cerita edward anna – 2
Hoshi as Edward. Sana as Anna. Momo as Emily. Seungyoun as Evan. Zoa as Amy.
tags: arranged married, pregnancy, trust issues, birth scene (implicit), typos
note : disarankan untuk membaca bagian sebelumnya yang ada di bawah tweet ini lebih dulu.
Pagi itu, Anna terbangun dengan perasaan yang sedikit membingungkan. Rasanya sesak tapi ia tak mengerti apa alasannya. Lalu, pada akhirnya Anna kembali menyimpulkan kalau apa yang ia rasakan adalah karena kedatangan Rhea dua hari yang lalu.
“Ah, kenapa harus keingetan sama Rhea lagi, sih?” gumamnya dengan nada kesal.
Anna menoleh ke sisi kirinya. Mata Edward masih terpejam dan tangannya juga terlipat kaku di atas dada. Entah sudah kebiasaan atau apa, semenjak menikah Anna sudah sering mendapati Edward yang tertidur dengan posisi itu.
Mata Anna kemudian beralih untuk melihat jam. Masih ada setengah jam sebelum dia harus membangunkan Edward untuk bersiap.
Perempuan itu bangkit dari tidurnya dan mengikat rambut. Selanjutnya, Anna mengambil pakaian dan pergi ke kamar mandi. Tanpa tahu kalau suaminya itu sudah bangun sejak tadi dan mendengar gumaman yang sempat ia lontarkan.
Untuk sejenak, Edward memandangi pintu kamar mandi yang tertutup itu. Setelahnya, ia berdiri dan keluar dari kamar mereka. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Edward,” panggil Anna ketika sudah mendapati keberadaan suaminya. Ia sempat kebingungan karena begitu selesai dengan urusan kamar mandinya, ia tak melihat Edward ada di kamar mereka.
Ternyata laki-laki dengan piyama merah itu sudah ada di dapur. Memunggungi Anna karena tangannya yang sibuk mengaduk masakannya.
“Good morning, Anna. Hari ini, biarin saya yang buat sarapan untuk kita, ya. Kamu cukup duduk di situ.”
“Kamu harus siap-siap buat kerja, Ed. Saya aja yang masak,” balas Anna merasa tak enak. Ia mencoba mengambil alih apa yang tengah Edward lakukan.
Namun laki-laki itu mencegahnya dan menggeleng. Edward tersenyum tipis lalu berkata, “Masakan saya memang gak seenak masakanmu atau mama, tapi saya bisa pastikan kalau ini masih layak untuk dimakan. Jadi, tolong, ya? Biarin saya masakin kamu.”
“Tapi saya perempuan, jadi harusnya saya yang masak buat kita, Ed.”
Mata Edward kembali melihat ke arah nasi goreng yang tengah ia buat. Laki-laki itu mengaduk sebentar lalu mematikan kompornya.
“Di restoran tempat kamu kerja, chef-nya perempuan semua kah?”
Meski bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba Edward ajukan, Anna tetap menjawab, “Enggak, ada beberapa laki-laki. Khususnya buat bagian daging.”
“Nah, berarti bukan hanya perempuan yang 'harus' masak, dong, Na? Lagipula, nasi gorengnya udah jadi. Sana duduk, saya mau hias dulu.”
Anna terdiam. “Ka-kalau gitu, saya buat kopi aja.”
Edward tersenyum dan mengangguk. “Thank you.“
Setelah itu, mereka memakan nasi goreng yang Edward buat bersama. Tak ada percakapan karena terbiasa makan dalam keadaan diam.
“Gimana masakan saya?” tanya Edward.
“Not bad, cuma ladanya kebanyakan. But i still like it. Makasih buat sarapannya, Edward.”
Edward tersenyum puas. “Kembali kasih, Anna.”
“Saya jadi penasaran sama masakan mama kamu,” ucap Anna. Ia memilih membuka topik karena tadi Edward sempat mengatakan kalau ia akan masuk siang.
“Kalau bisa, saya juga mau ajak kamu untuk makan masakan mama. Tapi, saya gak bisa, mama udah lama beristirahat.“
Anna menatap bingung pada yang lebih tua. “Loh? Lalu Nyonya Catherine?”
Baiklah, Edward agak tidak menyukai bagaimana Anna menyebut perempuan itu dengan nyonya.
“She is not my mom. She's just my father's wife, Anna. Lalu kamu tidak perlu memanggilnya nyonya.”
Meski Edward tak pernah menceritakan kisahnya secara gamblang. Namun dari reaksi yang ia keluarkan barusan, Anna bisa memahami kalau hubungan Edward dengan sosok yang Anna ketahui sebagai ibunya itu tidaklah baik.
“Kamu gak suka sama dia, Ed?” tanyanya memastikan dan Edward mengangguk.
“Evan juga sama?”
“Dia mungkin benci sama mereka berdua sampai gak sudi bawa nama papa lagi,” jawab Edward.
Okay.
Anna sekarang juga bisa memahami kenapa Edward dan saudaranya itu memiliki nama belakang yang berbeda.
Menyadari kalau suasana tiba-tiba menjadi canggung. Edward kembali berkata, “Tapi, masakan mamanya Mikhael gak kalah enak. Kapan-kapan kita main ke sana, ya.”
Anna tersenyum tipis dan mengangguk. “Boleh. Kalau masakannya Kak Rhea enak juga?”
Anna membulatkan matanya sendiri. Ia secara spontan mengajukan pertanyaan itu. Melihat Edward yang tak mengeluarkan reaksi apa-apa membuatnya merasa bersalah.
“Ed—”
“Enak, kok. Saya gak bisa bilang gak enak karena dia kerja di restoran mewah sama kayak kamu. Tapi walau begitu, masakan kamu dan mama adalah masakan yang saya suka.”
