Part of taksa – RenShan

Tag : implicit sexual content, harsh words.


Jika Naya ingat lagi, ia sudah mengenal Rendra cukup lama. Mereka pernah satu sekolah dan satu kelas selama setahun. Ketika beda kelas, mereka seperti tak saling kenal lagi.

Naya bukanlah orang yang akrab dengan Rendra. Namun, ia cukup banyak tahu tentang laki-laki itu. Rendra yang menjadi ketua OSIS tak mungkin tak pernah menjadi topik pembicaraan. Ketika teman-temannya membahas sosok itu, Naya memilih untuk menjadi pihak mendengar saja.

Entahlah, bukan ia tak suka dengan Rendra saat itu. Mereka tak akrab dan tak banyak mengobrol, Naya merasa tak enak kalau ia ikut membicarakan Rendra. Takut asal menilai, takut menimbulkan masalah.

Setelah bertahun-tahun, setelah Naya mematahkan Kana dan dipatahkan oleh Awan—dua di antara tiga laki-laki yang selalu terlihat bersama Rendra—sosok itu malah mendatanginya.

Rendra datang tanpa aba-aba kala dirinya tengah makan siang di kantin—di mana hari itu dia barusadar kalau mereka sekampus. Laki-laki itu menopang dagu dengan santai, menatap Naya dengan lekat seakan dia adalah sosok berharga untuknya. Padahal sudah lama semenjak interaksi terakhir keduanya.

“Lo Shanaya yang pernah sekelas sama gue dulu bukan, sih?”

“Iya, Tarendra.” Naya menjawab dengan ragu.

Rendra tersenyum. “Dulu gue terlalu gak berani buat naksir lo karena posisi gue. Sekarang gue udah berani. Lo keberatan gak kalau gue deketin?”

Sekarang, laki-laki itu sudah menggenggam tangan Naya. Rendra juga selalu mengupayakan ketika Naya meminta sesuatu.

Tak ada perubahan berarti pada sosok itu dari saat sekolah dulu. Rendra tetaplah orang yang sanggup untuk mengendalikan banyak hal. Naya kadang takjub dengan pacarnya itu.

Rendra kini tengah asik-asiknya dengan pekerjaan di kantor. Namun ia masih mau menjadi taksa dengan selalu ikut ke arena, menjaga Larena sesuai permintaan dari ibu perempuan itu, menyanggupi apa yang ayah dan ibunya perintah kala jam kerja berlangsung. Selepas LDR pun, Rendra tetap bisa meluangkan waktunya untuk mereka berdua.

Rendra seperti kelewat ahli dalam mengendalikan waktunya, juga mengendalikan berbagai peran yang ia punya. Namun, ada satu yang Naya ragukan bisa dikendalikan oleh laki-laki itu.

Sikap Rendra itu menyambut, makanya segila apa pun ide Awan, meski menolak Rendra selalu berujung melakukannya. Rendra seolah membantu sayap orang lain untuk terbang tanpa berpikir apa dampak dari sikapnya.

Apakah Naya sudah bilang kalau pacarnya itu incaran satu fakul—tidak-tidak. Mungkin setiap tempat yang Rendra datangi, ada satu atau tiga orang yang suka dengan laki-laki itu. Salah satu dampak dari sikapnya yang Naya jelaskan barusan.

Terlebih keduanya sepakat untuk tidak terlalu mengumbar hubungan antara mereka ini. Makanya dulu baik Naya atau Rendra jarang mengunggah foto masing-masing. Paling cuma badannya saja tanpa menunjukkan wajah.

“Hm, coba deh lo datang ke arena. Lihat, berapa banyak cewek—bahkan dari pihak yang selalu ngerendahin Awan, ngedeketin Tarendra.”

Setelah perbincangan antara mereka di group chat semalam. Naya jadi iseng bertanya pada Bisma kala dirinya dan Jennifer datang ke studio milik cowok itu. Jawaban yang Bisma berikan dengan santai itu sedikit membuatnya menyesal.

“Gue juga sering lihat Rendra disamperin sama cewek di kampus. Gue sama dia, 'kan, satu fakultas, jadi sering lihat.” Jennifer ikut menambahkan. Pacar Awan itu memasang wajah merengut kemudian.

