Dalam Biru ; Titik ketujuh.
Cast: Minghao x Chaeyoung.
TW : cheating
Hari itu hubungan mereka menginjak enam tahun. Jujur Chaeyoung tidak tahu kenapa bisa mereka bersama selama ini.
Sebelum dengan kekasihnya sekarang, riwayat cinta Chaeyoung cukup buruk. Belum ada hubungan yang ia jalin lebih dari tiga bulan. Lalu saat bersama Minghao, semuanya berubah. Hubungan mereka berhasil mencapai umur enam tahun, hal itu membuat Chaeyoung yakin kalau Minghao memanglah orangnya.
Minghao itu dulu kakak kelasnya, mereka kenal karena berada dalam satu ekstrakurikuler yang sama. Setelah itu, muncul beberapa kesamaan lain di antara keduanya. Semakin lama mereka semakin merasa nyaman, hingga tak terasa kini keduanya sudah sejauh ini.
Untuk perayaan enam tahun mereka, Chaeyoung akan memberi kejutan kecil. Sama seperti apa yang dirinya lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Ia tidak yakin apakah Minghao mengingat hari ini atau tidak. Yang jelas laki-laki itu belum memberinya pesan satu pun di hari ini. Berbeda dengan biasanya.
Hubungan mereka memang tidak terfokus pada bertukar kabar, setidaknya sekali dalam sehari saja mereka balas-membalas pesan dari masing-masing. Keduanya sama-sama merasa cukup untuk itu.
Chaeyoung mengambil ponselnya yang tergeletak di tempat tidurnya. Perempuan itu meringis kecil ketika hanya ada notifikasi dari group chat saja yang muncul.
Jarinya kembali bergerak mencari kontak Minghao. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menelepon laki-laki itu lebih dulu.
“Halo, Chae. Kenapa?” tanya Minghao langsung.
Chaeyoung tidak langsung membalas. Perempuan itu menarik napasnya panjang ketika telinganya menangkap suara bising di ujung sana. Minghao sedang dalam keramaian.
“Sibuk, Kak?” tanya Chaeyoung.
“Iya, aku diminta tolong buat jadi dokumentasi dadaian. Kamu kok gak datang, Chae?“
Ah, Chaeyoung baru ingat kalau hari ini ada acara di kampus mereka. Terlanjur lupa akhirnya Chaeyoung memilih untuk mengabaikannya. Lagipula sebentar lagi juga acara itu selesai.
“Aku lupa,” balas Chaeyoung.
“Kebiasaan, keasikan sama apa kamu hari ini?“
Chaeyoung memandang lukisan Minghao yang lagi-lagi dibuatnya sebagai hadiah perayaan hubungan mereka. Perempuan itu kemudian membalas, “Lukis.”
“Baiklah seperti biasanya, ya? Cha—eh aku dipanggil, aku sudahi dulu, ya, teleponnya?”
“Kak tunggu sebentar,” sahut Chaeyoung cepat agar Minghao tidak mematikan telepon mereka. Dia mengulum bibirnya, mempertimbangkan kembali pilihannya untuk menanyakan ini.
Ketika sudah yakin, perempuan itu berkata, “Kak, aku udah sering lukis Kakak. Kakak kapan lukis aku?”
“Okay, nanti aku lukisin kalau udah senggang, ya, sayang?”
Enam bulan berlalu, perayaan ulang tahun keenam mereka gugur. Minghao sama sekali tidak mengingatnya dan Chaeyoung tidak mau memperumit segalanya. Chaeyoung sadar, Minghao itu sibuk hingga bisa melupakan perayaan mereka—tidak seperti biasanya.
Lukisan Minghao masih ada di kamarnya, kadang perempuan itu mengajak berbicara lukisan itu. Meski ia tahu tak akan pernah mendapatkan balasan.
Dalam enam bulan ini, Chaeyoung merasa hubungan mereka mulai meregang. Minghao jarang mengabarinya bahkan kadang tak membalas pesan atau mengangkat telepon dari yang lebih muda. Chaeyoung menghela napasnya kala teringat kembali soal itu.
Apakah sekarang hubungan mereka tengah mencapai titik bosan?
“Hai, Chaeyoung!” panggil seseorang, membuat perempuan itu sontak menoleh ke asal suara. Tanpa sadar dirinya sudah melamun di halte bis, untung ada seseorang yang menegurnya.
Chaeyoung memasang senyum tipis ketika sosok Tzuyu mendekat padanya. Perempuan tinggi yang sudah lama berteman dengannya itu kemudian ikut bergabung menunggu bis datang.
