catnervate – 7

Jennie bisa melihat kalau Wonwoo berusaha dengan maksimal. Meski terlihat masih canggung, tapi untuk seseorang yang tak biasa tampil di publik ini sudah cukup.

Satu per satu novel karyanya yang dibawa pengunjung ditandatangani. Laki-laki itu selalu memberikan senyuman setiap pergantian orang yang duduk di depannya.

Setelah kekasihnya, kini giliran Jennie.

“Hai,” sapa Jennie sembari duduk di depan Wonwoo. Mereka masing-masing mendapatkan waktu 7 menit.

Tidak hanya buku yang diletakkan Jennie, tapi perempuan itu juga menaruh kotak bekal di atas meja Wonwoo.

“Aku buat olahan salmon lagi, kali ini gak dipanggang. Tapi dicoba, ya, Won. Kata Kak Jean, sih, enak.”

Wonwoo mengangguk dengan senyuman. “Okay, makasih, Jen.”

Wonwoo membenarkan posisi kacamata setelah selesai memberi tanda tangan. Jennie memakai gaun, tak seperti biasanya. Wonwoo sudah tahu apa alasannya.

“Selamat, ya, Wonu. You did it,” ucap Jennie setelah menerima novelnya lagi. Perempuan itu menatap Wonwoo lekat. Padahal belum lama ia mengenal versi manusia Wonwoo.

Wonwoo menghela napas menyadari waktunya Jennie sebentar lagi. “Jen, tadi aku udah bilang sama Kak Jean. Pulangnya tunggu aku dulu. Aku mau beliin kamu sesuatu. Kamu mau gak?”


Wonwoo menoleh ke belakang dan kekasihnya Jennie sudah menunjukkan ibu jari padanya. Laki-laki berkacamata itu tersenyum tipis dan mengangguk.

“Ayo, Nu. Gocar-nya udah di depan,” ajak Jennie tiba-tiba membuat Wonwoo langsung menaruh atensi pada perempuan itu.

“Ayo,” balas Wonwoo.

Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari gedung itu. Wonwoo bisa melihat mobil kekasihnya Jennie yang sudah melaju. Laki-laki itu mendesah, sedikit menyesali keputusannya untuk ikut serta dalam acara ini.

“Ini beneran mau ke Mall?” tanya Jennie memastikan lagi.

Wonwoo hanya mengangguk sebagai balasan.

“Emang gak capek? Kamu, 'kan, habis fansign. Di sana juga rame.”

Wonwoo menatap Jennie lekat sebelum menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu mengangkat tote bag miliknya yang berisi bekal yang Jennie berikan tadi.

“Nanti makan ini dulu,” ucap Wonwoo diakhiri dengan tawa kecil.

“Terus aku?”

“Ya, kita makan berdua aja,” balas Wonwoo menggantung, “atau kamu beli dulu terus kita makan.”

Jennie terkekeh. “Okay, okay. Ayo masuk.”

Perjalanan menuju Mall tidak terlalu jauh. Untungnya, jalanan pun sedang tidak padat. Jadi, mereka hanya membutuhkan 10 menit sebelum sampai.

Mereka berdua langsung menuju Food Court. Setelah Jennie membeli beberapa dessertdan minum, mereka baru duduk.

“Gak beli makanan berat?”

Jennie menggeleng. “No, nanti Kak Jean pasti ngajak makan. Aku gak mau kekenyangan aja, Wonu.”

Wonwoo tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka berdua fokus dengan makanan masing-masing cukup lama.

“Kamu kapan mau nerbitin buku lagi?”

Wonwoo tak langsung menjawab. “Mungkin tahun depan? Ini juga udah akhir tahun, 'kan, Jen.”

Please let me know when the book is published, okay?” ucap Jennie dengan binar di matanya yang membuat Wonwoo otomatis mengangguk.

Okay.”

Jennie melirik pada kotak bekal yang isinya tingal setengah. Ia baru menyadari kalau Wonwoo lebih lamban dibanding Wonu dalam makan.

“Suka gak salmonnya?”

“Suka,” jawab Wonwoo penuh dengan rasa antusias. “Selalu suka sama masakan Jen.”

Jennie tertawa kecil. Hanya Wonwoo yang selalu memuji masakannya di setiap laki-laki itu makan. Ini yang membuat dirinya kadang merindukan keberadaan Wonu di apartemennya.

“Kalau sama masakan ibu kamu lebih enak yang mana?” tanya Jennie dengan nada jahil.

“Oh kalau dibandingin sama ibu, jelas ibu lah. Maaf, ya, Jen.”

Jennie tertawa kecil melihat ekspresi penuh percaya diri yang Wonwoo tunjukkan. “Iya, aku juga lebih suka masakan ibuku daripada ini.”

“Ibu Jen sibuk, ya?” tanya Wonwoo. Seingatnya, selama menjadi Wonu, hanya sekali kedua orang tua Jennie berkunjung ke apartemen.

“Enggak, kok. Akunya yang sibuk dan susah buat pulang. Kalau mereka yang ke apart terus, 'kan, kasihan.”

Wonwoo mengangguk paham. “Aku semenjak hilang kemarin gak dibolehin pisah rumah dulu sama ibu.”

