“Sehebat apa pun orang yang berkuasa di jalanan. Kalau ada pacar, ya ... pacarnya yang berkuasa buat dirinya.”

⚠ tags : harsh words, implicit mature content


Ada banyak orang di sana dengan mulut yang tak bisa diam. Di tempat ini, rasanya telinga sudah akrab dengan kebisingan. Teriakan yang bersahutan, rasanya akan aneh jika tidak ada.

Di antara teriakan itu, ada berbagai nama. Namun, yang paling sering terdengar adalah nama seseorang yang sudah tak asing dilihat dengan jaket merah hitamnya.

Awan Pradipta.

“Tadi katanya lo pusing, masih yakin mau ikut? Gue bisa ganti lo, kok.”

“Gak usah,” katanya, “pusing doang.”

“Muka lo kelihatan merah, pasti demam juga, 'kan? Sumpah, gue takut lo kenapa-napa.”

“Balapan ini cuma sekali, 'kan? Gue ikut pembukanya aja, ketua mereka gak bisa diem. Gue dihubungi terus dan dibilang cupu kalau gak hadir cuma karena sakit.”

Sahabat sekaligus anggotanya itu mengusap wajahnya frustasi. Sudah ia duga, rasa khawatirnya pada laki-laki ini tidak akan dihiraukan.

“Tapi, sakit itu bukan hal yang 'cuma', Wan?”

“Gue bosnya, gue harus tetep ikut, Ren.” Padahal jika dilihat lebih lama, terlihat jelas kalau dia sedang dalam keadaan yang tidak baik. Wajahnya terlihat memerah, napasnya memburu, dan mata yang sedikit tidak fokus.

Rendra—si sahabat yang tengah khawatir itu melihat sekeliling. Mencari hal yang setidaknya bisa membuat Awan tidak nekat untuk ikut balapan dalam keadaan seperti ini. Ia harus cepat karena balapan akan dimulai dalam 15 menit.

Ketika melihat Awan memakai helmnya, Rendra tersadar sesuatu. Ia dengan cepat menaiki motornya sebelum melajukan benda itu, entah untuk pergi ke mana.

Di sisi lain, Awan memejamkan matanya menahan pusing yang ia rasakan. Pegangangannya pada motor mengerat.

“Ah, lo beneran datang ternyata. Kata temen lo tadi, lo sakit.”

Sial, kenapa nih anak nyamperin gue segala.

“Sakit atau nggak pun, bukan urusan lo.”

Orang itu tertawa, jelas sekali kalau ia meremehkan.

“Urusan gue. Sebuah kehormatan bagi gue buat ngelihat harga diri lo hilang.”

Tenang, Wan. Jangan kepanci—

“Tapi, kayaknya lo emang gak punya dari lama, deh.”

“Bangsat.”

“Santai, Bos. Hahaha, semoga lo gak pingsan di belokan, deh,” ujarnya sambil menepuk pundak Awan sok akrab. Awan memilih untuk tak mengatakan apa-apa lagi, dia kembali berusaha untuk menolak rasa sakitnya.

Rendra masih belum kembali ketika orang-orang yang bertanding dengannya sudah menyalakan mesin motor masing-masing. Awan tahu sahabatnya itu pergi, dan ia terlalu pusing untuk bertanya meskipun lewat pesan.

Begitu bendera dikibarkan, Awan menaruhkan sisa kesadarannya untuk melajukan mesin motornya dengan kecepatan tinggi.


“Lo lihat? Gue gak cupu,” ucap Awan dengan bangga. Ia berhasil menyelesaikan balapannya di tengah demam yang melandanya.

“Ya, ya, gue akui. Pertahanin posisi lo, karena gue selalu siap kapan aja buat ambil itu.”

Awan memutar bola matanya. “Ya, ya, terus aja berekspektasi.”

Orang itu tergelak, dia sebenarnya hanya ingin mengetahui saja kemampuan Awan. Tidak benar-benar berniat mengambil posisi laki-laki itu.

“Keren! Udah mendingan tuh kepala dipakein helm?” Kana menghampirinya sambil menyerahkan satu botol air mineral. Awan menerimanya dan langsung meminumnya hingga sisa setengah.