“Tarendra tuh gak nolak tapi gak nerima juga. Jadi, pada nangkepnya dia gengsian, ini kata temen gue yang naksir dia,” sambung Jennifer.

Dahi Naya mengernyit, pertanda bahwa ia tak menyukai apa yang baru saja didengarnya.

“Rendra bakal marah gak kira-kira kalau gue nyusul ke arena gitu?” tanya Naya. Ia tak bisa membiarkan Rendra terus didatangi perempuan di setiap langkahnya!

Bisma menghentikan gerak tangannya. “Bisa, tapi bukan karena lo labrak nantinya. Dia marah karena lo nekat datang ke tempat yang—ya bisa dibilang bahaya sendirian. Terlebih di luar sepengetahuan dia.”

Naya menganggukkan kepalanya paham. Rendra memang tipe cowok yang seperti itu. “Gue bisa ikut lo gak, Bis?”

“Gak bisa,” jawab Bisma langsung, “Awan gak akan mau pergi kalau gak barengan berempat. Ribet pacar lo tuh, Jen.”

Jennifer cuma tertawa mendengar itu. Soalnya, kalau sedang bersamanya Awan selalu mau terlihat sok keren.

“Terus gimana, dong? Cowok gue tuh pasti gak akan bereaksi apa-apa buat itu.”

“Coba sama Jen aja. Semenjak dia nempelin plester demam ke penguasa jalanan di tengah-tengah arena, Jennifer jadi disegani di sana.”

“Bisa tuh, nanti sama gue aja, Nay. Gue juga penasaran Awan bertingkah banyak gak di sana.”

“Beneran gak papa?” tanya Naya, memastikan. Merasa tak enak juga, sih, sebenarnya.

Jennifer tersenyum, meyakinkan Naya. “Iya, gak papa.”


Naya melirik ke arah jam setelah membalas pesan dari Rendra yang mengabari kalau dirinya akan pergi ke arena. Seperti biasanya Rendra akan mengirim kabar kalau ia berangkat sekitar jam 10. Sekarang, Naya hanya tinggal menunggu kedatangan Jennifer saja.

Diam-diam Naya terus menekankan dirinya agar tidak meledak di sana. Terlebih kalau pemandangan yang pertama kali ia lihat nanti adalah Rendra yang sedang ditempeli oleh perempuan.

Tidak lama setelah itu, Jennifer mengiriminya pesan kalau dia sudah di depan.

“Loh bawa supir?” tanya Naya ketika sudah masuk ke dalam mobil Jennifer.

Perempuan itu mengangguk. “Gue yakin, nanti pasti Awan gak akan ngebiarin gue pulang gitu aja. Dari pada ribet mobil diambil ke sana ke sini, mending kayak gini aja.”

Naya mengangguk paham. Perjalanan antara keduanya menuju tempat yang biasa dijadikan arena balapan itu pun tak begitu terasa karena keduanya sibuk membahas banyak hal.

“Pak, makasih, ya. Nanti aku pulangnya sama Awan aja,” ucap Jennifer setelah keduanya turun dari mobil.

Angin menusuk kulit Naya, rasa dingin itu sukses membuatnya sedikit bergidik. Naya memeluk dirinya sendiri, jaket yang ia kenakan tak begitu memiliki pengaruh.

“Dingin, ya? Nanti pas di sana pasti kerasa panas kok,” ucap Jennifer.

“Lo kayak udah sering ke sini, Jen,” kata Naya dan Jennifer cuma tertawa sebagai tanggapan.

Keduanya terus melangkah. Semakin jauh semakin terdengar suara bising, semakin terlihat puluhan orang yang berada di masing-masing sisi jalan.

Naya spontan menutup matanya ketika ada jeritan nyaring. Mereka datang tepat ketika para peserta mulai melajukan motor mereka sambil menaruhkan harga diri masing-masing.

“Biasanya, mereka gak mau gabung di tempat penonton,” ucap Jennifer terdengar samar di telinga Naya karena suasana ramai di sekitar.