Tangan Edward mendarat di pipi kanan Anna, mengusapnya pelan. “Hari ini kamu ada rencana apa?” tanyanya.
“Mau ketemu Emily di kafe nanti jam 10, siangnya saya langsung ke restoran.”
Edward mengangguk paham lalu mengecup pipi Anna sekilas. “Saya antar ke kafenya, ya. Sekalian pergi ke kantor nanti. Sekarang saya mau siap-siap dulu.”
Anna tidak bisa menolak.
“Ya udah, Anna. Dia bilang sendiri kalau cuma teman lama, terus kamu khawatirin apa?” tanya Emily setelah Anna menceritakan apa yang menganggu pikirannya.
“Gak tahu,” balas Anna, “aku ngerasa gak enak aja. Takutnya, dibanding aku cemburu, ini lebih ke firasat. Aku gak bisa percaya kalau mereka cuma sebatas teman. Senyum Edward tuh beda kalau sama dia.”
Emily terdiam. Ia mengaduk minumannya dengan asal. Emily tak mengamati secara langsung bagaimana senyuman yang Anna maksud, ia tak bisa asal menyimpulkan.
“Ajak Edward bicara lagi kalau begitu, mau gimana pun jawabannya cuma ada di antara kalian berdua. Bukan di aku,” ucap Emily, “tapi, Anna. Yang aku nilai, Edward itu laki-laki yang memegang tanggung jawabnya.”
“Iya, dia emang memegang. Aku takut dia cuma lihat aku sebagai tanggung jawab, makanya dia bertahan sama aku meski suka sama Kak Rhea,” balas Anna langsung.
Emily meringis, sepertinya ia salah berbicara. Anna sedang dalam pikiran buruknya. Sepositif apa pun kalimat yang Emily keluarkan, perempuan itu akan selalu menangkapnya sebagai hal yang buruk.
“Ly, aku takut kayak dulu.” Kali ini, Anna berucap dengan pelan. Meski hanya satu kalimat, tapi Emily langsung paham ke arah mana Anna membawa pembicaraan ini.
“Anna, mereka adalah dua orang yang berbeda,” balas Emily. Menekankan pada Anna, bahwa Edward tak seperti sosok yang dulu ada di masa lalunya.
“Aku tahu,” ucap Anna, “tapi, kemungkinan dia bakal jenuh sama sikapku itu bakal selalu ada, Emily.”
“Anna, situasinya berbeda. Dulu kamu dan dia cuma pacaran, tapi kamu dan Edward sekarang sudah menikah.”
“Edward suka sama Kak Rhe—”
“Anna, jangan asal menyimpulkan.” Emily secara terpaksa memotong. Anna jika sudah dikuasai dengan pikiran buruknya sulit untuk dikendalikan.
Namun, ini juga bukan sepenuhnya salah Anna. Dia yang dulu selalu disertai dengan segala hal positif kini berubah semenjak orang itu meninggalkannya. Jika bertemu lagi, ingatkan Emily untuk memukul orang itu. Sampai pingsan kalau perlu.
Hening terjadi di antara keduanya karena Anna tak membalas lagi. Perempuan itu melamun dan Emily memutuskan untuk memberinya waktu.
“Natalie apa kabarnya? Kok gak diajak ke sini?” tanya Anna, mengalihkan pembicaraan.
Emily yang tiba-tiba ditanya mengenai anaknya itu tak langsung membahas. “Ah, sebenarnya Aiden lagi ngasih aku me time gitu. Jadi dia inisiatif buat jaga Nata di rumah hari ini, mau pakai jatah cuti katanya.”
Anna mengangguk paham. Kemudian memandang temannya itu dengan ragu. Cukup lama sampai Anna memberanikan diri untuk mengajukan satu pertanyaan lagi.
“Emily, kamu sama Aiden sebelum menikah, 'kan, udah pacaran lama. Bukan bermaksud menyinggung, tapi kenapa kalian bisa bertahan sampai sejauh ini?”
Emily terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang akan ia berikan pada Anna. Berharap itu setidaknya bisa memotivasi sahabatnya.
“Aku sama Aiden nyaris batal nikah sebenarnya, Na, karena ngerasa jenuh. Terus mungkin udah jalannya buat aku sama dia untuk sama-sama. Dulu gak ada alasan khusus kenapa kami mutusin supaya pernikahan itu tetap terjadi, tapi kami sama-sama ngerasa kalau kami bakal lebih gak bisa kalau pisah. Lalu semuanya berjalan sampai Natalie udah tiga tahun sekarang.”
Hening sesaat, Emily mengambil jeda dan Anna memilih tetap diam karena tahu sahabatnya itu belum selesai bicara.
“Selama sama Aiden, aku menangkap satu hal. Untuk jatuh cinta, itu terbilang mudah. Bagaimana mempertahankan untuk tetap saling mencintai, itu yang agak susah. Setiap kami menemui masalah. Baik aku atau Aiden selalu berusaha buat mendengar terlebih dahulu. Nanti kita tahu harus ambil langkah apa, Na.”
Anna menatap pada Emily. “Kalau satu pihak malah gak memperdengarkan, gimana?”
“Kita selalu punya hak untuk bertanya.”
Ucapan Emily di hari itu, semakin membuat Anna larut dalam pemikirannya sendiri.
Ketika jam kerjanya selesai, Anna mendapat Edward dan Rhea tengah bersama di depan mobil Edward. Ini bukan ketidaksengajaan, Anna mengetahui kalau Rhea menginginkan untuk ikut menjemputnya. Entah apa alasan perempuan itu, yang pasti Anna tak menyukainya.
