before 20 – bagian 7.
Rasanya aneh ketika ia bisa menyaksikan bagaimana awal pernikahan kedua orang tuanya. Edward dan Anna yang masih terlihat canggung, mereka berdua yang pergi jalan-jalan, sampai ada dalam fase malas-malasan di kamar setiap Hari Minggu.
Di sana, Amy jarang menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya bermesraan. Di sini, meski baik Edward atau Anna tak bermaksud. Namun, Amy terlalu sering kebetulan memergoki keduanya bermesraan.
Pernah di pagi hari ia melihat Edward memeluk Anna dari belakang ketika perempuan itu memasak. Lalu saat mereka menonton televisi, Anna kerap spontan dengan menyandarkan tubuhnya pada Edward dan diberi respon positif oleh yang lebih tua.
Amy sebenarnya maklum, mau bagaimana pun keduanya memang perlu banyak adaptasi dan baru bisa bersikap bucin begini ketika sudah menikah. Hanya saja ... tetap aneh.
Ini sudah cukup lama semenjak pernikahan Edward dan Anna. Namun Amy tak kunjung kembali ke sana. Padahal baik Edward dan Anna tak menunjukkan lagi sikap canggung mereka jika Amy tidak ada. Baik ada ataupun tidak ada Amy mereka tetap seperti dua orang yang menikah karena cinta.
Cukup menyaksikan bagaimana hubungan mereka berkembang. Bukan berarti Amy terus menerus melihat mereka yang bermesraan.
Satu Hari Minggu, rumah mereka kedatangan tamu. Orang itu datang dengan segala ketahuannya tentang sosok Edward. Ia membawakan ayam goreng yang memang dinikmati dengan baik oleh laki-laki itu.
Dia adalah Rhea.
Amy tidak mengenal siapa Rhea, ia tak pernah mendengar sekalipun namanya pernah terucap dari papi atau mami. Sejak kunjungannya yang tidak begitu lama di rumah, Anna menjadi sedikit berubah.
Amy beberapa kali mendapati perempuan itu melamun. Jika diperhatikan lebih pun, ketika Edward dan Anna bersama menjadi canggung kembali. Namun, Anna seperti memaksakan dirinya agar mereka bisa terlihat seperti biasa di hadapan Amy.
Tanpa sengaja pun, Amy pernah mendengar obrolan kedua orang tuanya.
“Kamu ... kalau ada sesuatu tolong bilang, ya? Biar saya tahu harus kayak gimana.”
“Edward, kita ini gak boleh ada masalah, 'kan? Amy bilang dia bisa ke sini karena kita yang di sana kayak orang asing kalau dia gak ada. Berarti kita harus tetap bahagia supaya Amy bisa pulang ke sana dan apa yang terjadi di masa depan pun bakal berubah.”
“Enggak, Anna. Ingat, 'kan? Saya bilang kita harus membiarkan semuanya mengalir. Kamu jangan menahan diri, jangan memaksakan diri untuk baik-baik aja supaya Amy bisa cepat pulang. Apa yang kamu pikirkan? Tell me.”
Amy menjadi paham. Mungkin keadaan kini malah menjadi lebih buruk karena yang dilakukan mereka seperti formalitas di hadapannya.
Puncaknya adalah ketika Rhea tiba-tiba menghubungi Edward. Di tengah malam. Hari itu mereka bertiga memang memutuskan untuk begadang.
Amy juga menjadi sadar kalau suara Rhea sama dengan suara yang pemiliknya sempat Edward telepon waktu itu.
Mereka bertiga mengobrol lewat panggilan video dan Amy hanya jadi pihak mengamati tanpa berpindah posisi sama sekali, ia tetap duduk di sofa berbeda dengan Edward dan Anna yang ada di tempat tidur. Sengaja, yang mengetahui keberadaan Amy hanya mereka berdua. Waktu Rhea datang pun, Amy diam di kamarnya.
Ketika obrolan itu menyisakan Anna dan Rhea karena Edward tiba-tiba pergi ke kamar mandi. Entah kenapa Amy merasa tidak enak.
“Kebelet, ya.”
“Mungkin?” balas Anna.
