catnervate-9
Di antara banyak kemungkinan yang terjadi. Eunha tidak menyangka Jihoon akan menjadi orang yang mengantarnya untuk bertemu orang tuanya setelah sekian lama.
Laki-laki itu datang tanpa kendaraan apa pun, menunggu Eunha di depan minimarket. Ia sengaja karena Eunha menginginkan mereka menggunakan kendaraan umum.
Jihoon menatap pada yang lebih muda. “Lo mau beli sesuatu dulu di sini?”
Eunha menggeleng. “Gue gak berencana beli apa-apa.”
Jihoon mengangkat sebelas alisnya, menatap Eunha dengan heran. “Beli dulu lah. Roti atau apa gitu. Udah lama gak ke sana, kan, lo.”
Eunha terdiam, mempertimbangkan. Ia kemudian menghela napasnya karena tatapan yang Jihoon berikan seakan mendesaknya untuk menurut.
“Ya udah, beli di toko Tzuyu aja. Nanti gue tunjukkin.”
“Deket?”
Eunha hanya mengangguk sebagai balasan.
“Ya udah kita ke sana dulu baru pesen gocar.”
Mereka berdua berjalan beriringan menuju toko Tzuyu. Tak banyak yang mereka katakan karena sama-sama merasa canggung.
“Lo udah izin sama cewek lo?” tanya Eunha. Ia sebenarnya sedikit menyesali karena mengajak Jihoon tanpa berpikir panjang. Ini karena dirinya panik setelah mendapat mimpi buruk.
“Belum ketemu,” ucap Jihoon. “Gue gak tahu dia ada di mana sekarang. Udah nanya ke yang lain juga gak ada yang tahu kontak barunya.”
Eunha menghela napasnya. Mungkin, Jihoon juga butuh melakukan sesuatu agar masih bisa waras. Dulu dirinya yang menghilang karena berubah menjadi Uji, sekarang kekasihnya. Mereka berdua mengalami hal yang sama.
“Gue cuma berharap dia baik-baik aja.”
Eunha terdiam dan menghela napasnya. “Semoga dia baik-baik aja.”
Jihoon tersenyum tipis dan mengangguk. Meski laki-laki itu tak sekspresif Uji, tapi Eunha masih bisa menangkap kalau Jihoon menaruh harapan terhadap apa yang ia katakan barusan.
Setelah memberi bolu gulung dari toko tempat Tzuyu bekerja. Mereka berdua lekas menuju stasiun. Selama perjalanan, tak banyak hal yang mereka perbincangkan.
Kedua duduk bersebelahan dengan nyaman. Menuju ke rumah Eunha tak membutuhkan waktu yang sangat lama.
“Habis ini naik apa?” tanya Jihoon setelah ia membeli minum selepas mereka turun dari kereta.
Eunha tak langsung membalas. Perempuan itu malah mengeluarkan ponselnya dan berkata, “Kita mesen lagi aja.”
“Ya udah ayo tunggu di depan, sambil beli sesuatu buat ganjel perut,” ucap Jihoon dan Eunha menurut.
Perempuan itu mengikuti langkah Jihoon dengan mata yang masih fokus pada ponselnya. Hingga bahunya menabrak bahu orang lain cukup keras.
“Yang benar kalau jalan! Jangan main ponsel segala! Ini tempat ramai, dicopet baru tahu rasa!”
Pandangan Eunha menajam pada orang yang baru saja membentak padanya. Mungkin Eunha akan membalas dengan cara yang sama kalau saja Jihoon tak menariknya dan menciptakan jarak antara mereka berdua.
“Gak usah dibales,” bisik Jihoon.
Laki-laki itu memandang canggung pada orang tadi. “Maaf, ya, Pak. Silakan lanjutkan kembali perjalanannya. Sekali lagi kami minta maaf.”
Orang itu hanya berdecih dan berjalan melalui mereka berdua. Jika ini ada dalam komik, mungkin sudah ada perempatan yang tercipta di pelipis Eunha.
Jihoon menarik tangan Eunha, memaksanya untuk terus berjalan. Itu lebih baik daripada tercipta pertengkaran antara Eunha dengan orang asing tadi.
