bonus jenwan.
Wonwoo as Awan. Jennie as Jennifer.
Seingat Awan, Jennifer bukanlah sosok perempuan yang senang dengan hal sentimentil seperti senja atau puisi. Makanya, Awan jarang berkata manis padanya.
Pernah Awan sekali memberikan puisi sebagai ucapan untuk menemani kue ulang tahunnya. Namun, Jennifer malah bergidik setelah selesai membacanya. Itu membuat Awan enggan membuat puisi lagi.
Seingat Awan pula, Jennifer bukanlah seseorang yang menyukai bunga. Perempuan itu akan menerima kalau diberi dan mengapresiasinya. Namun, dia tak akan menyimpannya meski selama satu hari. Selesai difoto, terserah mau diletakkan di mana juga, dia tak peduli.
Namun, sekarang perempuan itu malah antusias untuk mendatangi sebuah kafe bunga. Kafe yang tak pernah Awan bayangkan ada.
Lagian kenapa harus ada, sih?
Awan tak suka jika keinginannya ditentang. Begitu juga dengan Jennifer. Jika Awan selalu berusaha agar tiga temannya mau menuruti apa yang ia inginkan dengan susah payah, maka Jennifer bisa membuat Awan menurut dengan mudah.
Cukup dengan tatapan tajam dan Awan akan duduk manis. Menunggu Jennifer melakukan apa pun pada dirinya.
Seperti sekarang.
Jennifer baru saja memaksa Awan untuk mengenalkan rompi rajut dibandingkan jaket kulitnya yang biasa. Tangan perempuan itu bergerak untuk merapihkan rambut Awan, lalu memasangkan kacamata di wajahnya.
Jennifer menepuk pelan kedua sisi wajah Awan. Senyum puas terukir di wajahnya sekarang.
“Anak manis,” komentar Jennifer dengan nada meledek. Sengaja karena dia tahu Awan tak akan berani mengajukan protes.
Benar saja, Awan cuma berani mendelik padanya.
Jennifer sendiri mengenakkan gaun di bawah lutut berwarna biru tua. Rambutnya disanggul ke atas dan sengaja memperlihatkan poninya. Awan sendiri memakai kemeja berwarna biru tua yang dibalut rompi cokelat pilihan Jennifer.
Sebenarnya mereka tak benar-benar mengenakkan sesuatu yang benar-benar cerah seperti yang Jennifer katakan di-chat.
“Mau motoran, 'kan?”
Jennifer menggeleng. “I'm wearing a dress, jadi pake mobil, ya.”
Awan mengangguk setuju. Malas bedebat lagi.
“Ya udah, mana kuncinya? Biar aku yang nyetir.”
Awan pergi ke rumah Jennifer menggunakan motornya. Niatnya biar lebih cepat saja tadi karena Jennifer menginginkan dirinya memakai pakaian yang perempuan itu pilihkan. Ternyata ujung-ujungnya, Jennifer tetap menginginkan mereka menggunakan mobil.
Jennifer merapikan poninya lebih dulu sebelum mengambil kunci mobil yang ada di atas laci. Dia melemparkan benda itu pada Awan dan berhasil ditangkap oleh kekasihnya.
“Yuk, keburu macet,” ucap Jennifer seraya mengambil tasnya.
Awan malah merangkul pinggang kekasihnya itu, menahan Jennifer agar tak mondar-mandir lagi. Yang ditahan, menatap penuh tanya.
“Cium dulu, dong. Aku, kan, udah jadi anak penurut.”
Jennifer memutar bola matanya malas. Namun, meski begitu dia tetap meraih sebelah wajah Awan dengan tangannya. Sedikit berjinjit dan memberikan sebuah ciuman cukup panjang pada kekasihnya itu. Tentu Awan dengan senang hati membalasnya.
“Udah, ah, yuk.”
“Iya, ayo, Jen sayang.”
Perjalanan menuju kafe yang Jennifer inginkan tak begitu jauh sebenarnya. Namun karena mereka sempat terjebak macet, jadi perjalanannya lebih lama dari yang seharusnya.
Langit pun tampak mendung, sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Kali ini, Awan bersyukur karena mereka memilih untuk menaiki mobil.
Sebelum turun, Jennifer lagi-lagi membenarkan rambutnya. Jika biasanya saja, perempuan itu sudah terbiasa untuk merapikan rambut. Kini, ketika dia memiliki poninya kebiasaannya itu semakin menjadi.
