bonus renshan

Hoshi as Rendra. Sana as Naya

Selama mengenal Rendra, Naya tak pernah sekali pun terpikirkan untuk meremehkan laki-laki itu. Rendra itu bisa dibilang sebagai manusia yang jarang sekali menolak permintaan. Dia mau membantu siapapun yang meminta pertolongannya dan terkadang itu akan membuat dirinya sendiri kewalahan. Namun, Rendra tetap dapat menyelesaikan semuanya.

Menyaksikan Rendra dari jauh tanpa mereka yang saling mengenal akrab pun, Naya sudah menghela napas melihat kegiatan laki-laki itu selama di sekolah. Apalagi saat mereka sudah menjadi sepasang kekasih di mana Rendra tak pernah ragu menceritakan kegiatannya.

Oleh karena itu, Naya sering bertanya, 'kapan sekiranya Rendra akan kewalahan?'

Naya tahu jawabannya sekarang. Ketika laki-laki itu sudah resmi menjabat di perusahaan dan harus tinggal di luar kota, Rendra perlahan-lahan menjauh dari dunianya.

Naya juga sebenarnya tak langsung menyadarinya. Ketika dia bertanya soal Taksa pada Rendra, baru dia sadar. Kekasihnya itu biasanya menjadi yang paling tahu, sekarang dia malah ragu dalam menjawab.

Pertemanan, perusahaan, lalu ditambah dengan persiapan pernikahan. Naya akhirnya tahu kalau seorang Tarendra pun bisa kewalahan.

'Kita kabur, yuk? Sebentar aja. Ke tempat yang cuma ada kita berdua.'

Itu adalah kalimat yang paling tidak mungkin disuarakan Rendra. Namun, kenyataannya dia mengucapkannya.

Kini, entah ke mana mobil yang mereka tumpangi akan pergi. Naya memutuskan untuk diam hingga Rendra yang tengah menyetir duluan bersuara. Suasana hati kekasihnya itu tampak buruk, jadi Naya memilih untuk memandangi jalanan.

Sejujurnya, Naya tak mendapat ide ke mana mereka akan pergi. Yang pasti mereka akan menginap karena Rendra menyuruhnya membawa beberapa baju ganti.

“Nay,” panggil Rendra ketika mereka menemui lampu merah. Yang dipanggil menoleh dan lekas bertanya, “Kenapa?”

“Nanti beli jajanan dulu,” ucapnya pelan. “Di minimarket.”

Okay.

Cukup canggung, memang. Mereka sama-sama memiliki sesuatu yang ditahan agar tak terungkapkan.

Mobil itu kembali melaju dan Rendra memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket yang buka 24 jam.

“Kamu mau ikut turun?” tanya Naya.

Rendra menatapnya dengan ragu. Jarinya mengusap cincin pertunangan mereka. “Aku boleh ngerokok gak?”

“Butuh?”

Rendra mengangguk. Naya menghela napasnya. “Boleh, tapi jangan banyak-banyak dan jangan di deket aku, oke?”

“Oke.”

Dengan itu, dapat disimpulkan kalau Rendra pun akan ikut turun. Mereka berjalan beriringan memasuki minimarket. Rendra dengan sigap membawa keranjang dan membuntuti Naya tanpa kata.

“Mau beli mie juga gak?” tanya Naya. Mereka cukup jarang mengonsumsi mie instan.

Rendra terdiam sebentar. Matanya melirik pada jajaran mie, lalu pada kasir. Tepatnya pada onigiri yang ada di sana.

“Makan mie-nya di sini, yuk, Nay!” ajak Rendra. “Kayak yang suka ada di youtube.

Naya mengerjapkan matanya. Rendra meminta izin untuk merokok lagi dan menginginkan mereka memakan mie di tempat. Sepertinya laki-laki itu memang membutuhkan pengalihan pikiran.

“Ayo,” balas Naya membuat senyuman muncul di wajah kekasihnya. Naya tanpa sadar ikut tersenyum melihatnya.

“Beli onigiri, sosis, sama yang lain juga, ya?” ucap Rendra dengan antusias.

Naya terkekeh. “Iya, boleh, sayang. Semuanya boleh.”

Rendra tertawa kecil mendengar itu. Sebenarnya dia merasa konyol untuk tingkahnya barusan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan ini.

