before 20 – bagian akhir.
Amy terdiam di depan pintu kamar kedua orang tuanya. Edward duduk di ujung tempat tidur dan Anna ada di depan meja riasnya. Maminya itu terlihat anggun dengan gaun putih dan rambutnya yang dibiarkan tergerai.
Amy bisa memahami kenapa Edward terpaku di tempatnya.
“Mami, papi,” panggil Amy dan hanya Anna yang melihat ke arahnya.
“Hai, sini sayang. Cantik banget anak mami pake itu,” balas Anna dengan senyuman lembut yang tak pernah hilang dari wajahnya kala berbicara dengan Amy.
“Kita mau dinner aja, Mi?” tanya Amy karena tumben sekali mereka makan malam di luar. Harus pakai baju formal pula.
“Kalau selesainya gak kemaleman kita bisa belanja dulu, Dek.” Yang menjawab malah Edward. Laki-laki itu berdiri dan merapihkan jas yang ia kenakan.
“Papi panasin mobil dulu, ya. Nanti susul, jangan lama-lama udah pada cantik soalnya,” ucap Edward.
“Eh tunggu, Ed. Ayo foto dulu,” ajak Anna.
Edward mengangkat sebelas alisnya. “Di sini?”
“Iya, mirror selfie.“
“Okay.“
Anna tersenyum puas dan melihat pada Amy. “Kamu mau, 'kan?”
“Ayo, mami!”
“Syukurlah Amy gak rewel tadi,” ucap Anna lalu melihat ke arah Amy yang ada di gendongannya. Perempuan itu kemudian mengecup kedua pipi Amy secara bergantian.
“Anak mami, pinter, ya? Tahu kalau tadi diajak dinner sama atasannya papi, ya, sayang? Jadi, Amy gak rewel ... Amy anak baik.” Edward melihat interaksi itu tanpa sadar tersenyum.
“Mau langsung pulang?” tanya laki-laki itu.
“Boleh gak kalau kita belanja dulu? Kulkas udah mulai kosong, biar sekalian mumpung di mall.”
Edward mengangguk. “Boleh, kalau gitu sini Amy biar sama saya.”
Anna menurut. Amy kini beralih menjadi dalam gendongan Edward. Tanpa kata, Anna mengambil tasnya yang semula dipegang oleh Edward karena dirinya harus menggendong Amy. Sebenarnya ia tak masalah, tapi Edward tidak tega.
Amy tadi sempat tidur, tapi begitu mereka kembali berjalan bayi itu terbangun lagi. Amy memang tidak bisa tidur ketika yang menggendongnya bergerak apalagi sampai berjalan.
“Saya bisa bayangin kalau dia sudah lebih besar sedikit, kita akan mengejar dia di sini,” ucap Edward tiba-tiba disertai tawa kecil di akhirnya.
Mendengar itu, Anna ikut tertawa. “Masih lama, ya, sebelum Amy bisa jalan.”
“Iya ... tapi nanti pasti gak berasa lama. Kita mungkin bakal ada di posisi merasa Amy tumbuh terlalu cepat.”
Edward tidak terlalu sering menunjukkan raut wajahnya yang bahagia. Laki-laki itu jarang tertawa hingga terbahak-bahak, ketika sedang benar-benar bahagia pun dia hanya akan tersenyum lebar.
Seperti kali ini. Edward pulang ke rumah dengan senyuman. He smiles from ear to ear.
Tentu ini menjadi hal menarik baik untuk Amy atau Anna.
“Papi lagi seneng?” tanya Amy dan langsung diangguki oleh Edward.
“Iya, tebak dong apa yang baru dari papi?” tanya Edward sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Dengan sengaja ia menaruh benda itu secara terbalik agar phone case yang baru ia beli dapat dilihat oleh dua wanita kesayangannya.
“Kalau bener hadiahnya apa?” tanya Amy, “biar seru ada hadiahnya dong, Papi!”
“Kamu lagi mau apa, Dek?”
“Jalan-jalan? Udah lama kita belum keluar lagi. Iya, 'kan, mami?” tanya Amy pada Anna dan langsung disetujui oleh maminya itu.
“Iya,” jawab Anna dengan antusias.