“Kamu mau tahu sesuatu gak, Na?”
“Apa, Kak?”
“Dulu sebelum aku pergi untuk kuliah. Aku sama Edward sempat membuat janji. Janjinya itu, Edward akan menunggu aku buat pulang dan kami akan kembali sama-sama.”
Amy mengernyit mendengar itu. Ia memandangi wajah Anna. Raut maminya yang semula cerah menjadi redup seketika.
“Nyatanya Edward ngelanggar janji itu,” sambung Rhea dengan tawa yang pahit. “Aku pulang dia sudah punya kamu. Aku gak tahu gimana ibunya Mikhael sama ibumu bisa ngebujuk dia supaya mau menikah sama kamu. Aku juga gak tahu kenapa kamu mau nerima dia.”
Jeda sebelum Edward kembali cukup lama. Amy tertahan di sana tanpa bisa bertindak apa-apa. Anna terus diam mendengar semua celotehan Rhea hingga ia sampai di batasnya. Tanpa kata-kata lagi, dia mematikan secara sepihak sambungan video itu.
“Mami ...,” cicit Amy pelan.
“Amy, boleh tolong ke kamar kamu? Saya butuh waktu sendiri.”
Amy menghela napasnya dan mengangguk. Dalam hati ia berharap tak ada pertengkaran hebat setelahnya.
Apa yang Amy harapkan tampaknya tak terjadi. Tidak lama setelah kejadian semalam, ketika Edward belum pulang ke rumah. Amy mendapati Anna tengah membenahi barang-barangnya.
Perempuan itu seperti akan pergi dari rumah ini.
“Mami, mau ke mana?” tanya Amy tapi Anna hanya meliriknya dan tak berkata apa-apa. Perempuan itu tetap melanjutkan apa yang tengah ia kerjakan.
Amy tak bisa diam lama-lama. Dengan cepat ia menghubungi Edward agar segera pulang.
Pertengkaran yang Amy harapkan tidak terjadi, pada akhirnya malah terjadi. Amy hanya diam di ambang pintu melihat mereka berdua yang saling melemparkan nada tinggi.
Badan Amy bergetar. Situasi ini amat menakutkan untuknya. Menyaksikan kedua orang tua bertengkar adalah hal yang paling anak-anak hindari.
“Enggak, Anna. Bukan itu yang saya mau. Bukan itu yang harus kamu pahami.”
“Lalu apa?! Kamu selalu diam dan ngehindar, Edward! Saya bingung kamu ini maunya apa!”
“Kita sudah lama menikah, kontak fisik di antara kita juga udah jauh—saya udah percaya sama kamu. Tapi kenapa saya masih harus tahu tentang kamu dari orang lain?!” Napas Anna sudah tergesa, ia mungkin sudah lupa bahwa Amy ada di antara keduanya.
“Saya pikir, kita bisa lebih baik, Ed. Saya pikir apa yang saya terima dari dia gak akan saya dapatkan dari kamu. Meski berbeda, tapi kalian sama-sama tak mau mengakui apa yang sebenarnya kalian rasain ke saya hanya karena terikat hubungan.”
Anna menjongkokkan dirinya dan menutupi wajah dengan kedua tangan. Bahu perempuan itu bergetar dan Edward tak bisa menahan dirinya untuk tak mendekat.
“Anna ... maaf.”
Kepala Anna menggeleng, menolak permintaan maaf suaminya itu. Edward memeluk Anna, meski sempat menolak tapi pada akhirnya perempuan itu membiarkan Edward memeluknya.
Cukup lama keduanya ada di posisi itu. Amy sedikit merasa lega karena setidaknya pertengkaran itu sudah terhenti. Mata Amy membulat ketika ia melihat tubuh Anna yang yang melemas.
Kalau saja Anna sedang tidak ada di pelukan Edward. Mungkin tubuhnya sudah membentur lantai yang dingin.
“Anna, astaga.” Dengan sigap, laki-laki itu menggendong yang lebih muda. Amy mengambil langkah, hendak menyusul Edward yang mungkin akan membawa Anna ke rumah sakit.
“Mami, Papi, tunggu aku!”