Namun di sisi lain, ia tak bisa langsung melarang Edward mengingat bagaimana peran Rhea untuk suaminya itu. Anna hanya berharap kalau Rhea akan segera kembali ke negara tempatnya tinggal sekarang.
Edward tersenyum tipis dan menghampiri Anna. Ia merangkul pinggang istrinya dan bertanya, “Lelah?”
Anna menggeleng. “Gak terlalu.”
“Malam, Anna. Saya gak sangka kamu kerja di restoran ini. Bagian apa kalau boleh tahu?” sapa Rhea dengan akrab.
“Pastry.”
Rhea terlihat kagum. “Ah, apa dessert yang saya makan tadi buatan kamu?”
Anna bahkan tidak tahu perempuan ini memesan apa. Seolah paham dengan isi pikiran Anna, Rhea kembali berkata, “Aku makan chocolate cake tadi.”
Baiklah, Anna memang membuat itu. Akhirnya ia mengangguk. Wajah Rhea terlihat cerah seketika.
“You are a great pâtissière!”
Tak dapat ia elak, mendapat pujian akan hasil masakannya membuat Anna senang. Perempuan itu tersenyum gugup dan mengangguk. “Thank you!“
“Udah? Ayo pulang sebelum makin larut,” ucap Edward seraya membuka pintu mobil lalu mempersilahkan Anna untuk masuk.
“Kalian berdua masih bisa mengobrol lain kali. Let my wife rest, Kak. Masuk ke mobil sana,” balas Edward seraya masuk ke mobil menyusul Anna. Membiarkan Rhea di luar sendiri.
“What? You are not sweet to me anymore!“
“Take it or leave it, Kak. I'm a husband now.“
Wajah Anna tanpa dia sadari memerah begitu Edward mengatakan itu. Edward menyalakan mesin mobilnya, membuat Rhea buru-buru masuk dan duduk di kursi belakang.
“Kamu tadi bilang kalau Anna harus beristirahat. Terus barusan kamu bilang kalau kamu suaminya. Are you trying to tell me that you won't let Anna 'rest' tonight?“
Kedua orang yang lebih muda darinya itu terbatuk secara bersamaan, tersedak ludahnya sendiri alias salah tingkah. Rhea tak bisa untuk tak tertawa menyaksikan hal itu.
“Kak Rhea ... orang yang asik,” ucap Anna ketika mereka berdua sudah mengantarkan Rhea. Perjalanan singkat mereka malam ini juga obrolan yang ada di dalamnya, membuat semua pikiran buruk Anna tentang Rhea luntur seketika.
Edward tersenyum tipis. Lega karena ia berhasil menyingkirkan keraguan Anna kepadanya akibat kehadiran Rhea. Rencana yang sudah ia pikirkan sejak mendengar gumaman Anna tadi pagi.
“Iya, itu alasan kenapa aku sama Evan dekat sama dia.”
Anna mengangkat kedua alisnya. “Evan juga kenal Kak Rhea?”
Edward mengangguk. “Tentu, tapi kalau lebih dekat itu memang saya. Evan, 'kan, ikut mama dulu. Jadi gak bisa sering ketemu.”
Anna mengangguk paham sebagai balasan.
“Na, saya sama Kak Rhea memang dekat tapi bukan berarti saya berharap dia bisa menjadi pasangan saya—jauh sebelum kehadiran kamu pun, saya tidak pernah memikirkan hal itu.”
Edward berucap dengan penekanan di setiap katanya. Laki-laki itu masih fokus menatap jalanan.
Anna menunduk, memainkan jari-jarinya. Merasa bersalah karena ia baru menyadari kalau Edward sebenarnya tahu dengan pemikiran tak benarnya.
Lampu merah yang menyala seakan memberi kesempatan pada Edward untuk menatap pada istrinya. Laki-laki itu tersenyum tipis dan meraih sebelah tangan Anna.
“Edward, i'm sorry. Saya malah berpikiran yang gak benar, harusnya saya tanya baik-baik ke kamu. Semenjak waktu itu, saya jadi banyak meragukan orang-orang—bahkan termasuk kamu.”
“Tak apa, saya juga minta maaf karena lambat menyadarinya.”
Langkah mereka berhasil keduanya buat untuk kembali searah.
“It's almost midnight, Kak!” protes Edward ketika sosok Rhea muncul di layar laptopnya. Ia tadinya sedang mengetik artikel yang ia tulis dengan nama lainnya. Pekerjaan sebagai arsitek kadang membuat Edward jenuh, dan ini adalah salah satu cara Edward untuk mengatasi kejenuhan itu.
“Besok aku akan kembali ke Italia, penerbangannya pagi. Tadi sebenarnya aku iseng, sih. Tahunya kalian berdua belum tidur.”
Anna memang belum tertidur, tapi ia tiduran beralaskan paha Edward. Memperhatikan bagaimana suaminya itu menulis artikel yang ia coba buat. Anna juga yang membujuk Edward agar mau menerima ajakan video call Rhea karena yang lebih tua memang menghubunginya, bukan Edward.
“Anna, apa Edward ngebuat kamu capek lagi malam ini?”
Anna dengan kaku merubah posisinya menjadi duduk. “Enggak kok, Kak! Memang lagi males-malesan malam ini,” jawabnya dengan sedikit terburu.
Edward terkekeh. “Privas—ah wait.”
Tanpa memberikan penjelasan. Edward berlari kecil menuju kamar mandi, meninggalkan kedua perempuan yang sama-sama memiliki peran penting di kehidupannya itu.
“Ke mana dia?” tanya Rhea pada Anna.
“Kamar mandi, Kak,” jawab Anna begitu melihat pintu kamar mandi mereka yang ditutup.
“Kebelet, ya.”