Laki-laki itu mengecup sekilas pipi Naya. “Thank you!

Naya menggeleng kecil. Tumben.

“Ayo pilih, keburu malem banget. Buat makan di sini sama buat bekel kita,” ajak Naya sambil menarik tangan Rendra yang tak memegang keranjang.


Perut sudah terisi penuh, mobil yang kembali melaju. Rendra lebih pelan dalam mengendarai mobilnya kali ini. AC dimatikan dan jendela mobil diturunkan setengah. Sengaja, mereka ingin merasakan angin malam.

“Kita mau ke mana?” tanya Naya sambil melihat pada kekasihnya.

“Lihat aja nanti aku berhenti di mana. Jaketnya pake yang bener, Nay. Jaga-jaga, takut habis kabur malah sakit.”

Ketika Rendra berkata kabur, itu benar adanya. Mereka pergi tanpa mengabari siapa pun. Ponsel keduanya pun sengaja dimatikan dan disimpan di tas.

“Ini bukan tempat aneh-aneh, 'kan?”

Rendra menggeleng dengan mata yang mash fokus pada jalanan. “Bukan lah. Masa aku bawa kamu ke tempat kayak gitu?”

“Ya, siapa tahu kamu iseng,” balas Naya lagi dengan nada meledek.

Rendra terkekeh. “Udah lupa aku caranya jadi iseng.”

Senyuman di wajah Naya luntur mendengar itu.

“Tempatnya bagus gak?” tanya Naya. Dia lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

“Bagus. Langitnya juga seharusnya cantik kayak kamu.”

Naya tertawa kecil. “Dih, malah gombal.”

“Aku jujur, sih.”

Naya hanya membalas dengan gumaman. Setelah itu tak ada lagi yang bersuara di antara keduanya.

Naya nyaris tertidur kalau saja mobil Rendra tak lekas berhenti. Perempuan itu mengernyit seraya memandang apa yang ada di sekitarnya.

“Pantai?”

Rendra menatapnya dan tersenyum. “Betul.”

Laki-laki itu melepaskan sabuk pengamannya dan milik Naya. Dia turun duluan untuk mengambil selimut juga tikar yang sengaja dibawa tanpa sepengetahuan Naya dari bagasi.

Naya menyusul keluar. Dia semakin bingung melihat barang yang Rendra keluarkan. “Kita mau ngapain?”

Rendra tak membalas. Laki-laki itu malah menggelar tikarnya tak jauh dari mobil, lalu mengajak Naya untuk duduk dengan menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Naya menurut meski masih merasa heran. Perempuan itu duduk di sebelah kekasihnya. Rendra menariknya pelan agar posisi mereka lebih dekat, lalu selimutnya direntangkan untuk menyelimuti mereka berdua.

Tangan Rendra bergerak untuk merangkul Naya. Kepalanya kemudian mendongak menatap langit.

“Kita mau lihat bintang. Gak sebanyak biasanya, sih, tapi tetap indah.”

Naya mengikuti arah pandang Rendra. Memandangi langit yang berhiaskan bintang di atas sana. Mata Naya berbinar melihat itu.

Cantik, batinnya.

“Cantik, 'kan? Kayak kamu.”

Naya tertawa kecil dan menyenggol Rendra pelan. “Kali ini, lebih cantik langitnya.”

Rendra hanya membalas dengan senyuman. Tangannya yang semula merangkul Naya, kini menuntun kepalanya agar bersandar pada bahu Rendra. Setelah itu, Renda juga menyandarkan kepalanya pada kepala Naya.

“Ayo kayak gini dulu, sebentar aja,” ucap Rendra sembari mengusap lengan atas Naya.

Naya memejamkan matanya, menikmati sensasi ini. Untungnya, anginnya tak terlalu kencang. Ada di posisi ini dengan selimut yang mengelilingi, cukup membantu mereka agar tak terlalu merasa kedinginan.

“Shanaya,” panggil Rendra setelah cukup lama hening.

“Hm?”

“Aku lagi kewalahan,” ucap Rendra pada akhirnya mengakui. “Aku cuma minta istirahat sebentar, habis itu bakal kuselesain semuanya satu per satu.”

