Bintang, Bulan.
“Lo ke sini naik apa tadi?” tanya Bintang pada Bulan. Mereka berdua sudah terbiasa untuk keluar terakhir, membiarkan anggota lain keluar lebih dulu.
“Bareng Mentari.”
“Baliknya bareng lagi?”
“Enggak,” jawab Bulan, “dia mau jalan dulu dan gue gak mau ikut.”
Bintang mengangguk, cowok itu kemudian mengenakkan jaketnya lagi. “Bareng gue aja.”
Bulan menarik napasnya, hari ini terasa lebih capek. Namun, ia yakin kalau ia ikut dengan Bintang rasanya bakal berkali lipat lebih capek lagi.
“Gak usah, deh, Bintang.”
“Gak papa. Mama lo nitipin lo ke gue, Lan. Gue harus jaga lo.”
Baiklah, Bulan tahu dan paham.
Mereka sudah mengenal sejak kecil, selalu satu sekolah, satu ekskul, satu organisasi, bahkan satu komunitas menari. Bintang punya cukup banyak alasan untuk sampai dipercaya oleh ibunya.
Namun, kondisinya sekarang berbeda.
Bintang dan Bulan bukan lagi dua anak kecil yang mengejar layangan sama-sama, bukan juga dua orang yang selalu mengeluh setiap tugas datang.
Di sisi lain, Bulan juga tidak akan pernah bisa untuk menolak Bintang secara terang-terangan.
“Gue mau latihan, Bin.”
“Gue juga. Saga sama Langit udah nunggu, jadi gak papa. Bareng gue aja, ya, Lan? Please.”
Ujungnya, mau tidak mau Bulan mengangguk lantaran tatapan memelas yang diberi Bintang.
“Etdah, nih, paket nasi, kagak bisa dipisahin banget?” Itu adalah sambutan dari Saga begitu mereka datang.
“Padahal langitnya di sini, Bulan sama Bintangnya misahin diri pengen berduaan,” balas Langit. Cowok mancung itu kemudian tertawa sendiri, merasa lucu dengan kalimatnya barusan.
“Bacot,” sahut Bulan dengan nada judes andalannya. Bintang cuma tertawa sebagai tanggapan.
“Abis rapat,” ucap Bintang kemudian.
“Iye, rapat, iye,” balas Saga dengan meledek.
“Kenapa lo berdua masih diem aja?” tanya Bulan karena semenjak kedatangan mereka pun, Saga dan Langit belum mulai menari.
Langit menunjuk ke satu arah dengan dagunya. “Itu, gantian sama mereka. Mereka butuh fokus soalnya besok tampil. Kita, 'kan, masih minggu depan.”
Bintang ikut duduk lesehan dengan Saga dan Langit. Kemudian melirik ke arah yang dimaksud oleh temannya tadi.
“Itu yang juara dua kemarin bukan, sih?” ucap Bintang.
“Yoi, emang kece abis. Ini belum pake kostum, gimana kalau udah coba?” balas Saga.
Bulan melirik ke arah orang-orang itu kemudian kembali melihat pada tiga teman cowoknya. Ia ikut duduk dan berkata, “Tapi, kalian yang juara satunya?”
“Juara cuma dapat hadiah lebih gede. Gak jamin bakal selalu juara nantinya,” jawab Langit.
“Ingat kata Bintang, keren kalau udah nunjukin semaksimal mungkin yang kita bisa. Menang itu bonus,” sambung Saga dan Bintang sekali lagi tertawa mendengar itu.
“Kalian udah kenalan?” tanya Bintang. Meski hanya menanyakan pertanyaan yang biasa, tapi Bulan melihat perubahan dari binar matanya Bintang.
Dia terlihat lebih antusias.
“Udah, dong,” ucap Saga dengan bangga, “yang rambutnya dikuncir itu namanya Aylin, Bin.”
Dahi Bulan mengernyit ketika mendengar Saga menyebutkan nama itu. Terlebih setelahnya Bintang tertawa canggung dengan Langit yang menepuk-nepuk pundaknya. Meledek laki-laki yang tiba-tiba salah tingkah itu.
Di sana ada enam orang, tapi kenapa Saga langsung menyebutkan nama yang rambutnya diikat pada Bintang?
Cewek dengan rambut panjang itu mendatarkan ekspresinya ketika mengingat festival tiga bulan lalu—di mana komunitas mereka turut diundang untuk menjadi pengisi acara. Setelahnya, ia menoleh untuk melihat cewek yang Saga sebut bernama Aylin tadi.
Bulan meringis tanpa sadar, dugaannya terbukti. Sosok Aylin adalah sosok yang sama dengan yang selalu Bintang amati sepanjang festival waktu itu.