Anna hanya tertawa kecil menanggapi itu.
“Kamu mau tahu sesuatu gak, Na?”
“Apa, Kak?”
“Dulu sebelum aku pergi untuk kuliah. Aku sama Edward sempat membuat janji. Janjinya itu, Edward akan menunggu aku buat pulang dan kami akan kembali sama-sama.”
Wajah Anna yang semula cerah, menjadi redup kala Rhea menghentikan ucapannya. Senyumnya luntur dan ia tak memperdulikan itu akan disadari oleh Rhea atau tidak.
“Nyatanya Edward ngelanggar janji itu,” sambung Rhea dengan tawa yang pahit. “Aku pulang dia sudah punya kamu. Aku gak tahu gimana ibunya Mikhael sama ibumu bisa ngebujuk dia supaya mau menikah sama kamu. Aku juga gak tahu kenapa kamu mau nerima dia.”
Anna tetap diam, tak memberi tanggapan sama sekali. Namun, pemikirannya sukses dibuat penuh.
“Meski keluarganya gak berjalan mulus, tapi Edward tetap tumbuh dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Mungkin dia gagal dalam mempertahankan janjinya sama aku, tapi itu bukan berarti dia melihat kamu tidak lebih dari tanggung jawabnya, Anna. Kamu bisa melihat sendiri, 'kan, dia lebih terbuka sama siapa?”
Rhea terlihat menyandarkan dirinya. “Ya tapi mau gimana lagi. Sekarang semuanya udah kayak gini. Edward gak mungkin ninggalin kamu karena kamu tanggung jawabnya dia.”
“Kak—” Anna menarik kembali perkataannya kala mendengar suara pintu yang dibuka. Edward datang seraya merapihkan piyamanya.
“Sorry, kebelet hehe,” katanya dengan ringan.
“Kamu ini, kasian Anna bingung tiba-tiba ditinggalin sama kamu. Lain kali kasih aba-aba deh, biar dia gak bingung.”
Anna paham dengan jelas kalau secara tak langsung ia baru saja diremehkan. Dia menyesal sempat menyukai Rhea kemarin-kemarin, karena pada kenyatannya perempuan itu sama sesuai dengan dugaannya.
Namun, apa yang Rhea bicarakan pada Anna malam itu sama sekali tak Anna katakan pada Edward. Bahkan di hari-hari berikutnya.
Pagi hari yang lain, Anna kembali terbangun dengan rasa yang tidak enak. Kali ini bukan sesak, tapi mual.
Bayangkan saja ketika nyawamu bahkan belum terkumpul, tapi kamu sudah harus memuntahkan isi perutmu. Anna sangat tidak menyukai keadaan ini.
Edward ikut terbangun dan memijat tengkuk Anna. Matanya menatap khawatir pada yang lebih muda. Tangannya yang lain membantu Anna untuk menyingkirkan rambut coklat madunya agar tak terkena muntahan.
“Ayo ke rumah sakit, Na,” ajak Edward setelah memberikan Anna segelas teh hangat.
Anna menggeleng. “Gak perlu, Ed. Ini mungkin karena semalam saya gak sempet makan. Nanti juga bakal baikan.”
“Kalau gitu, saya berangkat siang aja.”
Sekali lagi, ia diberikan gelengan oleh istrinya itu. “Gak perlu, Edward. I'm fine.“
Edward menghela napasnya. “Baiklah, tapi tolong kabari saya kalau ada apa-apa.”
Anna mengangguk sebagai jawaban. Perempuan itu menatap kosong pada segelas teh yang ada di genggamannya.
Kalimat Rhea waktu itu yang sudah Anna coba lupakan. Kini tiba-tiba terlintas kembali dalam pikirannya.
“Edward, saya mau tanya sesuatu.” Edward tak berkata, tapi ia memberi tanda agar Anna kembali melanjutkan kalimatnya.
“Apa benar sebelum Kak Rhea pergi kuliah, kamu dan dia sempat berjanji buat bersama?”
Hening melanda keduanya. Edward terlihat tidak menyangka dengan pertanyaan yang Anna berikan. Laki-laki itu terlihat kaku seketika.
“Anna, saya yang buat sarapan hari ini, ya. Kamu diam dulu di sini,” ucap Edward tak menjawab sama sekali apa yang Anna ajukan.
Laki-laki itu dengan sedikit terburu pergi dari kamar mereka. Meninggalkan Anna yang berhasil ia buat tenggelam dalam pemikiran yang tak mendapat kepastian.
“Kamu bilang apa ke Anna sih, Kak?”
“Uhm ... sedikit kenyataan?”
“Kita udah pernah bicarain soal itu, Kak Rhea. Kamu juga udah nerima itu.”
“Aku cuma nerima setengah hati. Kamu menerima dia, aku gak suka itu.”
“Anna istri aku.”
“Aku tahu. Dia memang istri kamu, tapi apa dia orang yang kamu sayang? Bukan, itu aku.”
Edward mendengus, wajahnya sedikit memerah karena kesal. Laki-laki itu mematikan sambungan teleponnya tanpa berbasa-basi. Lalu menonjok tembok di depannya.
“Kenapa, sih?” tanya Evan.
“Kak Rhea.”
Evan memberikan tawa remeh. “Aku udah sempat bilang belum, sih? Rhea itu sedikit obsesi sama yang dia mau. Dulu supaya bisa ke Italia juga dia banyak dramanya, 'kan?”
Edward menghela napasnya. Apa yang Evan katakan bukan omong kosong. Edward juga sudah menduganya, tapi ia kira Rhea sudah lebih belajar semenjak pergi ke sana. Mengingat bahwa sikap perempuan itu ramah pada Anna.
