Dalam Biru-10

Wonwoo, Sana.

Enjoy the ride!


“Sana,” panggilnya dengan ragu. Sana langsung mendongak, untuk sesaat Wonwoo dapat melihat kalau Sana membeku. Namun, perempuan itu bisa mengendalikan dirinya dengan cepat.

Sana melukis senyuman canggung. “Oh, halo, Wonwoo.”

“Gue boleh ikut duduk di sini? Bingung kalau sendirian.”

Sana terdiam untuk beberapa saat, ia tampak melirik ke satu arah sebelum akhirnya mengangguk sambil berkata, “Boleh. Duduk aja.”

Wonwoo duduk di hadapan Sana, seketika suasana di antara keduanya terasa canggung seketika. Sana tak banyak berbicara seperti dulu lagi, kini perempuan itu malah mengabaikan Wonwoo dan fokus dengan pekerjaannya.

Tentu saja.

Kenapa Wonwoo masih berani menaruh harapan kalau ia akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti dulu dari Sana?

“Sana, apa kabar?” tanya Wonwoo memberanikan dirinya.

Sana menatapnya, untuk sesaat ia menghentikan pekerjaannya. “Gue baik, kok, Nu. Lo sendiri gimana?”

Sana tampaknya sudah berhasil mengendalikan dirinya. Perempuan itu sudah berbicara seperti biasa, layaknya mereka tak pernah terlibat pertengkaran sebelumnya.

“Gue juga baik,” ucapnya, “terlebih gue ketemu lo hari ini.”

“Lo lagi sibuk apa, Nu?” tanya Sana, mengalihkan pembicaraan. Sama sekali tak mengacuhkan ucapan Wonwoo sebelumnya.

“Ah, gue masih kayak dulu. Sesekali bakal hunting foto kalau udah selesai satu naskah,” jawab Wonwoo, “kalau lo?”

“Gue juga masih sama, ngedesain dan kalau sekarang gue sambil ... ngejaga dan ngurus sesuatu yang berharga,” jawab Sana diakhiri dengan senyuman tulus.

Hal berharga apa yang Sana maksud?

Wonwoo ingin menanyakan hal itu. Namun, ada hal lain yang harus ia prioritaskan ketika dirinya bisa bertemu dan mengobrol dengan Sana.

Meminta maaf.

“Sana, gue pikir gue belum benar-benar minta maaf tentang sikap gue dulu. Maaf karena gue waktu itu terkesan ngejadiin lo sebagai pelampiasan amarah gue. Gue bohong soal bilang suara lo berisik, gue suka setiap lo cerita, Na.”

Wonwoo berhenti sejenak. “Ini memang kurang tahu diri, tapi gue kangen denger cerita lo, Na. Kangen sama setiap hal yang lo omongin sama gue. Makasih udah ngasih gue kesempatan buat ngerasain kenangan semacam itu.”

Sana hanya tersenyum mendengar itu.

“Gue masih berharap buat kita bisa sama-sama la—”

“Berhenti, Nu,” potong Sana. Tatapan mata mereka bertemu sekilas, sebelum Sana bergerak untuk meminum minumannya.

Seiring dengan tangannya yang terangkat, Wonwoo dapat melihat ada sebuah cincin di jari manisnya. Benda itu sukses membuat Wonwoo terdiam, ia serasa dijatuhi batu besar dari langit.

Dibiarkan jatuh bahkan ketika Sana belum memperjelasnya dengan perkataan.

“Nu, sekarang gue bukan lagi seseorang yang lebih sering memperdengarkan. Gue sekarang lebih menikmati ketika gue jadi pihak yang mendengarkan.”

Sana menatap Wonwoo. “Maaf, Nu. Bukan maksud gue gak nerima tujuan lo, tapi sekarang gue udah gak sendiri lagi.”

Sana menegaskannya.

Menegaskan bahwa Wonwoo tak lagi berhak menaruh harapan padanya.

Sesaat setelah satu notifikasi datang ke ponselnya. Sana langsung mematikan laptopnya dan membenahi diri.

Perempuan itu menatap Wonwoo lagi. “Nu, mereka udah selesai. Gue harus pulang sekarang.”

Sana hendak melangkah tanpa menunggu persetujuan. Namun, Wonwoo menahan lengannya. Membuat Sana mau tidak mau berhenti.

“Ah, Na. Gue paham status lo sekarang, tapi sesekali komunikasi apa boleh? Gue bakal berusaha buat gak berharap sama lo lagi.”

Sana terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk sambil tersenyum tipis.

Sure, kalau udah dapat izin gue bakal hubungi lo duluan,” ucap Sana sembari menjauhkan tangan Wonwoo darinya, “see you, Nu. Gue duluan.”

Wonwoo yang menyuruhnya untuk pergi, tapi Wonwoo juga yang kini tampak seperti mengemis kehadirannya.

Dulu, Wonwoo pikir Sana hanya akan pergi untuk sementara dan kembali padanya.

Perempuan itu selalu menunjukkan bagaimana ia yang begitu menyayangi Wonwoo bahkan beberapa kali meminta dirinya untuk tidak pergi. Meminta Wonwoo untuk tidak melangkah sendirian tanpa dirinya.

Namun, sekarang pemikirannya itu terbukti salah.

Sana kini sudah berdampingan dengan sepasang kaki lain, bukan dirinya. Bahkan ada pemilik langkah kecil di antara keduanya.

Sana sudah melupakan Wonwoo.

Perempuan itu sudah menikmati hari-hari bersama keluarga kecilnya. Meninggalkan Wonwoo yang rasanya ingin meneriaki diri sendiri dengan umpatan.

Mereka baru bertemu lagi, mereka berbincang dan Wonwoo merasa dipatahkan.


Sorry for typo.