“Aku, 'kan, udah bilang kalau rambut kamu acak-acakan pun, you're still pretty?”
Jennifer mendelik pada Awan. Tak benar-benar mempedulikan ucapan kekasihnya itu.
“Thanks. But I want to look pretty for myself, not for you.“
Awan mendengus mendengar itu. Kemudian, dia mencubit pipi Jennifer dengan gemas sampai empunya menepuk tangan Awan dengan keras karena merasa sakit. “Ih, sembarangan banget nyubitnya!”
Jennifer mengusap bekas cubitan Awan yang terasa sakit. Sementara itu, si pelaku malah terkekeh dan ikut mengusap pipi Jennifer yang memerah.
“Sorry. Habis kamu dikasih tahu jawabnya gitu mulu. Ya udah, yuk, turun?”
Tangan Jennifer menahan Awan yang hendak membuka pintu mobil. “Awan, wait.“
Awan mau tak mau kembali menghadap pada kekasihnya. Dia menatap Jennifer dengan heran, meminta penjelasan.
“Aku mau minta sesuatu dulu.”
“Mau apa lagi, Jen sayang?”
Jennifer terdiam sejenak. Dia menatap pada gelang pemberian Awan yang menghiasi pergelangan tangannya, lalu pada si pemberi dengan ragu.
“Di dalem jangan singgung soal kelanjutan hubungan kita, ya? Sekali ini aja.”
Awan tak langsung membalas. Dia menatap Jennifer dengan menyelidik. Namun, pada akhirnya laki-laki itu tetap mengangguk. Awan paham kalau Jennifer sedikit muak membahasnya selepas makan malam terakhir dua keluarga mereka.
“Oke.”
Bibir Jennifer mengulas senyum. “Thank you! I love you.“
Kedua pipi Awan mendapatkan kecupan singkat. Awan tersenyum lebar, lalu membalas dengan kecupan singkat di bibir yang lebih tua beberapa bulan darinya itu.
Setelahnya, Awan turun dari mobil. Dia juga membukakan pintu untuk Jennifer. Kekasihnya malah tersenyum geli melihat tingkah Awan yang tak seperti biasanya.
Mereka memasuki kafe itu dengan tangan Awan yang merangkul Jennifer. Meski tempatnya tak cocok dengannya, Awan ingin Jennifer memiliki mood yang baik kali ini. Pokoknya, Awan tak ingin lagi menimbulkan kekesalan pada diri Jennifer.
Setidaknya untuk hari ini. Dia tidak bisa menjamin bagaimana dirinya esok hari.
Mereka berdua sama-sama memesan pasta pesto ditemani dengan caramel machiato dan lemon tea. Tak ketinggalan sepotong cheesecake untuk mereka makan berdua pun ada di atas meja tempat mereka berada sekarang.
“Suka gak sama makanannya, Wan?”
Awan tak langsung membalas. Dia perlu untuk menelan makananya dulu, jadi Awan hanya bisa mengangguk.
“Enak, aku suka.”
Jennifer tersenyum puas. Ya, setidaknya makanannya cocok untuk Awan.
Tangan Jennifer bergerak untuk mengambil tisu, lalu mengusap saus yang tertinggal di ujung bibir Awan. Yang diusap malah menunjukkan seringainya.
“Pake jari harusnya, biar romantis.”
“Kalau gitu, tisu yang ada di sini gak akan berguna.”
Awan tertawa mendengar balasan yang Jennifer berikan. “Bisa aja jawabnya.”
“Harus lah? Kalau enggak nanti malah kamu manfaatkan.”
Tawa Awan kembali pecah. Kini, Jennifer pun ikut tertawa bersamanya.
Setelah agak lama. Baru Awan bertanya, “Kamu kenapa, deh, tiba-tiba pengen ke tempat kayak gini? Biasanya suka bunga cuma buat formalitas aja.”
Jennifer tak langsung membalas. Dia memilih untuk meneguk lemon tea-nya terlebih dahulu. Setelah itu, Jennifer memandang Awan lekat.
“Di umur kita sekarang, tuh, kita seakan ngelakuin hal yang 'itu-itu aja'. Jadi, aku mau nyoba suasana baru, Wan.”
Awan terdiam sejenak, berusaha memahami maksud Jennifer. “Terus kamu mau nyoba dari hal yang kurang kamu sukai?”
Jennifer mengangguk. “Bener. Setelah baca beberapa artikel, bunga ternyata tema yang cukup menarik. Mereka punya makna masing-masing.”