Nyatanya, itu hanya di hadapan Edward saja. Entah apa saja yang sudah Rhea katakan hingga keraguan Anna yang berhasil ia singkirkan kini kembali melanda istrinya itu.
“Kali ini dia kenapa?” tanya Evan. Jujur, ia sedikit terkejut mendapati Edward yang mendatangi huniannya. Meski keduanya adalah saudara kembar, semenjak kedua orang tua mereka bercerai mereka jarang terlibat obrolan.
“Aku gak tahu apa yang udah Kak Rhea omongin ke Anna, yang jelas dia sekarang ngeraguin aku.”
“Anna gak menyinggung satu hal pun?”
“Ada. Dia sempat tanya tentang janji aku sama Kak Rhea.”
Evan memiringkan kepalanya. “Terus kamu jawabnya?”
“Aku gak jawab apa-apa.”
“Tolol.”
Edward mengernyit mendengar itu.
“Kamu kenapa ke sini? Pergi sana, jelasin semuanya ke Anna,” ucap Evan lalu menarik tangan Edward yang semula tengah bersandar pada tembok.
“Aku harus jelasin apa ke Anna?”
“Ed, kamu ini arsitek. Udah banyak bangunan yang kamu rancang, bahkan rumahmu sekarang aja kamu yang bangun. Semua itu percuma kalau kamu masih tolol,” ucap Evan.
“Kamu kenapa ngatain aku terus, sih?!”
“Astaga, Edward tolol Kwon—ah udahlah! Sekarang kamu pergi dari rumahku dan jelasin semuanya tentang Rhea dan ungkapin gimana perasaan kamu.”
Edward akhirnya bisa memahami apa maksud Evan. Laki-laki itu menggeleng, menahan diri agar gagal untuk Evan dorong menuju pintu utama rumah adiknya itu.
“Tapi, Ev—”
“Sekarang atau kamu bakal lihat Anna pergi dari kamu, Edward. Kamu tuh harus berani buat ngasih tahu kebenarannya, jangan dipendem. Kamu mau kayak mama sama papa dulu?”
Dengan kalimat Evan itu, Edward langsung melangkahkan kakinya secara mantap untuk segera pulang ke rumah.
Rumahnya dan Anna.
Sepanjang perjalanan, Edward sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia berikan pada Anna. Namun, begitu melihat perempuan itu ada di hadapannya membuat nyali Edward ciut seketika.
Ia tak pernah menempatkan dirinya akan ada di posisi ini. Pada Rhea pun, sebenarnya ia tak menjanjikan bersama dalam arti hidup sebagai pasangan. Namun, tetap menjalani hubungan yang terjalin di antara mereka sebelumnya. Dulu, Edward sama sekali tak berpikir untuk memiliki hubungan, terlebih sebuah pernikahan.
“Anna, saya—”
“Edward, saya mau kita pisah,” potong Anna membuat Edward merasa dijatuhi batu besar tepat di atas kepala.
“Ke-kenapa?”
“Saya gak mau menghalangi kamu sama Kak Rhea. Kalian berdua lebih saling memahami, dia lebih cocok untuk kamu.”
Edward menggelengkan kepalanya dengan ribut. Mata Anna membulat ketika Edward jatuh terduduk secara tiba-tiba. Namun, ia memilih untuk tegas kali ini dan mengabaikan hal itu.
“Pernyataan Kak Rhea lalu pertanyaan saya yang gak kamu jawab, itu seakan melekat satu sama lain. Kamu gak mengelak, kamu menghindar seolah itu adalah kenyataan yang kamu takut akui di hadapan saya. Sekarang, saya permudah jalan kalian berdua dengan mengajukan perpisahan ini.”
“Anna, tolong ... saya gak mau.”
“Saya bisa paham kamu gak mau karena melihat saya sebagai tanggung jawab kamu dengan menjadi istri kamu. Tapi ini saya yang mengajukan, saya tak keberatan dan nanti kamu tak lagi mempunyai tanggung jawab yang akan menghambat hubungan kamu sama Kak Rhea.”
“Enggak, Anna. Bukan itu yang saya mau. Bukan itu yang harus kamu pahami.”
“Lalu apa?! Kamu selalu diam dan ngehindar, Edward! Saya bingung kamu ini maunya apa!”
Nada suara Anna meninggi, tapi perempuan itu tak peduli.
“Kita sudah lama menikah, kontak fisik di antara kita juga udah jauh—saya udah percaya sama kamu. Tapi kenapa saya masih harus tahu tentang kamu dari orang lain?!”
Edward diam, membiarkan perempuannya itu melampiaskan amarahnya.
“Saya pikir, kita bisa lebih baik, Ed. Saya pikir apa yang saya terima dari dia gak akan saya dapatkan dari kamu. Meski berbeda, tapi kalian sama-sama tak mau mengakui apa yang sebenarnya kalian rasain ke saya hanya karena terikat hubungan.”
Dia.
Edward sampai sekarang masih tak tahu siapa dia yang Anna maksud. Namun, ia beberapa kali sudah mendengar kisah antara mereka. Hal yang sebelumnya membuat Anna ragu untuk menerima pernikahan mereka.
Anna menjongkokkan dirinya dan menutupi wajah dengan kedua tangan. Bahu perempuan itu bergetar dan Edward tak bisa menahan dirinya untuk tak mendekat.
“Anna ... maaf.”
Kepala Anna menggeleng, menolak permintaan maaf suaminya itu. Edward memeluk Anna, meski sempat menolak tapi pada akhirnya perempuan itu membiarkan Edward memeluknya.
Cukup lama keduanya ada di posisi itu. Hingga akhirnya tubuh Anna menjadi lemas dan kepalanya bersandar pada bahu yang lebih tua.