“Lo nunggu orang, Lan?” tanya Langit dan Bulan sedikit gelagapan karena ditanya tiba-tiba.
“Eh? Enggak, kok, tadinya gue mau latihan sendiri aja. Tapi tiba-tiba mager, gue lihatin kalian aja deh,” jawab Bulan dengan cepat.
“Ohh, bentar lagi mereka bakal beres, kok,” ujar Langit lagi dan Bulan cuma mengangguk.
Cewek itu melihat ke arah Bintang, dia masih melihat ke arah tadi. Matanya juga tetap lurus mengikuti gerakan satu orang di antara mereka berenam.
Bulan menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mengendalikan dirinya.
“Lan, nih, ada minuman. Gue bawa dua, buat lo satu, deh,” ucap Saga tiba-tiba, dia menyerahkan satu dari dua botol yang ia punya kepada Bulan.
Bulan tersenyum canggung dan menerimanya. “Makasih, Saga.”
“Sama-sama.” Saga mendekat ke arah Bulan, dan berbisik, “Soal Bintang, jangan terlalu lo pikirin.”
Mau.
Kalau bisa, Bulan juga mau untuk tidak selalu kepikiran soal apa pun yang Bintang lakukan.
Sayangnya, Bulan tidak bisa.
Bintang itu terang, dari kecil sudah sering jadi sosok yang dikagumi. Bintang mampu terang dengan caranya sendiri.
Bulan yang ada di angkasa pun, butuh bintang buat bisa bersinar. Sama halnya dengan Bulan, yang kehidupannya tidak pernah lepas dari Bintang.
Bintang yang bantu Bulan buat menemukan minatnya dalam menari. Bintang juga yang ajak Bulan untuk aktif di organisasi sehingga mereka bisa ada di tahap bersaing buat meraih posisi ketua. Yang ujungnya, Bulan kembali menjadi wakilnya Bintang.
Dalam perjalanan mereka yang sudah sejauh ini, dalam setiap dukungan yang Bintang berikan. Tentu, dalam hubungan Bulan-Bintang pun tidak menghilangkan kemungkinan menaruh rasa untuk satu sama lain.
Bintang terlalu terang, sehingga Bulan tidak berani untuk merubah hubungan mereka lebih dari teman. Bintang paham dan dia tidak pernah mengungkitnya lagi.
Sampai sekarang.
Bintang dan pemikirannya memang selalu berhasil membuat orang-orang bingung. Mungkin, sudah banyak yang bisa menebak bagaimana pikiran Bintang berjalan lantaran saking seringnya cowok itu mengungkapkan isi pikirannya.
Namun, soal perasaan Bintang. Sejauh ini, cuma Bulan yang bisa menebaknya. Cowok itu memang lebih sering memperlihatkan sisi cerianya, Bulan bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia melihat Bintang menangis selain waktu kecil dulu.
Meskipun begitu, lewat tatap dan gerak tubuh yang Bintang tunjukkan. Bulan terkadang masih bisa menebak bagaimana suasana hati cowok itu.
dan terkadang, itu akan menyakitkan buat Bulan.
Contohnya seperti sekarang. Bintang yang terus mengamati tanpa berkedip, memusatkan seluruh rasa kagumnya pada sosok itu. Terlebih dengan senyuman tipis yang Bulan yakini ia keluarkan tanpa sadar.
Namun, Bulan jauh lebih bingung dengan perasaannya. Ia yang tak pernah memberi izin pada Bintang untuk merubah hubungan mereka lebih dari teman, bahkan Bulan pernah memintanya untuk mencari sosok yang lain saja.
Kini, ia merasa tidak terima ketika Bintang sepertinya telah menemukan sosok yang lain itu.
“Bulan, jangan ngelamun.” Entah sejak kapan Bintang jadi ada di dekatnya. Cowok itu memegang salah satu pundaknya, menyadarkan Bulan dari lamunannya.
“*Sorry, Lan. Mau mulai nih, lo tolong minggir dulu, ya,” kata Langit dan Saga cuma tersenyum tipis seraya mengangguk.
“A-ah, iya, sorry.” Bulan langsung berdiri dan Bintang membantunya tanpa kata.
Sebelum Bulan memberi ruang pada tiga cowok itu untuk berlatih. Bintang sempat berbisik, “Maaf, ya, Lan.” padanya.
Bulan memandang kosong ke arah Bintang yang kini sudah mulai menggerakkan tubuhnya. Tangan Bulan mencengkeram pada botol minuman yang diberi Saga tadi.
Kita ini sebenarnya ngapain sih, Bin?