bonus bisca.
Woozi as Bisma. Eunha as Caca.
Dulu yang Bisma tahu, Friska itu anaknya pemalu. Suaranya bagus, tapi ragu kalau disuruh ke depan.
Dulu yang Bisma tahu, Friska itu tak mudah menyerah. Meski beberapa komentar tak enak ia dapat, tapi Friska selalu berusaha agar komentar semacam itu tak muncul lagi.
Dulu yang Bisma tahu, Friska itu anak manis yang lemah lembut. Dia selalu berkata sopan dengan tenang dan akan diam ketika marah.
Dulu.
Sekarang, sosok Friska lebih akrab ditemui sebagai Caca.
Tak ada lagi Friska si pemalu, yang ada adalah Caca si pemberani dan nyaris seperti pemberontak.
Tak ada lagi Friska yang tak mudah menyerah karena sekarang Caca lebih banyak mengeluh dan mengabaikan hal yang bikin susah.
Tak ada lagi Friska si anak manis, yang ada hanya Caca si anggota geng motor yang mulutnya sulit dikontrol.
Namun, baik Friska atau Caca sama saja di matanya. Bisma tetap akan menyayangi selama itu Friska Varrenia.
Bertemu lagi setelah sekian lama, sebenarnya tak benar-benar Bisma anggap sebagai sesuatu yang 'malu-maluin'. Bisma tak menyesali kala dirinya harus berlutut dulu, dia lega karena dengan itu Caca sedikit luluh padanya.
Membuat Caca menunggu dua tahun karena kontraknya pun akan menjadi satu hal yang Bisma syukuri. Caca ada di sisinya dan rasanya tak ada lagi yang Bisma butuhkan.
Namun, melihat satu per satu temannya mulai menikah, Bisma merasa dikejar. Satu pertanyaan tentang hubungan yang serius itu terasa seperti seribu langkah maju mengejarnya.
Bisma tak memiliki jalan lagi. Caca pada faktanya masih enggan dengan komitmen sedalam itu dan ia pun tak bisa benar-benar menyakinkannya karena kontrak sialan itu belum mengizinkannya untuk menikah.
Dunia sudah tahu kalau Bisma adalah milik Caca. Namun, dunia tak benar-benar tahu kalau hubungan mereka ini menjadi rumit karenanya.
Kalau diingat lagi, selalu Bisma yang membuatnya rumit.
Bisma yang dulu membuang surat-surat itu yang tentu menyakiti hati sampai dia berubah dari Friska menjadi Caca. Lalu, sekarang kontrak Bisma yang terkesan bodoh karena tak memperbolehkan mereka menikah di tahun ini.
Selalu gue yang bikin semuanya jadi ribet.
Bisma mengacak rambutnya kasar, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Kalau Caca sudah mau, mungkin dia akan berusaha lebih. Namun, Caca belum mau dan Bisma tak ingin yang lebih muda merasa tak nyaman jika terus ditanya.
Bisma termenung sendiri hingga tak menyadari kalau pintu studionya terbuka. Sosok perempuan berambut hitam pendek dengan highlight pink adalah pelakunya.
Caca berjalan mengendap-ngendap begitu sadar kalau Bisma sedang melamun. Perempuan itu kemudian sedikit melompat dan memeluk Bisma yang duduk di kursi kebesarannya dari belakang.
Bisma sedikit terlonjak karena terkejut, tapi dia langsung tenang karena mengenali aroma parfum ini. Sementara Caca terkekeh, puas karena kekasihnya terkejut.
“Katanya libur, kok kayak overthinking sama lagu?”
Bisma menggeleng, memilih untuk tak mengatakan apa yang dia pikirkan barusan pada Caca. Mereka akan menghabiskan waktu berdua hari ini setelah sekian lama, Bisma tak ingin kekasihnya memiliki suasananya hati yang buruk.
“Gak papa, biasa kalau ngelamun pikirannya suka lari ke mana aja.”
Caca mengangguk paham. “Ayo kalau gitu, Kak! Lo pakai jaket.”
“Jadi pake motor lo?”
Caca mengangguk. “Lihat, dong, gue udah pake jaket kesayangan lagi,” katanya sambil memasang pose.
Caca memakai jaket yang dulu sering ia kenakan kalau ke arena. Bisma sudah lama tak melihatnya menggunakan benda satu itu.
Bisma tersenyum. “Iya, dah, cakep.”
Bisma berjalan menuju laci yang sengaja ia sediakan di studio untuk menyimpan beberapa pakaiannya. “Gue pake ini aja, ya. Jaket taksa ada di rumah.”
Bisma menunjukkan hoodie biru tua yang sengaja ia simpan di studio. Caca mengangguk, merasa tak masalah.
Caca mengamati kala Bisma memakai hoodie-nya. Keduanya kini saling bertatapan. Bisma tersenyum tipis dan merentangkan tangannya. “Sini, isi bensin dulu.”
Caca menatap geli dan berkata, “Apa, sih?”
Namun, ia tetap melangkah maju untuk memeluk yang lebih tua. Keduanya berpelukan cukup erat dan agak lama.