Awalnya Edward mengira Anna ketiduran sehabis menangis. Namun, ketika ia mencoba untuk membangunkannya, Anna tak kunjung memberi reaksi, bahkan napasnya pun terasa lambat.
“Anna, astaga.” Dengan sigap, laki-laki itu menggendong yang lebih muda. Segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Jangan biarkan dia mempunyai banyak pikiran bahkan sampai stress. Kehamilannya masih ada di awal trimester pertama, masih rawan mengalami keguguran. Tolong jaga dia baik-baik.”
Edward mengerjapkan matanya beberapa kali usai dokter yang memeriksa Anna berkata demikian.
Kehamilan?
“Ha-hamil?”
Dokter itu mengangguk. “Ah, apa kalian sebelumnya belum periksa soal ini?”
Edward menggeleng. “Belum, Dok.”
Kenapa Edward tak bisa menangkap kalau Anna yang muntah-muntah setiap pagi adalah gejala kehamilan? Seketika rasa bersalah kembali mengerubunginya. Kalau tahu lebih awal, mungkin Edward akan lebih berani dalam menjelaskan.
“Selamat, Pak. Istri Anda tengah mengandung. Selain apa yang saya katakan tadi, tolong untuk lebih memperhatikan pola makan dan asupan nutrisinya mulai sekarang.”
Edward mengangguk. “Sekarang dia baik-baik aja, 'kan, Dok?”
“Iya, dia hanya kelelahan dan sepertinya belum makan sama sekali.”
“Dia pagi tadi makan, Dok. Tapi tidak banyak. Kalau dia baik-baik juga?”
“Iya, bayi kalian juga baik.”
Edward tanpa sadar menghembuskan napasnya lega. Ia kemudian bertanya, “Sekarang apa saya sudah boleh melihat, Anna?”
“Silahkan, tapi biarkan dia untuk beristirahat dulu. Saya akan menuliskan resep obatnya, nanti akan saya serahkan pada kamu.”
Edward mengangguk. “Terima kasih banyak, Dokter.”
“Sama-sama.”
Edward membuka pintu ruang rawat Anna secara perlahan. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, bukan karena ia merasa antusias untuk memberitahukan kabar tadi kepada Anna. Namun, karena ia merasa takut.
Apakah Anna tetap ingin mereka berpisah dan akan memutuskan untuk merawat anak mereka sendiri?
atau
Jika mereka masih diberi kesempatan untuk bersama. Akankah ia sanggup menjadi seorang ayah tanpa membawa bagaimana sikap ayahnya dulu padanya?
Mata Anna masih terpejam, tapi tampaknya kini ia tertidur. Edward duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang yang Anna tempati. Laki-laki itu mengelus tangan Anna sekilas, sebelum mengeluarkan ponselnya dari saku. Edward menelepon seseorang.
“Halo, Ed? Gimana?”
“Evan, Anna hamil.”
“Wow, congratulations, Ed! Aku gak nyangka kalau anakku sama anakmu umurnya bakal dekat.”
Edward terdiam. Ia menatap Anna dengan kosong. “Aku gak yakin aku bisa, Ev.”
“Loh? Tapi kamu beneran sayang sama Anna, 'kan, Ed?”
“Iya, Evan, aku sayang sama Anna. Kami udah ngelewatin banyak waktu berdua, gak mungkin aku gak naruh hati ke dia. Aku gak yakin kalau aku bisa jadi seorang ayah yang baik, yang bisa anaknya anggap sebagai pelindung. Aku takut, Evan.”
“Kamu bisa, Edward. Selalu bisa, kamu gak perlu memikirkan yang tidak-tidak.”
Edward meremat ponselnya tanpa sadar. Laki-laki itu menunduk.
“Kamu sadar, 'kan, Ev? Buat kita menjalani hubungan setelah nyaksiin gimana hubungan orang tua sendiri hancur itu agak susah. Kamu mungkin bisa lebih cepat dari aku karena kamu bisa memahami perasaanmu sendiri. Kamu tumbuh bareng mama yang selalu pengertian. Sementara aku sama papa ... dan keluarga barunya.”
“Edward, aku paham. Tapi terkadang itu cuma pikiran kita sendiri. Dulu ketika tahu Beby hamil pun, aku kepikiran hal yang sama kayak kamu. Aku tumbuh bareng mama dan papa gak layak untuk aku jadiin panutan untuk anakku nanti. Namun, seiring kehamilannya Beby, aku banyak belajar dan merasa. Tanpa sadar, sekarang aku malah ngerasa siap kalau bayi dalam perut Beby lahir.”
“Biarin semuanya berjalan, Ed. Jangan biarin pikiranmu ngehambat langkah kalian berdua”
“Evan, Anna tumbuh di keluarga yang hangat. Aku gak yakin kalau dia tetap mau bertahan ketika anak kita lahir nanti.”
“Kamu jangan ngesugesti diri kayak gitu dong, Ed. Pikirin yang baik-baik supaya dirimu sendiri yakin. Daripada kamu ngobrol sama aku dan ngebuat kamu makin mikir aneh, mending matiin telepon ini dan merenung, Kak Edward.”
Evan berkata dengan penekanan, bahkan memanggilnya dengan kakak. Laki-laki itu serius dan mematikan teleponnya tanpa aba-aba.
Edward menarik napasnya dalam-dalam. Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menatap kakinya sendiri dengan lekat. Memikirkan semuanya baik-baik, sebisa mungkin menyingkirkan pikiran buruk yang menghinggapinya.
Edward mendongak untuk melihat keadaan Anna. Matanya tanpa sadar membulat begitu melihat mata Anna yang semula terpejam kini telah terbuka dan menatapnya lurus.
Edward secara spontan berdiri. “Sebentar, Anna. Saya panggilkan dokter dulu.”
