catnervate – 8

“Ini beneran cuma minta diajarin, 'kan? Gak aneh-aneh, 'kan?” tanya Tzuyu dengan penuh curiga.

Jun yang baru menyalakan mesin mobilnya tertawa seketika. Laki-laki itu menatap pada Tzuyu seraya menaikkan alisnya menggoda.

“Beneran.”

Kening Tzuyu mengernyit seketika. “Yang bener, ih, June!”

“Bener, kok, bener. Masa mau belajar, akunya aneh-aneh. Gimana, sih, Juju?”

Sesuai dengan yang sempat mereka bicarakan. Sekarang, keduanya akan pergi menuju rumah orang tua Tzuyu. Niat yang terucap, sih, minta diajari membuat kue. Namun, Tzuyu tak begitu meyakininya.

Alasan pertama, Jun pernah berkata kalau ia akan meminta restu. Alasan kedua, tingkah Jun yang seperti barusan, senang menjahilinya.

Ke mana perginya June si overthinking?

Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju. Perjalanannya akan lama, mereka juga sempat memberi beberapa cemilan sebagai teman.

“Aku putar musik, ya, Kak?”

Jun mengangguk dengan mata yang fokus pada jalanan. “Silakan.”

Setelah itu, lagu 'Adu Rayu' menjumpai pendengaran keduanya.

Jun tertawa kecil. “Lagu ini banget?”

“Aku puternya random,” balas Tzuyu apa adanya. Perempuan itu kemudian menyamankan duduknya.

“Ju, mau buat toko sendiri, 'kan?” tanya Jun setelah cukup lama tak ada yang bicara di antara keduanya.

Tzuyu melirik pada Jun, tentu perhatian laki-laki itu masih pada jalanan. “Iya.”

“Kalau gue bantu mau gak?” Pertanyaan Jun yang satu ini tepat setelah lampu merah menyala. Laki-laki itu sudah membalas tatapan Tzuyu.

Tzuyu mengerjapkan matanya. “Bantu gimana?”

“Bantu bangunnya. Lo pasti udah nabung untuk modalnya, 'kan? Gue bakal biarin semua tetap jadi usaha lo, kok. Gue cuma bantu hubungin orang-orang yang nanti lo butuhin dan promosinya. Tapi kalau lo emang masih butuh, gue juga bakal bantu.”

Yang lebih muda terdiam. Ia sebenarnya tidak menyangka Jun akan membahas persoalan ini.

Tzuyu menegakkan duduknya. “Makasih untuk tawarannya, June. Tapi, aku belum mau.”

Sebelah alis Jun terangkat, ia memandang heran pada Tzuyu. “Loh, kenapa? Bukannya ini mimpi kamu?”

“Memang, tapi mungkin gak dalam waktu dekat. Aku masih seneng kerja di sana,” ucap Tzuyu diakhiri dengan senyuman meyakinkan.

Jun menghela napasnya sebelum mengangguk. Ia tak akan memaksa Tzuyu, kalau seperti itu yang ia inginkan maka ia akan menurut.

Pandangannya kembali mengarah ke depan karena lampu sudah kembali hijau. Untuk beberapa menit mereka kembali dilanda keheningan.

Tzuyu mengambil salah satu cemilan berupa kue yang berukuran mini, lalu membukanya. Ia mencoba satu dan spontan memejamkan mata merasakan cokelat yang meleleh di mulutnya.

“Enak?” tanya Jun. Tampaknya laki-laki itu sadar dengan reaksi Tzuyu terhadap cemilannya.

“Enak! June, mau coba?” tawar Tzuyu.

Yang lebih tua mengangguk. Hal itu membuat Tzuyu langsung mendekatkan makanannya pada Jun.

“Ini, ambil aja.”

“Gue, 'kan, lagi nyetir?” balas Jun.

“Oh, iya.” Tzuyu kembali menarik makanannya untuk ada di pangkuannya. “Nanti aja kalau lampu merah cobanya.”

“Mau sekarang,” balas Jun.

Tzuyu memandangnya dengan heran. “Sekarang? Ya udah, ambil.”

“Suapin, dong, Juju,” balas Jun tanpa hambatan.

“Ih, gak mau!”

Please, sekali aja. Gue keburu penasaran, nanti gak fokus nyetirnya gimana?”

Tzuyu mendengus. Modusnya kenceng banget, males!

Namun, Tzuyu tetap mengambil satu dan mengarahkannya pada mulut Jun. Perempuan itu dengan cepat menarik tangannya kembali setelah Jun memakannya.

“Hm, padahal ini bukan pertama kali gue nyobain, tapi rasanya kayak beda. Jadi, lebih enak gitu. Mungkin ini karena yang nyuapin gue barusan.

Tzuyu menolehkan kepalanya ke arah jendela. Ke mana pun asal Jun tidak melihat wajah salah tingkahnya.


Rumah Tzuyu cukup besar dengan halaman yang luas. Dilihat dari halamannya, tampaknya seorang penghuninya senang berkebun.

Jun memandang apa yang ada di sekitarnya.

“Ibu lo suka berkebun?” tanyanya pada Tzuyu.

Tzuyu mengangguk. “Iya, katanya di rumah bosen. Tapi, aku gak ngebolehin dia buat kerja lagi karena kondisinya sekarang. Jadi, dia minta dibeliin semua hal yang dibutuhin buat berkebun.”

