before 20 ; bagian 4.
Amy buru-buru turun ketika bis berhenti di halte yang dekat dengan perumahan di mana mereka tinggal. Sebelum turun, anak itu sempat berkata, “Terima kasih banyak sudah antar saya kemari, Pak,” pada pak supir.
“Sama-sama. Hati-hati, ya, Nak.”
Amy tersenyum sebelum benar-benar turun. Perempuan itu tak bisa melunturkan senyumannya, merasa senang karena bisa turun di tempat yang tepat.
Hal sederhana seperti ini saja sudah bisa membuat senyumnya betah tampil di wajah.
Amy berjalan santai untuk menuju ke rumahnya. Perempuan itu masih bertahan dengan rasa senangnya hingga tak menyadari kalau ada sesuatu yang berbeda dengan perumahan tempatnya tinggal.
Begitu sampai di depan rumah dan mencoba membuka pintu, dahi Amy mengernyit. Tunggu, kenapa rasanya ia familiar dengan kejadian ini?
Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali guna memproses apa yang sebenarnya terjadi. Lalu menatap pintu di depannya dengan lekat.
Kenapa ia ada di sini? Seharusnya ia ada di kamar Anna—bahkan pakaiannya pun sudah kembali berganti menjadi seragam sekolah.
Amy tenggelam dalam pemikirannya. Mungkinkah ia kembali ke awal?
Amy yakin dia belum kembali ke masa sebenarnya karena cat rumah belumlah berwarna biru langit seperti seharusnya.
“Halo? Kamu ke sini untuk mencari Edward kah?”
Amy sedikit tersentak mendengar kalimat itu. Tak menduga seseorang akan menyapanya. Anak itu berbalik dan napasnya spontan tertahan melihat sosok itu.
Dia nenek ... dari papi. Amy tak begitu akrab karena Edward juga demikian. Mereka memang belum pernah bercerita soal ini. Namun Amy pernah mendengarnya dari Tony—anak Evan—kalau nenek bukanlah ibu kandung dari ayah mereka.
Amy tak berani bertanya pada Edward karena sepertinya itu adalah hal sensitif. Mengingat kalau ayahnya itu sering menghindari topik tentang nenek.
Amy menggeleng. “Ah ... enggak. Aku salah rumah, hehe.”
Entah apa yang membuat Amy berkata demikian. Namun, ia penasaran dengan tujuan neneknya itu datang ke sini.
Mungkin untuk masa ini. Amy tak akan mengakui identitas aslinya. Semoga bisa karena Amy kadang berkata dulu baru berpikir. Mana ia terbiasa untuk jujur lagi.
“Ah saya kira Edward memacari anak sekolah,” katanya, “rumah yang kamu cari nomor berapa? Mau saya antar?
Amy menggeleng cepat. “Terima kasih ... tapi gak perlu. Aku cuma salah belok tadi, aku permisi, ya, Bu.”
“Iya silahkan.”
Amy berjalan cepat. Beruntung untuk kali ini jalananya tak berbeda jauh dengan yang Amy kenali, walau belum semua teraspal. Amy berhasil menemukan jalan memutar hingga ia bisa ada di belakang rumah.
Bersyukur dengan tubuh lincahnya karena terbiasa untuk aktif, Amy mampu untuk melompati pagar yang belum begitu tinggi seperti yang ia kenali. Kemudian berjongkok di pinggir rumah, berharap bisa mendengar obrolan yang mungkin saja terjadi antara Edward dan wanita tadi.
Tak lama setelahnya, Amy bisa mendengar suara mobil. Perempuan itu sedikit mengintip, baiklah mobil yang Edward gunakan berbeda dengan yang ada di masanya.
Edward sudah memiliki mobil dan penampilan yang lebih rapih. Amy yakin isi rumahnya pun sudah mulai banyak. Mungkin di masa ini, ayahnya itu sudah cukup sukses dengan pekerjaannya.
“Edward.”
Edward menatap orang di depannya. “Ada apa ke sini?”
“Hanya ingin berbincang. Kamu bisa, 'kan?”
“Anda sudah disini ... bagaimana saya bisa bilang tidak?” balas Edward.
