bonus jenrena.

Rules:

• Kamu boleh mengunggah potongan ceritanya saat memberi tanggapan di akunmu. Pastikan akun tidak dikunci, ya, dan jangan lupa tag aku.

• Untuk yang ingin menyampaikannya secara pribadi, silakan tulis di tellonym saya agar bisa saya bagikan.

• Link cerita tidak boleh dibagikan pada yang lain. Ini khusus untuk yang mengikuti vote kemarin.

Happy reading dan maaf kalau ada salah dalam pengetikannya.


Jennie as Jennifer. Tzuyu as Larena.

Jennifer mengikat rambutnya sambil menunggu Larena masuk ke dalam mobil yang ia kendarai. Larena masih menunggu lumpia basahnya dibuat. Tampaknya tadi ramai sampai Jennifer sudah di sini pun, Larena masih mengantri.

“Kak, maaf lama, ya,” ucap Larena begitu masuk. Tampilan perempuan itu tak begitu rapi. Selain karena dia habis lembur, pasti Larena juga mengacak-acak rambutnya sendiri saking pusingnya.

“Maaf juga aku gak jadi ke tempat Kakak. Seharusnya, kan, aku yang nyusul bukan Kak Jen yang jemput.”

Jennifer menatapnya lekat. Dia kembali teringat dengan apa yang diadukan Larena padanya tadi.

'Aku baru keluar kantor. Habis dikerjain sama seniorku huhu.'

Jennifer menghela napasnya. Ini bukan pertama kalinya Larena diperlakukan demikian. Tangan Jennifer bergerak untuk mengusak puncak kepala perempuan itu dengan lembut.

“Gak papa. Pasti laper banget, ya, kamu?”

Larena itu cukup ekspresif. Pengaruh dia yang selalu menjadi paling muda di mana pun. Jadi, ketika Jennifer bertanya seperti tadi, Larena langsung menunjukkan wajah sedihnya.

“Iya, laper. Mana tadi ini ngantrinya lama,” balas Larena setengah merengek.

Jennifer terkekeh, merasa gemas melihat itu. “Ya udah, sambil jalan dimakan aja, ya. Kita beli makanan dulu nanti, makannya di apartemen aja.”

Larena memandang Jennifer penuh tanya. “Emang Kak Jen mau makan jam segini? Biasanya, kan, gak mau.”

“Sesekali gak papa,” balas Jennifer dan Larena mengangguk paham. Dia kemudian sibuk sendiri dengan lumpia basahnya.

Jennifer menggeleng kecil melihat itu. Dia kemudian menyalakan mesin mobilnya dan mulai melakukan benda itu dengan kecepatan sedang.

“Oh, iya, aku udah izin ke mama kamu, ya,” ucap Jennifer dengan masih fokus melihat pada jalanan.

Larena mengangguk. “Iya, mama juga tadi chat aku buat mastiin.”

Good.

Sisa perjalanan itu, mereka lebih banyak diam. Jennifer sengaja tak memulai obrolan agar Larena fokus dengan makanannya.

Mereka sempat berhenti di sebuah restoran makanan cepat saji untuk membeli beberapa potong ayam, nasi, dan kentang. Larena juga sempat meminta es krim, tapi Jennifer menolaknya dan menjanjikan dia akan membelikan untuknya besok.

Ini sudah malam.

Sesampainya di rumah Jennifer, Larena diminta untuk membersihkan dirinya secara singkat. Jennifer juga sudah menyiapkan piyama yang bisa dikenakkan oleh kekasihnya itu.

Sekarang, yang lebih tua sudah di dapur. Menyiapkan makanan mereka sambil menunggu Larena selesai.

Larena datang dengan rambut yang basah. Di tangannya ada handuk yang menggantung.

Jennifer langsung menatapnya tak suka. “Kenapa keramas, sih?! Udah malem.”

Bibir Larena mengerucut mendengar kalimat Jennifer yang galak. “Kepalaku pening abis, Kak! Jadi, aku keramasin aja!”

Jennifer menghela napasnya lalu menuntun Larena agar duduk. Dia mengambil alih handuk yang dipegang oleh Larena dan berkata, “Kamu makan aja, ini aku keringin bentar. Habis itu, nanti di kamar pake hair dryer.

“Nanti Kak Jen makan juga, ya,” ucap Larena dan Jennifer hanya bergumam sebagai balasan.

Larena mengambil nasi yang sudah Jennifer alasi dengan piring. Perempuan itu kembali fokus dengan makanannya disaat Jennifer menggosok rambutnya dengan handuk.

Jennifer menggeleng kecil kala melihat Larena mengambil satu suapan besar. Dasar.