Edward tersenyum jahil. “Ya udah, kalau tebakan kalian bener minggu depan kita jalan-jalan.”
“Nginep juga semalam,” sambung Edward membuat Anna dan Amy merasa semakin antusias seketika.
“Jadi, apa yang baru dari papi?” tanya Edward lagi.
Anna dan Amy memandanginga dengan menyelidik. Edward merasa lucu hingga tak dapat menahan tawanya.
“Yang baru itu rambut!” jawab Amy dan Edward langsung menggeleng.
“Ini, 'kan, dari seminggu yang lalu juga udah dipotong. Tebak lagi.”
“Baju?” tanya Anna dan Edward lagi-lagi menggeleng.
“Ini kamu yang beliin buat aku loh, Na.”
Anna terkekeh. Baru teringat kalau baju itu dirinya yang beli.
“Apa dong, papi? Kayaknya gak ada yang baru! Papi mau tipu-tipu, ya?”
“Gak ada yang baru apanya, sih. Ini phone case papi baru. Masa pada gak nyadar?”
Keduanya terdiam begitu Edward mengangkat ponselnya dan memperlihatkan apa yang ia katakan. Gambarnya tetap harimau, yang berbeda hanyalah yang sekarang adalah white tiger.
Mereka sama-sama tidak berpikiran ke sana. Padahal jawabannya sangat sederhana.
“Yah ... gak jadi dong jalan-jalannya?”
“Iya, 'kan, kalian gak bisa nebak.”
“Papi ...,” rengek Amy. Anna hanya diam. Pasti Edward akan luluh hanya dengan Amy yang merengek. Lagipula Edward tak pernah asal berucap. Celetukan asalnya saja sering menjadi serius.
“Ya udah, ayo. Tapi kamu pamerin dulu case baru papi, ya?”
“Okay!“
Anna tertawa, Edward sudah cukup banyak berubah. Dulu ketika pertama kali membeli case yang bergambar harimau, laki-laki itu malu-malu menunjukkannya pada Anna. Sekarang ia malah minta Amy untuk memamerkannya.
Mereka sudah banyak berubah. Tak lagi seperti dulu.
“Wah, gambal halimau! HP pi ada halimaunya, Mi!” Amy yang sedang masa mempelajari banyak kata baru meski selalu gagal jika ada huruf 'r'-nya itu berlari kecil menuju Anna ketika berkata demikian.*
Edward di belakangnya mengikuti dengan langkah pelan. Laki-laki itu baru pulang, ia izin pergi sendiri di Hari Minggu ini. Lalu ketika pulang, Amy berkata seperti tadi.
Mata Anna dan Edward bertemu. “Kamu beli phone case?” tanya Anna.
“Iya,” jawab Edward pelan.
Anna menatap bingung. Tumben sekali Edward tak mau menatapnya ketika kondisi begini.
“Beli yang gambar harimau?”
“Iya.”
“Saya boleh lihat, Ed?” tanya Anna lagi dan dengan ragu Edward menunjukkan ponselnya yang semula ia sembunyikan di balik tubuhnya.
Anna tersenyum. Sebenarnya ia sudah mengira Edward menyukai harimau semenjak laki-laki itu membeli gantungan kunci di festival yang sempat mereka datangi dulu. Lalu dari wallpaper ponselnya hingga kini akhirnya dia mulai berani untuk menunjukkannya secara terang-terang.
Anna tak mempermasalahkannya, sungguh. Ia benar-benar menantikan Edward akan menunjukkan kesukaannya, tapi ia juga tak ingin memaksa. Makanya ketika saat ini tiba, Anna tak bisa untuk tak tersenyum.
“Bagus case-nya.”
Edward tampak tak menduga bahwa reaksi yang Anna berikan akan seperti itu. Dia kemudian bertanya, “Kamu gak marah?”
“Loh buat apa saya marah? Kamu suka itu, 'kan?”
“Iya. Maaf, pasti aneh banget, ya?”
“Enggak, Edward. Selama kamu gak kepikiran untuk melihara harimau asli, itu gak aneh. Saya malah seneng karena kamu udah terbuka soal apa yang kamu suka,” balas Anna.
Edward tersenyum lega. “Thank you, Anna.”
Hening agak lama. Keduanya bertatapan seraya melemparkan senyuman masing-masing.