Perempuan itu menunjukkan pada bunga lily putih yang ada di dekat kasir. “Kayak bunga lily putih, identik sama kesucian dan kesetiaan. Mereka cocok buat menghias sebuah pernikahan.”
Awan terdiam mendengar kata terakhir Jennifer. Catet, nanti harus ada bunga itu, Wan.
Jennifer kembali memandang pada Awan. Dia mengukir sebuah senyuman tipis. “Lagian di kehidupan juga gitu, 'kan? Kadang kita harus melakukan sesuatu yang gak begitu kita sukai untuk mencapai tujuan kita. Kayak maksa, tapi itu supaya tujuannya terwujud.”
Awan menatap lekat pada Jennifer. Perempuan itu meminta pada Awan agar tak membahas kelanjutan hubungan mereka di sini, tapi sekarang Jennifer secara tak langsung sudah menyinggungnya.
Namun, Awan memilih untuk tetap mengikuti alur yang Jennifer ciptakan.
“Aku tahu, karena dunia gak selalu berputar buat kita, 'kan?”
Jika mengingat masa lalu. Awan tak menyangka kalau dia dan Jennifer bisa menjalin hubungan serius sampai sekarang.
Walau mereka terhambat untuk meneruskan ke jenjang berikutnya. Pada kenyataannya, mereka masih ada untuk satu sama lain hingga detik ini.
“Iya dan kita sewaktu-waktu bisa jadi manusia yang paling ditentang,” ucap Jennifer. “Tapi tetep aja, semuanya proses. Mau buruk atau bagus, itu tetap proses. Kita perlu menerima, menikmati, dan belajar darinya.”
Awan meraih tangan Jennifer. Diusapnya dengan pelan punggung tangan halus milik kekasihnya. Awan tersenyum tipis dan menatap Jennifer dengan penuh arti.
“Kita perlu melakukan hal yang gak kita sukai untuk mencapai sesuatu,” ucap Awan mengulang kalimat Jennifer tadi. “Kayak kita, ya?”
Ada jeda sebelum Jennifer tersenyum dan mengangguk. “Kayak kita.”
Hening tercipta di antara keduanya. Ibu jari Awan masih mengelus punggung tangan Jennifer. Sementara, Jennifer memilih untuk mencicipi kuenya agar bisa teralih dari tatapan Awan.
Mereka bertemu karena dijodohkan. Menjalin hubungan karena ketidaksengajaan. Lalu, menjalankannya hingga sekarang.
Semenjak itu, selalu ada Jennifer di hari-hari Awan begitu pula sebaliknya. Meski kadang kewalahan menghadapi satu sama lain, tapi mereka tetap ada di sana. Untuk satu sama lain.
“Ini gak mudah, Jen,” kata Awan. “Kita dulu mudah, tapi sekarang malah jadi susah. Tapi aku gak pernah kesel sama semuanya karena aku tahu ini buat kamu, buat kita.”
“Aku sama kamu itu beda, selalu ada perbedaan. Tapi kita masih duduk di hadapan satu sama lain dengan kasih sayang yang udah diungkapkan. Aku minta maaf karena kita jadi sulit akibat ulahku, tapi makasih karena kamu masih bersedia untuk ngasih aku waktu supaya kita bisa bersama.”
Jennifer menggeleng. “Gak sepenuhnya ulah kamu. Aku yang ngasih kamu ide itu, ingat?”
Awan terkekeh kecil. “Ya, tetap aja aku minta maaf.”
Pada akhirnya, Jennifer mengangguk. “Oke, dimaafkan.”
Awan mengeratkan genggamannya pada tangan Jennifer. Dia berusaha memberi tatapan tulus agar Jennifer paham kalau memang itu yang ia rasa.
“Aku tahu aku udah banyak minta sama kamu. Tapi aku harap, kamu masih mau nerima yang satu ini,” ucap Awan.
Jennifer memiringkan kepalanya penasaran. “Apa?”
“Let's fight for each other, Jen!” ajak Awan dengan nada tegas.
Jennifer tersenyum dan mengangguk. Tangannya yang lain menepuk genggaman tangan keduanya.
“Let's fight for each other, Wan,” jawab Jennifer sama tegasnya.
“Semoga kita berjuangnya gak perlu lebih lama lagi, Jen sayang.”
Punggung tangan Jennifer dikecup oleh Awan dengan lembut. Penuh harapan akan kalimatnya barusan yang dapat menjadi kenyataan.
They will continue to fight for each other until they can be together.