“Makin pening gue, anjir. Tadi sempat oleng, tapi gue lagi beruntung. Btw, Rendra belum balik juga?”

“Udah, tadi pergi lagi sama Bisma, sih. Jalan kaki. Gue disuruh tungguin lo.”

Awan meringis. “Lo bonceng gue, ya, baliknya. Gak kuat kayaknya kalau balik ke apart.”

“Gak bisa, gue bawa moto—”

“Oy, Awan. Selamat, ya, lo keren.”

“Hahaha, yoi, Bang, makasih.”

Kana memutar bola matanya malas. “Gue gak bisa anter lo, gue bawa motor hari ini. Mau lanjut ke puncak.”

“Terus gue gimana, dong? Rendra pasti sama Bis—”

“Gak, Rendra yang nyetirin mobil aku.”

Awan dan Kana spontan menoleh ke asal suara. “Jen, aku—”

“Iya, kamu sakit,” potong Jennifer sembari mendekat.

Jennifer berjinjit untuk memasangkan plester demam di dahi sang raja jalanan yang baru saja merayakan kemenangannya. Di depan semua orang yang masih menjadikan Awan sebagai pusat perhatian.

Mungkin, hanya Jennifer yang bisa berlaku demikian tanpa mendapatkan bantahan dari Awan sama sekali.

“Rendra nyimpen motornya di rumahku, motor kamu biar Bisma aja yang bawa. Sekarang, pulang.”

Hanya Jennifer pula yang bisa menarik paksa Awan dari ruang kekuasaannya.

Kana menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sehebat apa pun orang yang berkuasa di jalanan. Kalau ada pacar, ya ... pacarnya yang berkuasa buat dirinya.”


“Ganti baju sana.”

Awan menghela napasnya. Raut wajah Jennifer sudah berubah sepenuhnya, tadi ia masih menunjukkan sikap normal karena ada Rendra. Sekarang terlihat jelas kalau perempuan itu tengah menahan kesal.

Jadi, Awan tidak mau banyak berulah dan memilih untuk menurut. Selesai mengganti pakaiannya, laki-laki itu tanpa kata merebahkan dirinya di tempat tidur karena kakinya sudah terasa lemas.

Mereka ada di kamar apartemennya, omong-omong.

“Sini deketan .... ” Awan menepuk bagian kosong di tempat tidurnya. Jennifer mendengus, tapi tetap duduk di sana.

“Jangan maksain lagi ke depannya. Harga diri kamu udah aku habisin pake plester ini.”

Awan tertawa kecil. “Kalau sama kamu, aku gak masalah.”

Jennifer mendengus sekali lagi.

“Tidur.”

“Obat tidurnya belum kamu kasih.”

Jennifer memutar bola matanya malas. Sedang sakit pun laki-laki ini masih kepikiran untuk mencari kesempatan.

“Kamu udah sering ngehadapin aku yang sakit. Jennifer sudah terverifikasi tidak akan tertular demamnya Awan.”

Fine, kecup pipi aja.”

Okay,” balas Awan tiba-tiba tidak terdengar lemah lagi. Tanpa banyak kata, perempuan itu menundukkan kepalanya, berniat mengecup pipi laki-laki.

Jika Awan pada mengalihkan lawannya ketika sedang balapan. Maka, ia juga pandai mengalihkan kemana tujuan bibir Jennifer mendarat.

Jennifer sudah tidak terkejut lagi ketika bibir Awan menyambut miliknya. Suasana semakin ditambah dengan laki-laki itu yang membalikkan posisi mereka.

Toh ujungnya, dia ikut menikmati juga.

“Lanjut?”

No, that kiss was the last,” ucap Jennifer sembari mendorong Awan dengan pelan, tentu itu tidak membuat laki-laki itu menjauh darinya. Jennifer juga tidak benar-benar berniat menciptakan jarak lebih luas di antara mereka.

“Jangan lupa, kita udah putus.”

“Aku sampai sekarang gak tahu kenapa kamu mutusin aku. Kalau kamu mau aku berhenti balapan, aku bakal lakuin.”