“Ih, yang gitu tuh gak bisa dibiarin! Dia yang duluan nabrak gue, berarti dia yang buta dong, anjir!” protes Eunha pada Jihoon.
“Lo baru ke sini lagi,” balas Jihoon. “Jangan dulu bikin masalah, Na.”
Eunha mendengus dan menolehkan kepalanya ke arah lain. Malas melihat Jihoon.
“Udah ada yang ambil belum?” tanya Jihoon mengalihkan pembicaraan.
Eunha melihat pada layar ponselnya, lalu mengangguk. “Ada, 7 menit lagi.”
Jihoon melihat pada sekitarnya. “Gue mau jajan dulu.”
Karena merasa asing, Eunha mau tak mau mengikuti laki-laki itu. Jihoon melihat pada Eunha ketika kakinya sudah berhenti di depan sebuah penjual.
“Lo mau beli?”
Eunha menggeleng. “Gak perlu.”
Jihoon tak membalas lagi. Namun, ia tetap memesan sebanyak dua buah. Eunha pikir, Jihoon memang membutuhkan lebih banyak.
Dugaannya itu luntur seketika saat Jihoon menyerahkan salah satunya pada Eunha. Eunha menatap Jihoon dengan heran.
“Ini gue yang traktir. Tolong diterima, ya,” ucap Jihoon menyadari maksud dari tatapan yang Eunha berikan.
Eunha menghela napasnya dan menerima makanan itu. Mereka berdua kembali ke tempat semula, menunggu mobil yang mereka pesan datang.
Setelah menghabiskan setengah, Eunha menatap pada Jihoon. Laki-laki itu tampil dengan topi dan jaket kebesaran. Eunha cukup yakin kalau Jihoon sudah mencari tahu tentang keluarganya, makanya laki-laki itu menawarkan diri.
Eunha tak ingin membahas hal itu.
“Ji,” panggil Eunha. Jihoon langsung menoleh dengan mulut yang penuh. Jadi, laki-laki itu hanya membalas dengan gumaman tak jelas.
Kalau boleh jujur, Eunha merasa asing jika berhadapan dengan Jihoon. Ia dan Uji seperti bukan orang yang sama baginya.
“Kenapa, Na?” tanya Jihoon karena Eunha tak kunjung berbicara lagi.
Eunha menarik napasnya dalam-dalam. “Gue tahu lo nawarin diri karena pengen balas semua yang gue kasih ke Uji. Sebenarnya gue gak masalah, lo ganti gelas juga bukan hal yang gue perlukan.”
Jihoon masih memandangnya dan Eunha memberanikan diri untuk membalas. “Habis ini, gak usah lagi, ya. Kalau mau kita temenan aja seakan gak punya hutang buat satu sama lain. Gue udah merasa cukup dengan apa yang lo kasih.”
Cukup lama, tak ada tanggapan dari yang lebih tua. Jihoon mengukir senyuman tipis dan mengangguk. “Okay.”
Eunha membalas senyuman itu. Ia merasa lebih lega sekarang.
“Selama jadi Uji, gue tahu gue ini nyebelin. Tapi lo tetap rawat dan jaga gue. Untuk itu, gue minta maaf dan berterima kasih banyak,” sambung Jihoon diakhiri dengan senyuman yang semakin lebar menghiasi wajahnya.
“Sama-sama.”
Mereka berdua saling melempar tawa. Keduanya sibuk menghabiskan makananereka sembari menunggu mobil yang dipesan datang. Sesekali akan ada komentar yang keluar dari mulut keduanya soal bagaimana seseorang yang lewat berkendara.
Mobilnya datang dan Eunha masuk duluan. Baru Jihoon akan masuk, ada seseorang yang memanggilnya dengan nada bertanya. Memastikan apa itu benar-benar dirinya atau bukan.
“Kak Jihoon?”
Eunha mengamati bagaimana mata Jihoon berbinar kalau melihat sosok yang memanggilnya barusan. Terlihat jelas kalau Jihoon merindukannya.
Eunha mendorong Jihoon pelan dan laki-laki itu menatapnya bimbang.
“Gue tadi bilang udah cukup, 'kan? Sekarang, waktunya kita selesain urusan masing-masing.”