Lalu ada Amy yang menarik ujung pakaian Edward, meminta perhatian. Dia berkata, “Ami ... Ami mau yang gambal lusa. Ada, Pi?”
Edward dan Anna tak bisa untuk tidak tertawa. Edward membawa Amy ke dalam gendongannya. “Ada, nanti kalau sudah waktunya Amy pegang ponsel, papi kasih.”
“Ayo, mau kemana lagi?”
Amy berhenti kala Anna mencegatnya. Anak yang belum lama ini masuk ke taman kanak-kanak itu berbalik, langkahnya lagi-lagi terhenti karena di sisi lain ada Edward yang berjaga.
“Amy dikepung!” serunya, “Amy harus tidur supaya gak ketahuan sama penjahat!”
Padahal ini hampir malam, tapi Amy tidak kunjung lelah. Ia malah mengajak kedua orang tuanya agar bermain kejar-kejaran dengannya. Di mana Edward dan Anna menjadi penjahat yang harus menangkap Amy.
Namun tidak salah juga, sih, kenapa Amy belum bisa tertidur. Di luar sudah mulai terdengar suara kembang api tanda tahun baru. Anak itu tidak akan bisa nyenyak jika hal berisik terjadi sebelum ia tidur.
Edward dan Anna kompak tertawa begitu melihat Amy yang pura-pura terjatuh lalu memejamkan matanya. Anna yang kelewat gemas langsung mendekatinya dan memeluknya. Perempuan itu juga mengecupi perut Amy hingga si anak tertawa karena geli.
“Aaa papi, tolongin Amy! Amy diserang!” ucap Amy dengan dramatis.
“Tidak bisa. Amy akan dimakan!” sahut Anna menampah kapasitas kecupannya hingga tawa Amy semakin keras.
Edward hanya tertawa melihat itu. Menikmati moment mereka kali ini dengan tawa yang nyaris seiras.
Tahun baru kali ini rumah mereka lumayan ramai. Biasanya acara bakar-bakar daging dan jagung serta menyalakan kembang api akan dilaksanakan di rumah nenek—ibunya Anna. Namun kali ini, mereka melaksanakannya di rumah milik Edward, Anna, dan Amy.
Amy sudah sibuk sendiri, berinteraksi dengan para sepupunya. Anak itu lebih nyaman bersama mereka dibandingkan teman-temannya di sekolah.
Anna memperhatikan bagaimana Amy saking mengejar dengan Tony dan Celine. Jika sudah begini, ia selalu teringat moment Amy kecil yang juga senang berlarian. Bahkan menjelang tahun baru beberapa tahun yang lalu pun, Amy tetap semangat berlarian diiriingi oleh kembang api yang cahayanya menghiasi langit malam yang gelap.
“Aaa mami!” seru Amy seraya menelusup di antara Edward dan Anna. Dia menyembunyikan wajahnya pada bantal sofa.
“Amy, jangan licik dong. Jangan ke om sama tante!” protes Tony.
“Biarin! Soalnya cuma papi sama mami yang bisa jaga aku, makanya aku ke sini.”
“Nanti Amy ke sana lagi, Ton,” ucap Anna secara tidak langsung memberi isyarat agar mereka membiarkan Amy di sini untuk sejenak.
Amy mengangkat kepalanya setelah Tony tak berada di sekitarnya lagi. Perempuan itu menatap kedua orang tuanya bergantian sebelum meraih mereka dalam rangkulannya.
“Aku sayang banget pokoknya sama kalian. Sedih memang harus diterima, tapi kalau bisa kalian jangan terlalu sering sedih-sedihan, ya?”
“Pokoknya aku gak akan mau ninggalin kalian lagi. Aku gak akan minta aneh-aneh lagi ke kalian kayak minta untuk naik kendaraan umum sendiri buat pertama kali.”
“Aku juga bakal berusaha untuk jaga kalian seperti kalian yang jagain aku dari aku lahir. Aku bakal sayang sama kalian seperti kalian yang gak pernah putus buat menyayangiku bahkan sebelum aku muncul ke dunia ini.”
“Papi sama mami berharga buat aku. Aku gak bisa bayangin gimana jadinya aku tanpa kalian.”
—honeyshison.