“Udah, ah. Kelamaan,” ucap Caca seraya menjauhkan dirinya. Namun, Bisma masih belum mau melepaskannya.
“Satu lagi belum.”
Keduanya kembali bertatapan. Caca memajukan kepalanya, lalu memberi kecupan kecil di bibir yang lebih tua.
“Tuh, udah.”
“Bukan gitu caranya.”
Pinggang Caca diremas pelan. “Sini, gue ajarin.”
Bibir mereka kembali bertemu.
Ketika Caca bilang kalau agenda kencan mereka ini seperti dulu kala mereka bukan 'seseorang' yang dikenal dunia. Bisma langsung paham kalau perempuan itu rindu dengan motornya.
Dulu, Bisma rela kalau harus dibonceng oleh Caca. Dulu, ego Caca sekeras batu dan Bisma butuh melakukan sesuatu agar bisa melunakkannya sedikit demi sedikit.
Kalau sekarang agak malu juga dia.
Bisma tetap menjadi seseorang yang tak mau membuat kekasihnya memiliki suasana hati yang buruk. Jadi, dia sekali lagi membiarkan dirinya sendiri duduk di jok belakang.
Selama Caca mengendarai motor yang mereka tumpangi dengan benar, maka Bisma tak akan mempermasalahkannya.
Tujuan mereka kali ini adalah sebuah angkringan. Dulu, tempat ini cukup sering mereka kunjungi karena Bisma dan Caca sering keluar bersama menjelang tengah malam.
Pada saat itu juga mereka sedang kuliah dan jauh dari keluarga. Jadi, angkringan adalah pilihan yang tepat.
Bisma turun duluan, dia melepaskan helmnya dan menunggu Caca. Perempuan itu berbalik, memberi kode agar Bisma merapikan rambutnya.
Bisma menurut tanpa kata. Laki-laki itu merapikan rambut pendek Caca yang sedikit acak-acakan karena baru melepaskan helm. Lalu, dia dengan iseng mencubit pipi empuk kekasihnya.
“Gemes, dah, kalau rambutnya diginiin.”
Caca memutar bola matanya malas. “Gombal mulu.”
“Padahal gue jujur.” Caca mengabaikan hal itu, dia mengambil alih helm yang ada di tangan Bisma. Diletakkannya helm itu bersama dengan helm yang baru dia gunakan.
“Ayo, Kak,” ajak Caca sembari menarik pergelangan tangan Bisma. Namun, laki-laki itu bergeming di tempatnya.
Tangannya bergerak agar kedua tangan mereka saling bertaut. Bisma memasukkan itu pada saku hoodie-nya, lalu memimpin langkah mereka berdua.
“Ayo.”
Caca mengerjapkan matanya, Diam-diam merasa hangat. Namun, dia menggelengkan kepalanya. Gak boleh salting, Ca. Cuma gitu doang!
Ini malam Minggu dan angkringannya ramai itu bukan hal aneh.
Bisma dan Caca menatap sekitar, mencari tempat yang kosong. “Nah, di sana. Lo tunggu aja, Kak. Biar gue yang beli makanannya, sate-satean aja, ya.”
Bisma menurut. Pokoknya, hari ini terserah Caca. Bisma akan menjadi anak penurut.
Anggap saja permintaan maaf karena Bisma lebih banyak meninggalkan Caca bulan ini. Dia dan teman agensinya yang lain sedang melakukan tur. Bisma duduk di tempat yang Caca maksud tadi dan menunggu kedatangan kekasihnya dalam diam.
Masih menunggu Caca. Bisma didatangi oleh seorang perempuan yang tampaknya lebih muda darinya. Perempuan berambut panjang bergelombang itu mendekatinya dengan malu-malu.
“Pe-permisi, Kak.”
Bisma menatap heran. “Kenapa?”
Bukannya menjawab, perempuan itu malah menyerahkan selembar kertas yang dirobek asal. Dia letakkan di atas meja Bisma bersama dengan sebuah pulpen.
“Boleh minta kontaknya gak?”
Kedua alis Bisma terangkat. “Kontak gue?”
Perempuan itu mengangguk. “Iya, mau akun medsos atau nomor. Terserah Kakaknya aja.”
“Eh, tapi—”
Belum selesai Bisma berucap, Caca sudah datang dengan makanan yang dia inginkan. Caca menatap Bisma dan perempuan tadi bergantian, lalu menatap pada kertas yang masih kosong.
“Oh, lo mau minta kontak kakak gue?”
Bisma mengernyit mendengar itu. “Ca—”
“Sini gue tulisin, ya,” potong Caca lagi sambil menuliskan sesuatu di kertas itu. Bisma tak bisa memastikan Caca menulis apa karena tangannya yang lain menutupinya.
Caca menggulung kertas itu, lalu mengukir senyuman manis kala menatap pada perempuan tadi. “Ini, bukanya pas udah agak jauh aja, ya.”
Perempuan itu tersenyum lebar. “Makasih, Kak! Saya pamit duluan kalau gitu, ya.”