Anna tak membalas. Namun ketika tangan Edward bari meraih pegangan pintu, suara Anna menyapa pendengarannya.
“Edward, saya gak akan biarin anak saya lahir tanpa ayah. Jadi, tolong untuk menerima peran baru kamu yang satu ini.”
Katanya.
Kehamilan Anna berlangsung dengan sedikit kaku. Anna tak berusaha seperti dulu dan Edward merasa sedikit canggung karena sadar kalau Anna mendengarkan obrolannya dengan Evan pada malam itu di rumah sakit.
Hari ini, Edward pulang dengan dua potong kue coklat dan susu kotak rasa vanilla yang Anna inginkan. Tadi siang Anna mengiriminya pesan untuk membeli dua makanan itu.
Omong-omong, istrinya itu memang sudah tidak bekerja di restoran lagi. Kafenya telah selesai dibangun dan sesuai rencana awal mereka, Anna akan berhenti sebulan sebelum kafe dibuka.
“Ini kue coklat dan susunya, Anna. Maaf saya cuma bisa beli dua potong karena hanya itu yang tersisa.”
Anna tersenyum dan mengangguk. “Thank you, Ed.”
“Sama-sama, saya mau bersih-bersih dulu, ya.”
“Eh tunggu! Kamu boleh bersih-bersih setelah ngehabisin kuenya,” jawab Anna setelah mengambil susunya, ia kembali mendekatkan kantung berisi kue itu pada Edward.
Edward meneguk ludahnya gugup. Kue cokelat yang Edward beli itu, rasanya manis dan Edward tak yakin bisa menghabiskannya. Terlebih ini ada dua potong.
“Tapi, Na—”
Anna menggeleng, memberi tanda kalau ia tak menerima penolakan sama sekali.
“Habisin, Ed. Dia mau lihat ayahnya makan makanan manis. Masa ibunya pastry chef tapi ayahnya gak suka makanan manis?”
“Baiklah,” jawab Edward pasrah. Ia mendudukkan dirinya lalu dengan sekuat tenaga mencoba menghabiskan dia potong kue itu.
Tak hanya itu yang terjadi ketika kehamilan Anna tengah berlangsung. Meski kadang keduanya akan sangat kaku, tapi ada beberapa momen yang mereka lewati dengan rasa lega.
Pembukaan kafe Anna, kembali mendatangi festival yang sempat keduanya kunjungi di awal pernikahan dulu, memasak bersama, hingga menghabiskan waktu seharian dengan malas-malasan dan masih banyak lagi. Yang jelas, Edward berhasil membuat Anna menikmati masa kehamilannya.
Namun, memasuki trimester ketiga akhir. Sikap Anna sedikit berbeda. Sebelum-sebelumnya, perempuan itu tak pernah menunjukkan kalau ia tak ingin jauh dari Edward. Namun di hari itu, Anna terus menempelinya bahkan membuat Edward mau tak mau mengambil cuti.
Padahal sebelumnya ia sudah mengajukan cuti di tanggal perkiraan Anna akan melahirkan. Anna benar-benar tak mau menjauh dari Edward meski terlihat jelas kalau ia sedang tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri.
Edward mengusap perut Anna perlahan. “Kamu gak pusing?” tanyanya dengan lembut, berharap kali ini ia tak mendapati penolakan dari Anna.
“Sedikit,” jawab Anna seraya merapatkan tubuhnya pada Edward. Rasanya mau bagaimana pun posisi tubuhnya, Anna tetap merasa tidak nyaman. Meski menjawab sedikit, tapi kepalanya terasa berputar. Perutnya mulas, belum lagi pinggulnya terasa pegal luar biasa.
Tangan Anna meremat baju yang dikenakan Edward tanpa sadar. Dahinya mengernyit merasakan mulas pada perutnya. Edward mengusap perut Anna, lalu beralih pada punggungnya. Berharap itu bisa membuat istrinya sedikit lebih rileks.
Tangan Edward berhenti di pinggul istrinya itu ketika menyadari sesuatu. Apakah Anna akan melahirkan? Tapi ini masih seminggu sebelum tanggal perkiraan.
Semua tangan Anna yang meremat berganti menjadi mencengkeram pakaian Edward. Anna meringis dan Edward tentu menyadarinya, ditambah dengan cengkeraman Anna yang lumayan kuat.
“Ed, perut sa-saya sakit.”
Edward menegakkan tubuhnya. Ia meraih tubuh Anna untuk digendongnya. Rasa panik melingkupi dirinya, tapi Edward tetap berusaha agar tenang.
“A-ayo ke rumah sakit, Anna.”
Untung Edward masih bisa mengendalikan diri hingga ia berhasil mengendarai mobilnya dengan selamat sampai rumah sakit.
Sesuai dugaan Edward, Anna memang akan melahirkan. Dokter bilang mereka perlu menunggu lima pembukaan lagi. Air ketuban Anna pecah ketika ia sudah dibaringkan di ruangannya.
Mereka menunggu, Edward sama sekali tak melepaskan genggamannya pada Anna. Kini, Anna sampai di tahap di mana ia merasa seolah-olah kontraksi terjadi terus menerus.
Semakin lama ia merasakan tekanan kuat di pinggul, begitu pula pada bagian bawahnya disertai dorongan untuk mengejan. Sekujur tubuhnya terasa panas lalu ia mengeluarkan keringat dingin. Tubuhnya terasa semakin lemas.
Di kala itu, ia bisa merasakan sentuhan Edward pada tubuhnya. Dahi Anna dikecup dan dengan lembut laki-laki itu berbisik, “Kamu wanita hebat, Anna. Saya percaya kamu pasti bisa untuk melahirkannya.”
