catnervate – 10
Walaupun bisa, Soonyoung memutuskan untuk tidak mencari Sana dengan cara biasanya. Laki-laki itu membiarkan yang lebih muda untuk menyepi.
Pikirannya dialihkan dengan pekerjaan juga setiap cerita yang teman-temannya bagikan. Cerita yang membuat Soonyoung kadang tersenyum, kadang juga meringis.
“Aku habis bantu pacarnya Jen lamar dia. Mereka seneng banget tadi. Ikut seneng jadinya.”
“Cuy, Juju ngasih lampu hijau. Minta do'anya supaya cepet, jadi gue gak kepikiran buat nyantet.”
“Gue berhasil ketemu dia. Posisinya kejepit banget, untung tadi ketemu.”
Soonyoung mematikan ponselnya, berniat untuk membaca obrolan grup mereka nanti saja. Laki-laki itu melirik ke arah jam, sudah waktunya makan siang. Ia sudah meminta izin untuk bekerja setengah hari.
Belum sempat bangkit dari duduknya, pintu ruangan itu sudah terbuka. Menampillan asistennya yang semula sudah izin untuk istirahat di luar.
“Kok balik lagi?”
“Oh, siapa?”
“Nona Sana.”
Soonyoung terdiam mendengar nama itu. Ia bangkit dari duduknya. Kabar tentang mereka berdua mungkin sudah tersebar di perusahaan masing-masing. Makanya, asistennya rela kembali hanya untuk menyampaikan kabar ini.
“Ada di mana?”
“Masih di lobi, Tuan.”
“Ya udah, saya aja yang ke sana. Saya hari ini masuk setengah hari. Nanti tetap kabari saya, ya.”
“Siap, Tuan.”
Soonyoung merapikan jas yang ia kenakan. Setelah itu baru ia menutup pintu ruangannya. Sekarang, ia langsung menuju ke tempat Sana berada tanpa basa-basi.
“Sana,” panggil Soonyoung setelah sampai.
Interaksi keduanya tentu mendapat perhatian dari orang-orang yang ada di sana. Secara diam-diam mereka akan melirik dan baik Soonyoung atau Sana menyadari hal itu.
Mereka berdua saling melempar tatapan, seolah berkomunikasi dengan cara itu. Soonyoung mengukir senyuman tipis sebelum menawarkan tangannya untuk digenggam.
Mengerti maksud Soonyoung, Sana menerima tawaran itu. Selanjutnya, Soonyoung memimpin langkah keduanya menuju tempat parkir.
Tautan tangan keduanya terlepas ketika Soonyoung membukakan pintu mobilnya untuk Sana. “Gak bawa kendaraan, 'kan?”
Sana menggeleng. “Gue dianter Kak Ian.”
“Gue anter pulang dulu, ya? Nanti malam gue ke apart lo. Sekarang gue ada urusan.”
Sana mengernyit mendengar itu. Jelas, ia gak menyukai keputusan Soonyoung.
“Kerjaan?”
Soonyoung menggeleng. “Gue udah janji sama anak-anak.”
“Anak-anak?”
“Di panti.”
Sana terdiam mendengar itu. Soonyoung masih menunggunya untuk masuk ke dalam.
“Kalau gue ikut, boleh?”
Kedua alis Soonyoung terangkat. “Mau?”
“Mau.”
“Boleh,” balas Soonyoung disertai senyuman. “Silakan masuk kalau gitu.”
Sana menurut memasuki mobil itu. Soonyoung menyusul setelahnya.
Laki-laki kelahiran Juni itu menyalakan mesin mobilnya. “Lo udah makan?”
“Belum, gue sengaja datang jam segini supaya bisa ngajak lo ngobrol. Soalnya, ini jam makan siang,” jawab Sana tanpa menatap pada lawan bicaranya.
“Kalau gitu kita makan dulu, setelah itu beli makanan buat anak-anak. Lo mau makan apa?”
“Apa aja.”
“Pasta?”
“Boleh.”
Soonyoung tak membalas lagi. Ia mulai melajukan mobilnya menuju restoran yang biasa ia kunjungi untuk menikmati hidangan itu.
Tak ada obrolan yang terjadi selama perjalanan mereka menuju restoran itu. Perbincangan baru terjadi lagi setelah keduanya duduk di dalamnya.
“Lo mau apa?” tanya Soonyoung sembari mendekatkan buku menunya pada Sana.
“Carbonara,” jawab Sana tanpa berpikir.
Soonyoung mengangguk. Ia kemudian melirik pada pelayannya dan menyebut ulang menu yang Sana sebutkan barusan beserta Aglio e Olio untuknya.
Setelah pelayan itu pergi, mereka berdua kembali dilanda keheningan.
“Soonyoung, lo sadar gue ngilang?” tanya Sana dan Soonyoung hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Lo nyariin?”
“Awalnya gue mau nyari. Tapi keburu di-chat sama kakak lo yang nyuruh gue untuk gak khawatir karena lo emang butuh waktu.”
Sana memandang Soonyoung penuh keraguan. “Emang lo khawatir?”