Larena itu mudah ditebak. Dia yang manja pada Jennifer bukanlah hal aneh lagi. Larena memang akan menjadi manja pada orang-orang yang sudah dia sayangi.

Yang lebih muda baru memasuki dunia kerja dan senior menyebalkan sudah bukan hal baru lagi. Biasanya orang yang lebih dewasa dari Larena akan membimbingnya. Namun, sekarang dia dipertemukan dengan orang dewasa yang merepotkannya. Entah apa alasan mereka, Larena tak pernah menceritakannya pada Jennifer.

Jennifer meletakkan handuknya pada sandaran kursi. Kemudian, dia menyusul Larena untuk makan.

“Padahal kalau tadi beli es krimnya enak, sambil dicocolin kentangnya ke sana,” ucap Larena sambil menyiapkan kentang yang sudah dia lumuri dengan saus.

Jennifer terkekeh dan mengusap sisa saus yang tertinggal di ujung bibir Larena dengan ibu jarinya. “Udah malem, sayang. Masa makan es?”

“Udah gede,” balas Larena. Ngeyel.

“Penyakit tetep dateng walau kamu udah gede.”

“Tapi—”

“Sst, udah, ya. Makan yang bener, jangan banyak omong. Denger, Dek?”

Sekarang, Jennifer malah bertingkah seperti ibunya. Larena mendengus, tapi masih memberi anggukan pada yang lebih tua.

Larena kembali fokus dengan makanannya tanpa berkata apa-apa lagi, tapi bibirnya mengerucut sebal. Jennifer lagi-lagi menggeleng kecil melihat tingkahnya. Dia pun mulai memakan makanannya.


“Aku juga gak tahu kenapa, Kak. Padahal aku bukan anak magang di sana. Mungkin emang pada dasarnya udah gak suka aja sama aku,” jelas Larena saat Jennifer bertanya kenapa para seniornya itu senang mengerjai Larena.

Larena memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap pada Jennifer. Sekarang, mereka sudah di kamar dan tiduran di atas tempat tidur. Mengobrol hingga mengantuk.

Jennifer yang tidur terlentang menolehkan kepalanya untuk membalas tatapan yang lebih muda. “Coba inget lagi, siapa tahu kamu ada kesalahan?”

Larena menggeleng. “Enggak, Kak. Aku nurut kata mereka dan gak pernah merintah juga. Posisi aku juga masih rendah buat bersikap seenaknya.”

Kini, keduanya sama-sama diam dengan mata yang masih saling bertatapan. Tiba-tiba mata Larena membulat, sepertinya perempuan itu teringat sesuatu.

“Ah, aku inget! Mereka mulai ngerjain aku tuh semenjak papanya kakak nyamperin dan ngajak aku ngobrol.”

Jennifer terdiam memikirkan kemungkinan yang terjadi. Sepertinya ada kabar tak enak yang menyebar tentang Larena setelah melihat interaksinya dengan papa Jennifer.

Omong-omong, Larena memang bekerja di perusahaan keluarganya. Namun, dia masuk ke sana juga benar-benar melamar seperti yang lain. Tidak karena hubungan keduanya.

Mau bagaimanapun, Jennifer tidak terlibat dengan perusahaan. Keputusannya untuk menjadi model adalah alasan utamanya.

Melihat Jennifer yang terus diam. Larena merapatkan tubuhnya pada Jennifer. Tangannya bergerak untuk melingkari pinggang yang lebih tua. Membawanya ke dalam sebuah pelukan.

“Udah, ah, Kak. Jangan bahas itu, aku mau pelukan aja.”

Jennifer terkekeh, memilih untuk menurut. Dia membalas pelukan Larena dan menepuki pinggulnya dengan perlahan.

Larena memejamkan matanya, menikmati. Ini sudah cukup larut, sudah waktunya untuk tidur.

Good night, Kak.”

Good night, Dek.”

Tak lama, Jennifer bisa merasakan napas Larena yang mulai teratur. Gerakan tangan Jennifer yang semula menepuki Larena kini berhenti.

Jennifer memandangi wajah Larena, perempuan itu sudah tertidur. Terlihat jelas kalau Larena kelelahan meski semua itu berhasil ditutupi oleh keceriaannya.

Dia benar-benar harus mengajak seniornya bicara.


“Udah sana, Kak. Kenapa harus ikut turun, sih?”

Jennifer menaikkan kacamata hitam yang dipegangnya. Tak mengacuhkan kalimat Larena barusan, dia tetap membuntuti yang lebih muda hingga mereka akan memasuki ke lantai tempat divisinya berada.

“Gih, kerja,” kata Jennifer, dia berhenti di ambang pintu.

Larena menatap bingung, tapi tak ambil pusing. “Hati-hati nanti.”