“Kenapa kamu berbicara seakan kita adalah orang asing?”
Edward menghela napas. Tampaknya, dia tidak bisa memahami kalau Edward tidak nyaman dengan kehadirannya.
“Saya ke sini untuk menyampaikan apa keinginan mendiang ayahmu. Maaf, saya baru sempat sekarang.”
Edward belum menunjukkan reaksi berarti. Sedangkan Amy terus berusaha agar obrolan mereka bisa ditangkap oleh telinganya. Sedikit untung karena Edward tak membiarkan mereka mengobrol di dalam.
Entah karena apa, padahal biasanya ayahnya itu tak akan seperti ini.
“Keinginan apa?”
“Supaya kamu menikah ... dengan pilihan dia.”
“Saya sebenarnya gak habis pikir. Kalian yang berulah, kalian yang bikin keluarga kami gak layak disebut keluarga. Sekarang setelah semua itu kalian masih ngerasa berhak untuk ikut memutuskan sesuatu di kehidupan saya?”
Baiklah, Amy dapat mendengar jelas adanya kemarahan dari kalimat Edward sebelumnya. Meski tak bisa memastikan, tapi dugaan kalau hubungan mereka tidaklah akur tampaknya semakin menguat.
“Maaf, Edward. Kami sudah minta maaf ke kalian bertiga. Di sini saya juga malu buat ketemu kamu, tapi saya gak tenang kalau belum menyampaikan ini. Mau bagaimanapun, ini amanat dari ayah kamu.”
Edward memejamkan matanya, berusaha menahan diri agar emosi tak menguasai dirinya. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam dan bertanya, “Siapa namanya?”
“Eh?”
“Yang ayah pilih itu. Siapa namanya?” Edward bertanya ulang.
“Kamu mau? Kalau kamu mau, lusa nanti kita bisa makan malam bersama mereka.”
“Anna ... Anna Minatozaki.”
Amy terpaku. Jadi, papi dan mami itu dijodohin?
Edward menghembuskan napasnya kasar ketika sosok itu sudah pergi dari rumahnya. Tadinya ia akan langsung masuk dan merebahkan diri. Permintaan barusan cukup membuat Edward menjadi lebih lelah dari biasanya.
Ia akan memulai sebuah hubungan. Kenyataan itu cukup membuatnya tertekan.
Langkah Edward terhenti begitu ia menangkap penampakan kaki seseorang. Edward kembali mundur, untuk memastikan apakah benar di sana ada seseorang atau tidak. Setelah yakin, ia mendekatinya.
Amy menjadi diam ketika sadar kalau kedua orangtuanya menjalin hubungan bukan karena saling cinta. Ia sampai tak menyadari kalau sosok Edward kini sudah ada di dekatnya, berdiri di samping Amy yang tengah berjongkok.
“Kamu sedang apa di sini?” tanya Edward tanpa basa-basi. Amy terkejut dan menatap laki-laki itu sedikit takut.
Lalu anak itu malah berkata, “Maaf sebelumnya, Kak. Tapi aku lapar ... boleh numpang makan di sini gak? Aku nyasar terus bingung karena HP aku mati.”
“Kamu serius?”
Amy berusaha menunjukkan ekspresi meyakinkan. “Iya, Kak. Lihat aku masih pakai seragam ... kayaknya aku salah turun pas naik bis tadi. Mau ke depan lagi tapi lemes, makanya jongkok di sini.”
“Ah begitu ... ya sudah mari masuk. Nanti saya antar ke depan.”
“Tunggu, kakak umur berapa? Aku gak salah karena manggil kakak, 'kan?”
“Saya 25, tak apa kamu bisa memanggil saya dengan itu.”
Baiklah, berarti dugaan Amy mungkin benar. Keduanya menikah tanpa ada rasa. Karena kalau Amy tidak salah ingat, mereka menikah ketika Edward baru menginjak usia 26.
Selain itu, mungkin Amy bisa bernapas lega karena Edward tak mengingat kalau Amy pernah mengunjunginya ketika dia berusia 21 tahun. Sesaat sebelum Amy bisa ada di masa ini secara tiba-tiba, entah bagaimana caranya.