Jennifer menggeleng. “Jangan pura-pura lupa. Kamu belum bilang persoalan ini ke Rendra, ya? Dia masih baik sama kamu sampai rela jemput aku supaya kamu gak ikut balapan, walau telat juga, sih, ujungnya.”

“Kenapa harus?”

You kiss his girlfriend.

I was drunk that time. Kami sama-sama gak sadar.”

That's not a reason.

Awan menghembuskan napasnya dan memilih untuk duduk. Membiarkan Jennifer tetap terbaring.

“Aku harus apa lagi, Jen? Itu kecelakaan yang udah terjadi, aku gak bisa ngerubahnya. Kamu bahkan udah putusin aku.”

“Jujur ke Rendra dan biarin diri kamu ditonjok sama dia.”

“Udah?”

“Belum,” jawab Jennifer membuat Awan tanpa sadar merengut.

“Kamu gak boleh minum tanpa izin dariku, terus kurangi rokoknya. Kalau mau balapan, jangan gak peduli sama kondisi kamu.”

“Kita, 'kan, mantan. Kamu kok masih atur-atur aku?”

Jennifer menaikkan kedua alisnya dan menatap pada Awan. “Kamu gak mau balikan?”

Wajah Awan menjadi cerah seketika. “Kamu mau?”

“Mau aja, sih ..., ” ucap Jennifer menggantung.

Yes! Makasih say—” Baru saja Awan akan menyerbu perempuan itu dengan pelukan. Perutnya malah ditahan oleh kaki Jennifer.

“Tapi kalau aku udah lihat muka kamu lebam karena ditonjok Rendra.”

Tanpa banyak berpikir, Awan mengangguk. “Siap!” katanya dan menjauhkan kaki Jennifer dari perutnya.

“Sekarang, lanjutin yang tadi dulu, ya?”

“Nggak, karena sekarang kita masih mantanan. Lagian kamu ini sadar, dong, dahi kamu masih ada plesternya juga!”

“Tapi, Jen—”

“Jangan protes atau aku tidur di sofa.”

Tanpa basa-basi, Awan langsung mengubah posisinya menjadi tidur di sebelah Jennifer.

“Peluk boleh, ya?”

“Iyaaaa.”

“Jen, makasih banyak buat kesempatannya.”

“Iya, Awan. Tidur sekarang, biar besok udah enakan.”


Bonus

“Rendra, lo harus tonjok gue sekarang juga.”

Sumpah, demi apa pun. Rendra sepertinya bisa dibuat gila dengan kalimat itu. Setiap bertemu dengannya, Awan selalu mengatakan itu.

“Awan, gue ngerti kalau itu kecelakaan. Lagi pula gue udah bersihin bekas lo dari dia. Jadi, berhenti minta gue buat tonjok lo!”

“Serius, lo harus tonjok gue. Apa perlu gue cium cewek lo lagi supaya lo mau nonjok gue?” tanya Awan dengan wajah polosnya.

“Si bangsat, malah ngelunjak. Gue bunuh sekalian kalau lo berani kayak gitu.”

“Awan, lo kerasukan plester demam, ya,” celetuk Kana.

“Gue butuh tonjokan lo supaya Jennifer mau sama gue lagi,” ucap Awan sambil memegang lengan Rendra agar laki-laki itu tidak menghindar darinya lagi.

“Hidup lo kebanyakan drama, anying.”

“Banyak omong! Sini gue aja yang tonjok lo!”

Benar, Bisma langsung menyerang Awan dengan menonjok pipinya. Tapi, tidak hanya laki-laki itu. Rendra juga mendapat tonjokannya.

Bisma melampiaskan rasa kesalnya karena mereka berdua sudah merusak konsentrasinya.

“Kok gue juga ditonjok, sih, Bis?!”

“Gue butuhnya tonjokannya Rendra!”

“Lo berdua bisa diem kagak?! Kalau nggak, jangan di studio gue berantemnya. Pergi sana yang jauh!”

Kana di pojok ruangan sedang bertepuk tangan sambil menertawakan.

———

sorry for typo(s).