Belum sempat Amy menyusul Edward. Pandangannya sudah menjadi gelap seketika.
“Dek, bangun. Tadi katanya tadi mau turun di sini.”
Amy mengerjapkan matanya ketika merasakan guncangan di bahunya. Perempuan itu mengernyit ketika lagi-lagi ia berada dalam bis ini secara mendadak.
Amy menahan napasnya. Sekarang aku di masa yang mana kagi? batinnya.
Jujur, Amy sudah lelah. Ia benar-benar ingin pulang. Ia tak mau merubah apa pun lagi. Keadaan papi dan mami sekarang sudah cukup untuknya.
Maaf saya ngerepotin dengan ketiduran di sini. Terima kasih banyak sudah antar saya sampai kemari, Pak.”
AAmy berjalan santai untuk menuju ke rumahnya. Perempuan itu masih bertahan dengan rasa senangnya hingga tak menyadari kalau ada sesuatu yang berbeda dengan perumahan tempatnya tinggal.
Begitu sampai di depan rumah, gerak tubuh Amy terhenti. Pintunya sama dengan pintu yang Amy kenali, begitupun dengan catnya. Namun Amy tak mau banyak berharap.
Perempuan itu mengambil kunci dari saku jaketnya. Lagi-lagi ia terhenti, kali ini karena mendengar suara pagar yang dibuka. Amy berbalik dan ia melihat kedua orang tuanya tengah berjalan menuju ke arahnya.
“Tuh, 'kan, Ed. Dia bisa kok!” ucap Anna dan Edward hanya mengangguk lesu.
“Gimana naik bisnya, sayang? Papi kamu ini jadi lebay sampai izin pulang duluan. Jadi, mami minta anter ke minimarket deh biar dia gak impulsif,” ucap Anna sembari memberikan Amy tatapan yang lembut.
“Papi khawatir. Maaf, ya, kayaknya papi berlebihan. Jujur papi ikut excited tapi was-was juga kamu naik bis sendirian. Syukurlah sekarang kamu udah di sini,” sambung Edward.
“Kamu kok belum masuk, sayang? Lupa bawa kunci kah?” tanya Anna karena Amy tak kunjung memberi balasan untuk kalimat mereka sebelumnya.
Amy masih diam, menatap kedua orang tuanya dengan lekat. Matanya perlahan mulai berkaca-kaca dan itu tentu disadari oleh kedua orang tuanya.
“Amy, kok malah nangis?”
Aku tak langsung menjawab dia malah memeluk kedua orang tuanya itu. Anna dan Edward tentu bingung, tapi mereka tetap membalas pelukan Amy dan membiarkan anak mereka itu melampiaskan tangisnya.
Diam-diam mereka khawatir. Apa yang terjadi pada Amy selama perjalanannya ke sini?
Cukup lama, hingga akhirnya Amy menunjukkan wajahnya lagi. Menatap keduanya secara bergantian dengan hangat.
“Papi, mami,” panggil Amy, “I'm home.“
Di sisi lain, Edward berusaha menghubungi Amy. Ia sadar kalau dirinya meninggalkan Amy sendiri di rumah tanpa berkata apa-apa. Namun tak ada satu pun balasan yang Amy berikan.
Setelah Anna kembali tertidur, laki-laki itu memutuskan untuk pulang sebentar sekalian mengambil baju karena Anna baru boleh pulang besok.
Laki-laki itu mencari ke seluruh rumahnya, tapi ia tetap tak menemukan Amy. Kamar yang selama ini Amy gunakan pun telah kembaliseperti tak pernah dihunib sebelumnya. Begitu rapi dan tak ada banyak barang.
Laki-laki itu diam di ambang pintu kamar Amy. Dia sedikit mencengkram gagang pintunya, matanya menatap lurus ke depan. Ia menyadari sesuatu tapi tak yakin bahwa itu adalah jawaban yang sebenarnya. Mau bagaimana pun Edward harus menunggu lebih lama untuk membuktikan hal itu.
“Mungkin benar ... Amy udah pulang,” gumamnya, “karena gak mungkin ada dua Amy di masa ini.”