“Ibu kamu pasti takut banget kemarin. Aku jadi merasa bersalah karena tahan kamu,” ungkap Jennie dengan jari yang saling bertaut.

“Gak usah merasa bersalah, Jen. Kamu bukan orang jahatnya.”

Suapan terakhir dimasukkan ke dalam mulutnya. Wonwoo meminum air mineralnya hingga habis setengah, lalu membereskan bekasnya.

“Ini aku bawa dulu, ya. Biar aku cuci,” ucap Wonwoo.

“Gak usah, Won.”

Wonwoo menggeleng. “Aku maksa, Jen.”

Jennie tertawa kecil. “Ya udah, deh. Sekarang kita mau ke mana?”

Wonwoo terdiam, laki-laki itu tampak berpikir. Jennie mengangkat sebelah alisnya heran. Padahal Wonwoo yang mengajak, tapi ia kelihatan bingung.

“Kamu ada tempat yang mau dikunjungi?”

Jennie mengangkat kedua bahunya. “Gak ada, sih.”

Wonwoo bangkit dari duduknya. “Kalau gitu, ayo ikut aku.”

Jennie menurut. Toh, memang Wonwoo yang mengajaknya kemari. Dari sekian toko yang bisa dikunjungi, Jennie tidak menyangka kalau Wonwoo akan memasuki toko yang menjual aksesoris.

“Kamu mau beliin aku sesuatu di sini?” tanya Jennie dan yang ditanya hanya mengangguk.

“Kamu kalau mau pilih, pilih aja, ya. Nanti aku yang bayarin,” ucap Wonwoo secara tak langsung mengatakan kalau tak apa mereka berpisah sejenak untuk memilih. Namun, Jennie malah memilih untuk membuntuti dirinya.

Mata Wonwoo terpaku pada anting cherry. Laki-laki itu mengambilnya dan berkata, “Maaf.” sebelum mendekatkan benda itu pada telinga Jennie.

Wonwoo tersenyum puas. “Cocok. Suka gak?”

Jennie balas tersenyum dan mengangguk. Ia akan menerima apa pun yang Wonwoo pilihkan untuknya.

Selain anting buah berwarna merah tadi, Wonwoo juga memilih jepit beruang dengan empat warna, dan pita-pita kecil. Jennie tak bisa menahan senyumnya sejak tadi melihat tingkah Wonwoo. Setiap memilih sesuatu, laki-laki itu pasti mendekatkannya pada Jennie untuk menilai apakah benda itu cocok atau tidak.

“Jennie mau sesuatu?” tanya Wonwoo, sepertinya dia sudah merasa cukup.

Jennie terdiam sejenak sambil melihat sekitarnya. Perempuan itu kemudian mengambil gelang anyaman sebanyak dua buah.

“Ini, tapi aku aja yang bayar.”

Wonwoo mengangguk, tak ingin memaksa. Mungkin Jennie ingin membeli itu untuk dirinya sendiri dan kekasihnya.

Mereka berdua langsung membayar. Tak lama setelah itu keluar dari sana tanpa banyak berbasa-basi. Tepat setelah keluar, ponsel Wonwoo bergetar menandakan adanya notifikasi yang masuk.

“Dari Kak Jean,” ucap Wonwoo. “Ayo ke sana sekarang, Jen. Aku anterin dulu.”

Jennie mengangguk. Sebelum berangkat tadi, Jean memang menyuruh Wonwoo untuk mengantarkannya ke suatu tempat yang belum Jennie ketahui. Sepertinya kekasihnya meminta Wonwoo untuk melakukan ini.

Mereka tiba di sebuah restoran yang alamatnya Jean kirimkan pada Wonwoo. Sebelum mereka masuk, Jennie menahan tangan Wonwoo.

Perempuan itu tanpa kata memasangkan gelang yang ia beli pada Wonwoo. Lalu, memasangkan miliknya sendiri.

Jennie menatap pada Wonwoo dan tersenyum hangat. Ia menepuk gelangnya dan Wonwoo bergantian sebelum berkata, “Anggap aja friendship bracelets.”

Wonwoo menatap pada gelang yang kini menghiasi pergelangan tangannya. Setelahnya, baru ia menatap pada si pemberi.

Laki-laki itu kemudian menyerahkan kantung berisi aksesoris yang ia belikan untuk Jennie tadi. Wonwoo mengukir sebuah senyuman lagi.

“Ini buat, Jen,” ucap Wonwoo. Jennie menerimanya dengan senang hati.

Thank you.

“Aku juga berterima kasih,” ucap Wonwoo. “Makasih, ya, Jen, udah jaga dan sayang sama aku selama jadi Wonu kemarin. Aku bersyukur kenal sama kamu.”

Tangan Wonwoo bergerak untuk mengelus kepala Jennie sebentar sebelum memasang jarak antara keduanya. “Setelah ini, siapa pun kamu nantinya. Kamu bisa lihat aku sebagai sahabat, Jen.”

Jennie mengangguk. “Kamu juga, ya, Won.”

Wonwoo tersenyum, ia memandangi Jennie dengan lekat. Hanya sebentar, karena setelah ini ia tak akan berani melakukan hal itu.

Please, be happy with him, Jen.”