Jennifer menarik tangan Naya ketika menemukan posisi Kana, Awan, dan Bisma. Sesuai dugaannya, mereka ada di tempat yang jauh dari penonton.

Naya sadar ke arah mana mereka akan sampai. “Kok gak ada Rendra?”

“Mungkin dia yang turun,” jawab Jennifer dan Naya tak membalas lagi. Ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Caca di group chat semalam.

“Loh? Kok kamu ke sini, Jen?” tanya Awan ketika ia melihat Jennifer. Bisma mengangkat kedua alisnya, tak menyangka dua orang ini benar-benar datang.

“Nemenin Naya.”

“Emang Shanaya kenapa? Tumben banget mau ke sini.” Kalau ini, Kana yang bertanya.

“Dia mau lihat Rendra dikerubungi cewek,” balas Bisma membuat kedua temannya itu langsung melihat ke arahnya.

Awan menepuk tangannya sekali sebagai reaksi. “Pas banget. Sekarang bagian dia yang turun. Kalau Rendra menang, lo lihat aja dia diserbu penonton nanti.”

“Gak usah manas-manasin,” ucap Jennifer seraya memberi cubitan pada pinggang Awan. Lalu ia bertanya, “Emang kamu gak diserbu?”

“Waktu awalan iya. Semenjak lo nempelin plester, yang lain pada takut deketin Awan. Takut berurusan sama lo,” jawab Kana dan Awan cuma tersenyum paksa.

“Gak seneng kamu?” tanya Jennifer, menyadari perubahan raut wajah Awan. Awan langsung menggelengkan kepalanya ribut.

“Ya, seneng dong?! Aku cuma mau deket-deket sama kamu.”

Berkat ucapan Awan, Naya semakin terlarut dengan pemikirannya sendiri. Dengan tangannya yang saling meremat, Naya menunggu Rendra dengan resah.

Cukup lama sampai akhirnya kembali terdengar suara mesin motor dari kejauhan disusul dengan cahaya dari lampu yang makin lama makin terlihat membesar.

“Woah, si Rendra!” seru Kana ketika sadar bahwa yang pertama datang adalah Rendra.

“Jago ... jago,” balas Bisma.

“Gak jadi nyesel, gue kira gak akan menang karena biasa pake mobil,” sahut Awan setelah berdecak kagum.

Jarak Rendra dan lawannya lumayan. Sehingga untuk beberapa detik, laki-laki itu sendirian di garis finish. Ketika tiga lawannya sudah datang, barulah Rendra turun dari motornya.

Niatnya hanya ingin mengajak tos pada lawan-lawannya, mengingat pertandingan kali ini tidak ada taruhan barangnya. Namun niatnya itu terhalang karena tanpa aba-aba beberapa penonton memasuki tengah jalanan untuk mendekatinya.

Dahi Rendra mengernyit tidak senang. Laki-laki itu sebisa mungkin tak ingin berkata jahat. Jadi yang dilakukan Rendra adalah berkata maaf sambil menjauhkan orang-orang yang dengan berani menempelkan badannya pada Rendra.

“Lihat, 'kan, Na? Liar mereka,” ucap Awan, dengan nada kompornya.

“Lo diem, kucing,” balas Bisma, sadar lebih dulu dengan wajah garang yang Naya pasang.

“Nay, lo gak pa—” Jennifer belum selesai dalam berbicara, tapi Naya sudah mengambil langkah lebar untuk menghampiri Rendra. Keempatnya terdiam di tempat.

“Anjir ... setelah plester hal ngagetin apa lagi yang bakal kejadian?” celetuk Kana membuat mereka menjadi penasaran dan memutuskan untuk mengikuti Naya.

Meski sedikit kesusahan, Naya tetap berhasil menerobos hingga dirinya berdiri di posisi yang dekat dengan Rendra. Pacarnya itu belum menyadari kehadirannya karena sibuk menjauhkan diri.

“Aduh, sorry. Jangan deket-deket, sesek. Kalian ini cewek, jangan gini dong.”

Dengar? Bahkan penolakan Rendra saja masih lembut. Tak ada kata kasar, tak ada nada yang tinggi.