Jennifer mengangguk dan memberikan senyuman meyakinkan. Larena masuk dan itu tak lepas dari pandangan Jennifer hingga dia duduk di tempatnya.

Sesuai dugaan Jennifer, akan ada yang langsung menghampiri Larena dan menyimpan setumpuk dokumen di meja perempuan itu. “Ini tolong diperiksa, ya. Terus nanti jangan lupa di-fotocopy

“Tapi, Kak—”

“Udah, kerjain aja.”

Jennifer menghembuskan napasnya kasar. Yang meminta seenaknya, yang diminta tak bisa menolak. Larena kadang terlalu baik.

Jennifer mengambil langkah lebar memasuki ruangan itu. Dia menatap sekitar dan orang-orang menatapnya heran karena Jennifer tak berpenampilan seperti seseorang yang bekerja di sini. Terlebih dengan kacamata yang dia kenakan.

Jennifer mengambil kembali dokumen itu. Larena yang bisa menangkap apa yang akan Jennifer lakukan langsung menahannya.

“Kak—”

Diabaikan. Jennifer tetap berjalan ke meja orang yang memberi Larena dokumen tadi dan meletakkan dokumennya.

“Kerjain sendiri, semua punya porsi masing-masing. Gak lihat di meja Larena masih ada kerjaan?”

Orang itu menatap Jennifer dengan tidak senang. “Kamu siapa? Bersikap seenaknya kayak gini. Dia junior, dia berhak untuk ngerjain ini.”

Jennifer menggeleng. “Kamu juga bukan bosnya, kamu lebih berhak untuk mengerjakan ini.”

Orang itu tertawa remeh. “Terus Larena gak berhak karena dia simpenan si bos? Itu, 'kan, yang mau kamu bilang?”

Jennifer mengernyit mendengar itu. Sementara Larena sudah menampilkan raut terkejutnya. Ide dari mana aku jadi simpenan bos?

Jennifer menggeleng, dia sedikit tak mempercayai kalau dugaannya benar. Tangannya bergerak untuk melepaskan kacamata yang dirinya kenakan.

I'm Jennifer Evelyn. Tahu, 'kan, siapanya yang punya perusahaan ini?”

Hening tercipta seketika. Orang yang semula menatap Jennifer dengan remeh, kini bahkan tak lagi berani menatapnya.

“Biar gue lurusin. Larena bukan simpenannya bos kalian, tapi dia pacar anaknya. Dia bisa aja dapat posisi yang langsung tinggi, tapi enggak. Anaknya baik sampai mau kerja dari bawah, eh malah ketemu orang-orang model kalian yang lebih suka gosip dari pada kerja. Gue bisa bikin kalian keluar dengan mudah, loh.”

“Ma-maaf, Bu ... saya gak bermak—”

“Gue gak mau dengerin pembelaan kalian,” potong Jennifer sambil memandang dengan tajam.

Perempuan itu berbalik untuk melihat pada Larena.

“Besok kamu pindah divisi, jangan ke lantai ini lagi.”

“Tapi, Kak—”

“Mau kamu yang pindah atau aku keluarin mereka semua?”

Jennifer tahu, Larena tak mungkin membiarkan seniornya keluar. Walau sudah dikerjai, Larena itu masih akan berbuat baik pada mereka. Entah terbuat dari apa hati Larena.

“Aku ... aku yang pindah,” balas Larena sambil menunduk.

Jennifer tersenyum tipis. Dia kemudian memandangi satu per satu orang yang ada di sana.

“Denger gak? Larena masih baik dan ngebiarin kalian kerja di sini. Perlakuin dia dengan baik hari ini, tolong diingat gue selalu tahu apa aja yang kalian lakuin. Mata gue banyak.”

Jennifer menatap Larena, lalu mengedipkan sebelah matanya. Dia kemudian memakai kembali kacamatanya dan tanpa berpamitan, Jennifer keluar dari sana.

Biarlah sesekali dia memanfaatkan kekuasannya.


Larena: Kak, ih, bikin kesel aja. Kenapa tiba-tiba ngelabrak??-_- AKU MAIN DIPINDAHIN LAGI Tapi makasih, hari ini aku ditraktir mereka hehe :D

Jennifer menggeleng kecil membaca pesan Larena kala jeda pemotretannya. Lihat? Satu traktiran saja, anaknya sudah bisa senang.

Larena itu baik dan menyenangkan. Dia juga hangat sampai lewat pesannya saja Jennifer bisa mengukir sebuah senyuman seperti sekarang. Dalam hati, Jennifer berjanji akan senantiasa agar membuat Larena dikelilingi oleh kebahagiaan.

Larena is the sunshine and Jennifer is her protector.