Anna rasa ia tak bisa membuka matanya kagi karena rasa sakit yang ia rasakan. Perutnya semakin terasa mulas dan seperti ada tekanan ke bawah. Namun, ia merasa frustasi karena tak kunjung mendengar intruksi untuk mengejan di saat dorongan ke arah sana sudah muncul.
Elusan yang Edward beri tak lagi mempengaruhi dirinya. Ketika dokter sudah memasuki ruangan dan mengatakan kalau pembukannya sudah sempurna. Anna tak bisa mengingat apa pun selain rasa sakit yang ia rasa.
Namun, ia tetap tahu kalau Edward ada di sana. Sama sekali tidak melepaskan genggamannya. Membiarkan tangannya menerima rasa sakit karena dicengkeram kelewat erat.
Edward menerimanya karena tahu kalau apa yang Anna rasakan jauh lebih menyakitkan.
31 Mei adalah hari yang membuat Anna merasa hidupnya nyaris berakhir. Napasnya masih sulit ia kendalikan ketika tangisan kencang memenuhi ruangan itu.
Pandangannya memburam tanpa ia sadari. Air matanya memang sudah keluar dari tadi karena sakit yang ia rasa. Namun kali ini alasan air matanya adalah tangis anaknya itu.
Anna berhasil.
Ketika bayinya itu selesai dibersihkan dan diberikan padanya untuk disusui. Perasaan yang tak bisa ia deskripsikan itu datang lagi.
Anna menatap hangat pada bayi perempuan itu. Sedikit tak mempercayai kalau ia adalah orang yang telah melahirkan anak rupawan ini.
Anna mendongak untuk menatap Edward. Suaminya itu memang selalu di sisinya sejak tadi. Namun kini dia malah berdiri dengan kaku sembari memperhatikan bayi dalam gendongannya.
“Ed, duduk dulu,” ucap Anna, ia setidaknya bisa memahami kenapa Edward bereaksi demikian. Memang Anna yang melahirkan, tapi ia melewati proses itu dengan mata terpejam. Sedangkan Edward, melihat semuanya.
Edward dengan canggung menurut. Lalu menarik napasnya dalam-dalam.
“Ed, kalau gak ada dia mungkin sekarang kita gak akan pernah ada di dalam ruangan yang sama lagi,” ucap Anna dengan lembut. Memandang kagum pada bayi yang kini kembali tertidur itu.
“Kamu mau kasih dia nama apa?” tanyanya.
Sebenarnya, Edward sudah memikirkan beberapa nama. Namun, ketika ditanya secara langsung begini membuatnya menjadi gugup.
Terlebih keduanya memang tidak mendiskusikan soal nama. Anna memintanya untuk memikirkan hal itu sendiri, entah apa alasannya.
Edward menatap Anna dan bayi mereka secara bergantian. Lalu dengan pelan dia berkata, “Saya berharap dia akan mendapat banyak kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya kelak—terlebih dari kita berdua.”
“Namanya Amy, Amy Kwon,” sambung Edward kali ini terdengar lebih tegas.
“Amy?” tanya Anna memastikan dan Edward mengangguk.
“Amy artinya penuh cinta kasih, saya berharap dia akan mendapatkannya.”
Anna mengusap pelan pipi anaknya itu, sangat pelan. “Welcome to this world, Amy. I hope we can make you see us as a home where you can rest and feel safe.“
Edward tanpa sadar tersenyum tipis mendengar itu.
“Kita mungkin bisa wujudin harapan kamu itu kalau kitanya juga saling menyayangi, Ed.”
“Memang selama ini gak kerasa, ya, Na?”
Anna tersenyum geli, tak bisa menggoda Edward lama-lama. “Terasa, kok. Kamu mau coba gendong Amy gak?”
“Eh? G-gak perlu. Saya takut bakal nyakitin dia.”
“Gak akan, Ed. I believe you will be a good father who will always protect Amy. Coba dulu, ya?”
Melihat tatapan Anna yang begitu berharap padanya membuat Edward mengangguk dengan kaku. Anna menatap pada suster yang masih berdiam di ruangan mereka, memberi isyarat lewat tatap agar perempuan dengan seragam putih yang khas itu membantunya untuk memindahkan Amy ke gendongan Edward.
Begitu makhluk kecil itu pindah ke dalam gendongannya. Air mata yang sejak tadi berusaha Edward tahan karena tak ingin membuat Anna merasa tertekan saat melahirkan, kini tak bisa ia tahan lagi.
Amy masih sangat kecil, tapi ia sudah terlihat luar biasa dalam pandangannya. Edward mengusap kasar wajahnya, takut air matanya ikut menetes pada makhluk kecil dalam gendongannya.
“Kok malah nangis, Ed?”
Edward tersenyum tulis, tindakannya sebelumnya berakhir percuma karena kemudian ia gagal menahan air matanya lagi.
Edward menarik napasnya, berusaha untuk menghentikan air matanya agar berhenti mengalir. Laki-laki itu mendongak dan mempertemukan matanya dengan Anna.
Ia kemudian memilih untuk menjawab pertanyaan Anna yang sempat ia gantungkan tadi. Edward menatap lekat pada istrinya itu.
“Terima kasih untuk semuanya, Anna. Saya akan selalu mensyukuri kehadiran kalian berdua dalam kehidupan saya.”
Anna tersenyum tipis. “Kembali kasih, Edward. Saya juga bersyukur untuk itu.”
“Anna, kamu mau tahu apa yang ada di pikiran saya sejak tadi?” tanya Edward.
“Apa?”
“Saya gak pernah menduga akan memiliki anak semengagumkan ini dari seseorang sesempurna kamu, Anna.”
Sorry for typo(s).
—honeyshison.