Jun mengangguk mendengar penjelasan yang Tzuyu berikan. “Kalau papa lo gimana?”

“Ayah selama kami sehat, dia selalu senang. Tapi aku tahu dia suka gak mau kelewatan acara favoritnya di TV. Jadi, kami suka nonton TV nurutin dia.”

Tzuyu mengetuk pintu rumahnya setelah itu. Cukup lama sebelum pintu rumahnya terbuka dan menampilkan seorang pria yang Jun yakini adalah ayahnya.

“Ayah,” sapa Tzuyu langsung sebelum memeluk ayahnya itu.

“Anak ayah akhirnya pulang,” balas ayahnya lengkap dengan memberikan usapan kepala.

Jun hanya tersenyum mengamati itu. Ia dan orang tuanya tak mungkin melakukan ini. Walau mereka berdua memberikan dirinya perhatian yang cukup, tapi dalam kontak fisik mereka masih canggung.

Tzuyu melepaskan pelukannya.

“Oh, iya, Yah. Ini yang aku bilang di-chat kemarin, namanya Junhui.”

Jun menyalami ayah Tzuyu dan berkata, “Salam kenal, Om. Saya Junhui, kalau kepanjangan panggil Jun aja. Saya pacarnya Tzuyu.”

Dunia seakan berhenti setelah Jun mengatakan itu dengan ringan. Baik Tzuyu atau ayahnya hanya menatap dirinya penuh arti tanpa kata.

“Ah, lebih baik kita mengobrolnya di dalam.”

Ayah Tzuyu mempersilahkan mereka untuk masuk. Ibu Tzuyu keluar dari kamarnya tak lama kemudian. Tampaknya Tzuyu sudah menceritakan tentang tujuan dari kunjungan mereka hari ini.

Setelah cukup lama berbincang. Ibu Tzuyu berdiri dari duduknya dan menatap pada Jun.

“Nak Jun, kalau sudah tidak lelah. Kita bisa buat sekarang.”

Wajah Jun langsung berubah menjadi antusias. Laki-laki itu mengangguk tanpa perlu berpikir dua kali.

“Boleh, Tan?”

“Boleh. Kan, saya yang ajak. Gimana, sih, kamu?”

Jun tertawa kecil sebagai balasan. “Boleh, deh. Ayo, Tan.”

“Ju, bantu ibu siapin bahannya dulu, ya.”

“Siap, Bu,” balas Tzuyu dan mengikuti ibunya.

“Om, saya ikut mereka dulu, ya.”

“Silakan, Nak Jun.”

Begitu sampai ke dapur, Jun melihat Tzuyu dan ibunya yang sedang mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat chocolate cake. Jun memutuskan untuk membantu dengan meletakkan benda-benda yang dikeluarkan oleh dua perempuan itu.

Mereka bertiga mulai sibuk membuat hidangan yang mereka rencanakan. Jun mendengarkan dengan baik setiap saran yang ibu Tzuyu berikan padanya. Dalam hati berharap kalau itu tak akan ia lupakan dengan mudah.

“Nak Jun, sudah berapa lama jadi pacarnya Juju?” tanya ibu Tzuyu tiba-tiba.

Jun menatap pada Tzuyu yang masih menundukkan kepalanya karena harus mengaduk adonan. Kemudian kembali menatap pada yang paling tua di sana.

“Belum lama ini, Tan,” jawab Jun berusaha terlihat meyakinkan.

“Oh, begitu. Sayang banget sama Juju?”

Jun terdiam sejenak sebelum mengukir senyuman tipis. “Sayang.”

“Kalau begitu, ibu mau minta tolong, boleh? Tolong jaga Juju di sana, kami gak bisa sepenuhnya menjaga dia karena jauh.”

Jun mengangguk mantap. “Pasti, Bu.”

Di sisi lain, tangan Tzuyu mengepal. Tangan satunya juga mencengkeram pengaduk dengan erat.

Ia sudah tidak tahan dengan segala pengajuan palsu yang Jun berikan pada keluarganya. Tzuyu tanpa kata mendekat pada Jun, sebelum menarik tangannya.

“Ibu, aku izin bicara berdua dulu.”

“Ju—”

“Diem.”

Kalimat Jun dipotong dengan cepat. Tzuyu terus menarik Jun hingga mereka ada di halaman belakang. Setelah langkahnya berhenti, baru ia melepaskan tangan Jun dengan menghempaskannya.

“Bisa berhenti gak? Aku gak suka kamu ngaku-ngaku gitu ke ayah sama ibuku.”

Jun menatap lekat pada Tzuyu. Terlihat jelas lalai perempuan itu tengah menahan dirinya agar tak meledak.

“Mereka seneng, Ju. Mereka jadi ngerasa lebih lega karena tahu kamu punya gue di sana.”

Tzuyu mengusap wajahnya kasar. “Itu bukan hal yang perlu dilakukan sama kamu!”

“Ju, gue gak bermaksud buat—”

“Kak Junhui,” potong Tzuyu lagi. Tampaknya perempuan itu benar-benar kesal sampai menyebutnya dengan nama itu.

“Tolong diinget, kita ini bukan siapa-siapa. Kita gak punya hubungan apa pun. Jadi, tolong tahu batasannya.”