Caca mengangguk, membiarkan perempuan itu menjauh. Baru setelah lepas dari pandangan, Caca menatap Bisma sengit.
Perempuan itu berdecak. “Kesenengan, kan, lo?”
Bisma menggelengkan kepalanya, jujur ia merasa terhibur dengan ekspresi Caca saat ini. Namun, ia tak ingin menunjukkannya. Tak seharusnya ada masalah hari ini.
Bisma menarik agar Caca duduk. Tangannya merangkul dan memberi usapan pelan pada lengan atas Caca.
“Gue mau nolak, tapi lo keburu dateng.”
Caca memutar bola matanya malas. “Basi.”
“Beneran,” kata Bisma sambil mencubit pipi perempuan itu. “Lo sendiri kenapa nulis di kertasnya?”
Caca mengendikkan bahunya, memilih untuk tak menjawab dengan kata. Bisma sendiri memilih untuk tak memaksa agar Caca mengatakannya. Dia yakin kalau Caca tak benar-benar memberi kontaknya pada perempuan tadi.
“Udah, ah, ayo makan.”
“Satu berdua banget, nih?” tanya Bisma sadar kalau Caca hanya membawa satu piring berisi banyak sate-satean.
“Biar cepet,” balas Caca.
Sadar kalau Caca masih merasa sebal. Bisma mengambil salah satu satenya lalu menyiapkan itu pada Caca. Untungnya, Caca mau menerimanya.
Sekali lagi, cubitan lembut diberikan pada pipi Caca. Perempuan itu berdecak. “Apa sih? Nyubit terus!”
Bisma memangku kepalanya dengan tangan. Menatap Caca lekat lengkap dengan senyuman miring di wajahnya.
“Gemes soalnya.”
Caca mengalihkan pandangannya, ke mana pun asal tak melihat kekasihnya. Bisma yang sadar kalau Caca salah tingkah hanya bisa menertawakan.
“Friska,” panggil Bisma.
Bisma sangat jarang memanggilnya dengan nama itu. Kalau sudah, berarti Bisma tengah benar-benar serius.
“Gue selalu lihat lo,” katanya. “Dari dulu, orang yang selalu gue lihat adalah lo. Tolong jangan diraguin lagi.”
Caca menghela napasnya dan memberanikan untuk diri menatap Bisma. Tangannya bergerak untuk mengusap perlahan pipi yang lebih tua. Mata Bisma terpejam menikmati sentuhan Caca.
“Sama.”
dan cukup.
Keduanya tak perlu mengatakan perasaan masing-masing. Hanya seperti itu saja sudah cukup untuk membuat keduanya paham perasaan satu sama lain.
Mereka sama-sama tipe orang yang mempunyai gengsi tinggi. Untuk mengatakan perasaan lewat mulut itu butuh tenaga lebih.
Selagi hangat itu masih ada, maka masih ada benang tak kasat mata yang menyatukan mereka.
Cukup lama mereka diam dan menikmati makanan masing-masing. Caca tiba-tiba menyandarkan dirinya pada bahu Bisma. Laki-laki itu membiarkannya, dia malah menyandarkan kepalanya pada kepala Caca.
“Kak, soal pernikahan di kontrak lo itu tahun depan, 'kan?”
Bisma sebenarnya bingung kenapa Caca tiba-tiba membahas hal yang selama ini selalu ia hindari. Namun, bibirnya tetap menjawab, “Iya.”
Jari Caca kini memainkan tali hoodie yang Bisma kenakan. Dalam sekejap Caca mendongak untuk melihat ekspresi yang Bisma tunjukkan. Namun, Bisma jarang sekali mengeluarkan ekspresinya.
“Yakinin gue soal kitanya pas udah itu aja,” ucap Caca lebih pelan dari sebelumnya. Untung, Bisma masih bisa menangkapnya dengan baik.
“Supaya gue sama lo bisa sepenuhnya yakin sama kita tanpa perlu kepikiran kontrak yang ngabisin tenaga.”
Bisma terkekeh pelan, tangannya mengajak tangan Caca yang semula memainkan taki agar saling menggenggam.
“Beneran?”
Bisma dapat merasakan Caca mengangguk. “Bener.”
“Oke.”
Caca membalas dengan gumaman tak jelas seraya mengusakkan dirinya pada bahu Bisma. Dia merasa semakin nyaman dengan posisi ini.
“Friska,” panggil Bisma setelah hening menguasai mereka untuk beberapa menit.
“Kenapa?” tanya Caca.
“Jangan kabur lagi kayak waktu kita masih sekolah.”
“Gak akan, Kak,” katanya. “Gue gak akan ke mana-mana lagi.”
“Gue di sini sama lo.”
I wanna stay with you. Today, tomorrow, and every single after that day.
Di sisi lain, perempuan yang tadi memberanikan diri untuk meminta kontak Bisma itu membuka gulungan kertasnya dengan tak sabaran.
Senyum sudah menghiasi wajahnya. Ponsel juga sudah menyala siap memasukkan apa pun kontak yang diberikan. Namun, senyuman itu seketika luntur setelah membaca isinya.
'Dia punya gue, bego.'