Naya mengangguk. “Iya, gak papa, Tarendra. Makasih udah jujur sama aku dan ngajak aku buat istirahat juga.”

“Aku pikir bukan cuma aku aja yang butuh istirahat. Kamu juga pasti pusing ngurusin pernikahan kita.”

Naya terkekeh. “Pusing, tapi aku gak akan nyesel.”

Naya mengajak tangan Rendra untuk saling menggenggam dengan miliknya. “Kamu tahu gak? Jennifer bilang ke aku kalau aku beruntung karena sama kamu. Katanya, kalau sama Tarendra pasti bakalan lebih mudah.”

“Soal beruntung, aku mengakuinya. Tapi soal lebih mudah, aku gak sepenuhnya setuju.”

Rendra sudah bisa menangkap ke mana Naya akan membawa pembicaraan ini. Namun, ia memilih untuk tak langsung menebak dan bertanya, “Kenapa?”

Naya terdiam sebentar. “Emang, sih, pacarku ini keren dan rasional. Tapi dia terlalu memusatkan semuanya jadi milik sendiri sampai lupa diri sendirinya harus kayak gimana.”

Rendra menunduk, menatap pada tautan tangan keduanya yang dimainkan oleh Naya.

“Bener, aku gak kenal diriku sendiri yang sekarang,” katanya disertai dengan tawa hambar.

“Kamu ini terlalu nge-push diri kamu sendiri, Ren. Jadinya, kamu gak bisa menikmati setiap prosesnya,” ucap Naya. “Ini seharusnya jadi perjalanan yang panjang, tapi kamu kesannya malah terus-terusan mengambil jalan pintas.”

“Kamu sampai lupa sama temen kamu sendiri, loh.”

Rendra terdiam. “Aku setiap pulang kerja, capek. Terus aku gak mau jadi siapa-siapa termasuk seorang teman. Makanya, aku menghindari mereka. Kamu tahu, 'kan, Taksa itu—”

“Gak bisa apa-apa tanpa kamu? Aku tahu,” potong Naya. “Kamu juga kayak gitu, 'kan?”

Rendra terkekeh canggung. “Oke, aku kalah,” katanya, tak memiliki argumen lagi.

“Sebenarnya gak papa kalau kamu mau menghindar karena capek, Ren. Tapi jangan kelamaan, ya. Apa lagi kita mau nikah, loh. Jangan sampai mereka tahu dari orang lain,” ucap Naya seraya mendongak agar bisa menatap kekasihnya.

Rendra tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku bakal hubungi mereka secepatnya.”

Naya tersenyum puas dan kembali menyamankan posisinya. “Kamu gak pernah capek sama aku?”

Dia bisa merasakan kalau Rendra menggeleng. “Gak pernah.”

“Kenapa?”

“Banyak yang bilang kalau aku ini mampu ngendaliin semuanya, tapi kamu adalah orang yang ngendaliin aku. Contohnya kayak barusan, ucapan kamu bisa tiba-tiba yakinin aku buat ngelakuin sesuatu.”

Rendra terdiam, dia mengeratkan genggaman tangan keduanya. “Kalau gak ada kamu, aku gak yakin bisa tetap waras sampai sekarang.”

“Gak ada aku pun, aku yakin kamu bisa.”

Rendra menggeleng. “Aku gak yakin akan tetap berfungsi kalau gak ada kamu.”

Naya melepaskan tautan tangan keduanya. Beralih menjadi memeluk lengan laki-laki itu karena suhu dingin yang meningkat akibat angin lumayan kencang.

“Kayak aku siapa aja,” ucap Naya sembari mengusakkan dirinya pada pundak yang lebih tua.

“Kan, emang siapa? Orang kamu istri aku.”

“Masih calon, ya, Pak!” papar Naya sambil memukul pelan dada kekasihnya itu.

Rendra tertawa dan Naya pun ikut tertawa. Laki-laki itu mengecup puncak kepala Naya lalu berkata, “Shanaya, makasih banyak karena mau jadi istri aku.”

Naya mengangguk, senyuman belum luntur dari wajahnya. “Makasih juga udah pilih aku, Tarendra.”

“Tetap jadi kita?”

“Tetap jadi kita.”

Mereka masih Tarendra dan Shanaya. Dua orang yang selalu mampu memberi solusi, terlebih untuk satu sama lain.