“Banget,” ucap Soonyoung. “Walau gimana pun, gue bakal tetap jadi salah satu yang jaga lo, Sha.”
Senyum terukir di wajah Soonyoung. “Seperti yang udah lo lakuin buat Ochi.”
Perjalanan menuju ke panti yang biasa Soonyoung kunjungi cukup lama. Sana yang baru sampai hari ini pun tanpa disadari tertidur selama perjalanan dan Soonyoung membiarkannya.
“Sha, udah nyampe,” balas Soonyoung sembari mengguncang pelan bahu Sana. Perempuan itu bangun tak lama kemudian dan tampak kebingungan.
“So-sorry.“
“Gak papa. Capek banget, ya? Lo bisa nemuin gue kapan aja, kita masih punya banyak waktu.”
Tangan Sana mengepal mendengar itu. Ia dengan cepat menahan lengan Soonyoung yang hendak keluar. Soonyoung menatap Sana lekat sebelum mengangguk tanpa alasan.
“Mau bicara sekarang?” tebak laki-laki itu.
“Iya. Kita ini udah kelamaan, Soonyoung. Gue yang kabur kemarin juga udah berapa lama dan lo bilang kita masih punya banyak waktu?” Sana mengucapkan itu dengan menggebu-gebu.
Soonyoung menghela napasnya. Pada kenyataannya, mereka memang masih memiliki banyak waktu. Perjodohannya bahkan belum dibicarakan lagi oleh kedua keluarga mereka. Namun, ia tak ingin membuat emosi Sana semakin memuncak.
“Lo maunya gimana, Sha?” tanya Soonyoung membuat kening Sana mengernyit seketika.
“Lo yang maunya apa, Soonyoung?! Lo bilang mau batalin perjodohan kita dan sekarang bersikap seakan gue yang mau?”
Soonyoung menggeleng. “Lo udah tahu mau gue apa, tapi gue gak tahu mau lo apa, Sha. Kalau kemauan kita gak sejalan, kita bisa buat jadi sejalan. Lo cuma perlu ngomong lo maunya gimana.”
Sana terdiam mendengar itu. Genggamannya pada lengan Soonyoung terlepas.
“Lo kenapa mau batalin perjodohannya?”
“Kayak yang gue bilang waktu itu, Sha. Lo orang baik dan gue gak merasa keluarga gue pantas buat dapatin lo,” jawab Soonyoung dengan tetap menatap pada Sana.
“Lupain soal keluarga lo. Di sini cuma kita berdua. Di hubungan ini, ujungnya cuma ada kita berdua,” balas Sana dengan nada tegas.
Soonyoung menatap perempuan itu. Ia sudah bisa menangkap bagaimana hasil dari kaburnya Sana kemarin.
“Sana,” panggil Soonyoung menggantung, “you want me to fight for us?“
Mata Sana membulat mendengar balasan yang Soonyoung berikan. Ia sedikit tak menyangka kalau Soonyoung akan langsung menembak seperti itu.
Sana yang tampak gugup padahal semula berapi-api membuat Soonyoung yakin kalau tebakannya benar. Laki-laki itu meraih tangan Sana untuk ia genggam.
“Bukan cuma lo yang kepikiran selama lo kabur kemarin, Sha, tapi gue juga. Adek gue berulang kali nyuruh gue berpikir. Katanya, gak mungkin mereka mengundang lo untuk masuk tanpa memperlakukan lo dengan baik.”
Sana mengerjapkan matanya bingung. “Mereka?”
“Orang tua gue. Mereka gak mungkin jodohin kita kalau gak berkomitmen tentang bagaimana mereka akan memperlakukan lo nantinya. Gue juga sempat bicara dan mereka gak akan paksa lo untuk gabung ke perusahaan.”
Soonyoung menepuk punggung tangan Sana pelan. “Jawab pertanyaan gue tadi. You want me to fight for us?“
“Tapi lo maunya perjodohan ini batal ....” jawab Sana dengan lirih.
“Tapi gue gak berusaha supaya perjodohannya batal. Mungkin terdengar labil, tapi kalau itu yang lo mau. Gue bakal lakuin.”
Soonyoung menunduk, menatap pada tautan tangan keduanya. “Semenjak lo rawat Ochi, gue udah berjanji ke diri sendiri untuk jadi penjaga lo kalau gue udah sembuh.”
Sana ikut menatap apa yang sedang dipandangi oleh Soonyoung. Perempuan itu kemudian menggelengkan kepalanya. “Tapi gue gak mau lo lakuin ini untuk balas budi karena gue udah ngerawat Ochi.”
“Balas budi gue adalah dengan jaga lo,” ucap Soonyoung tenang. “Untuk menjalin hubungan sama lo, itu beda lagi. Gue bakal hadir sebagai Soonyoung bukan Ochi.”
Soonyoung menatap Sana dengan senyuman yang merekah. “Jadi, gimana? Mau coba kenalan dulu sama Soonyoung atau langsung jadi pacarnya Soonyoung?”