Naya mendengus kesal. Tanpa berkata apa-apa, perempuan itu memeluk Rendra dari belakang.

Rendra mungkin akan menyikut perutnya kalau saja Naya tidak dengan segera berucap, “Aku Shanaya, Ren.”

Rendra tentu menjadi tenang seketika setelah merasa was-was karena ada yang berani memeluknya.

“Ih, kok lo diem aja sih dipeluk cewek kagak jelas gitu? Gue pegang aja lo nolak?”

“Iya, ih! Rendra, lo bahkan belum lihat wajah dia gimana! Masih cantikan gue!”

“Rendra, i don't care who she is. But, I want to ask, can you sit on my face?

Sumpah ... Rendra pening seketika. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Naya mendengar kalimat terakhir tadi.

Mata Naya membulat. Sial, bahkan ada yang berani melemparkan godaan seperti itu?

Ini sudah kelewatan!

Naya sedikit berjinjit agar wajahnya yang semula bersembunyi di punggung Rendra terlihat oleh orang-orang yang ada di hadapan mereka berdua. Beberapa terlihat terpaku karena mengenali wajah Naya.

Naya melepaskan pelukannya. Ia berjalan ke depan Rendra dengan tangan yang beralih menjadi menggenggam tangan kekasihnya.

Setelah berhadapan dengan orang yang mengatainya perempuan tidak jelas. Naya tersenyum tipis. “Sorry, but i'm his girlfriend dan gue berhak buat peluk dia, crazy girl.

Mata Rendra membulat. Di antara semua prasangkanya, Rendra tak mengira Naya akan bereaksi demikian. Bahkan sampai mengatai orang seperti itu.

Naya beralih, kali ini pada sosok yang melemparkan godaan pada Rendra tadi. Jari telunjuk Naya menyentuh dagu perempuan itu, membuatnya agar mau mendongak untuk menatap tepat pada mata.

Don't worry, he already has a face to sit on,“—Naya mendekatkan kepalanya pada telinga perempuan itu—”and it's mine.

Rendra? Shock.

Ini seperti bukan Shanaya.

Sosok yang diberi pernyataan Naya itu mematung di tempat, sedikit memucat. Naya tersenyum manis setelahnya sebelum menoleh pada kekasihnya.

“Terus kamu,” ucap Naya dengan nada menggantung. Perempuan itu melepaskan genggaman tangan mereka dan—

“Shan, aku gak—aw!”

Di luar dugaan Rendra dan orang-orang yang menyaksikan aksi Naya sejak tadi. Kini yang dilakukan oleh perempuan itu adalah menarik telinga Rendra dengan keras.

Tanpa melepaskan tangannya dari telinga Rendra, dia membawa keduanya menjauh dari keramaian itu. Tanpa banyak kata, membiarkan Rendra yang berusaha melepaskan diri.

Taksa sudah cukup mengalami kejadian memalukan di arena. Pertama, ketika si kucing galak dari taksa alias Bisma berhasil dibuat berlutut oleh lawannya yang sudah jelas kalah. Kedua, ketika si penguasa jalanan alias Awan ditempeli plester demam oleh pacarnya ketika kemenangannya belum lama ia raih.

Sekarang si pengendali taksa pun yang kemenangannya belum mendapat apreasi, harus menerima telinganya ditarik menjauhi arena.

Untung apa yang menimpa Kana tidak terjadi di arena. Setidaknya, mereka masih memiliki sedikit harga diri.

Walaupun pada dasarnya mereka sama-sama menjadi cupu kalau pasangan masing-masing sudah bertindak.

“Shan—”

“Diem, ya, kamu! Aku tuh sebel banget sama kamu, deh! Heran, susah banget nolak. Kamu keenakan, ya?!”

“Enggak! Kamu lihat sendiri, 'kan, aku mau pergi tadi susah.”

“Aku marah sama kamu, ya, Tarendra.” Ekspresi wajah Naya benar-benar tidak ramah sekarang. Perempuan itu melipat tangan di depan dada, sebelah kakinya ia ketuk-ketukkan pada tanah. Menatap Rendra penuh penilaian.

dan Rendra sadar betul kalau ia harus segera meminta ampun.


—honeyshison.