah lama banget. Tapi aku masih ingat ... soalnya surat yang aku kasih barengan kue itu masih disimpan sama papi di dompet, padahal udah jelek kertasnya.”

Anna mendengarkan dengan seksama. Ia mengambil selembar tisu, Amy yang bercerita sembari diselingi suapan nya membuat noda es krim terbentuk di dekat bibirnya.

“Omong-omong soal surat, waktu kita liburan bareng papi nulis surat buat mami. Aku gak tahu apa isi suratnya, tapi mami nangis setelah baca itu.”

Gerakan tangan Anna terhenti. “Saya nangis?”

Amy mengangguk mantap. “Tapi bukan nangis sedih ... nangis terharu. Karena itu aku yakin kalian baik-baik aja walau interaksi di belakang aku beda.”

Anna menatap Amy yang kini menunduk. Meski tak mengatakannya, Anna bisa menebak kalau sebenarnya anak itu merindukan kehidupan aslinya.

Tangan Anna berganti, menjadi mengelus kepala Amy secara perlahan.

“Amy, saya punya beberapa topi ... lucu? Mau coba pakai dan kembaran sama saya gak?”

Amy menatap Anna, binar matanya kembali lagi dan itu membuat yang lebih tua tersenyun tanpa sadar.

“Ayo, mami!”