“Chae, maaf kalau terkesan kepo. Tapi lo sama Kak Minghao udahan?”
Chaeyoung mengangkat kedua alisnya, matanya menatap jalanan dengan lekat.
“Enggak,” jawab Chaeyoung pelan,, ia terdengar ragu. Chaeyoung tidak yakin apakah hubungan mereka masih berjalan atau tidak.
Tentunya, itu hanya pikiran sesaat Chaeyoung yang mana mungkin ia suarakan.
“Kirain udah, soalnya lo berdua jarang kelihatan bareng. Mana tadi gue lihat Kak Minghao bonceng kating, gue lupa deh namanya.”
Chaeyoung diam dan tatapannya terlihat kosong. Hal itu tak luput dari pengamatan Tzuyu. Dia sadar pasti ada sesuatu antara Chaeyoung dan kekasihnya.
“Dia ngabarin lo?” tanya Tzuyu lagi karena Chaeyoung tak kunjung membalas.
Chaeyoung mengangguk sebagai jawaban. Dia tak ingin membuat Tzuyu khawatir dengan hubungannya dan Minghao.
“Syukurlah ... tapi saran gue lo lebih baik tanyain soal kating tadi.”
“Dia udah ngabarin itu, kok, Tzu. Mereka emang ada urusan,” balas Chaeyoung terpaksa berbohong. Jika Tzuyu tahu yang sebenarnya, ia tidak yakin dengan apa yang akan perempuan itu lakukan setelahnya. Chaeyoung takut Tzuyu menjadi nekat.
“Gimana pun kenyataannya, gue harus percaya dia, 'kan? Gue gak boleh asal berprasangka sebelum Kak Minghao ngaku sendiri.”
Meskipun bibirnya berkata seperti itu. Namun Chaeyoung tahu, kalau ia harus mempersiapkan diri tentang kemungkinan harapannya soal hubungan yang akan kembali dihancurkan.
Hubungan mereka mencapai tahun ketujuh. Sebelum melihat kalender, Chaeyoung bahkan baru menyadari kalau ini sudah terlalu lama semenjak mereka terakhir berkomunikasi.
Perempuan itu memandangi langit-langit kamarnya. Rasanya menyesakkan tapi ia kebingungan harus bersikap bagaimana.
Jujur, hubungan dengan Minghao bisa selama ini karena Chaeyoung mencoba untuk berubah. Chaeyoung yang dulu akan dengan mudah curiga hingga membuat hubungannya jarang bertahan lama karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh rasa tak percayanya.
Bersama dengan Minghao, setelah banyak topik keduanya bicarakan. Chaeyoung berusaha merubah pikiran dan sikapnya, ia menjadi lebih berhati-hati dan akan bertindak ketika sudah memastikan sesuatu.
Perempuan itu memejamkan matanya, merenung. Hubungannya dengan Minghao cukup berharga, apa yang ia lalui dengan Minghao selama ini akan menjadi kenangan baik untuknya.
Jika memang mereka tidak ditakdirkan untuk bersama lebih lama lagi. Chaeyoung tidak ingin perpisahan mereka terjadi disertai pertengkaran. Minghao adalah orang yang berharga untuknya dan Chaeyoung tidak ingin berpisah dengan laki-laki itu dalam keadaan yang tidak baik.
Matanya Chaeyoung terbuka, ia merubah posisinya menjadi duduk tegak. Sepasang mata Chaeyoung kembali ia arahkan pada lagi pada lukisan Minghao yang hingga saat ini belum pernah dilihat oleh objeknya.
Cukup lama Chaeyoung melakukan itu. Entah apa yang ada dalam kepalanya hingga perempuan itu berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.
Ia dan Minghao perlu bicara.
Apartemen Minghao.
Tempat di mana Chaeyoung berada sekarang. Perempuan itu memandang pada pintu apartemen milik Minghao, lalu tanpa sadar mengeratkan pelukannya pada lukisan Minghao yang ia bawa.
Satu tangannya bergerak untuk menekan bel pintu. Tak membutuhkan waktu lama, pintu itu dibukakan oleh seseorang.
Bukan wajah Minghao yang menyambut Chaeyoung kala pintu itu terbuka. Namun seorang perempuan yang hanya Chaeyoung kenali wajahnya saja, tidak dengan namanya.
Perempuan itu menunjukkan raut ramahnya. “Cari Minghao ya?” tanyanya dan Chaeyoung mengangguk.
“Dia ada kok, silahkan masuk,” balas perempuan itu dan tersenyum hangat. Matanya melirik sebentar pada lukisan yang dibawa Chaeyoung sebelum memiringkan badannya agar Chaeyoung dapat masuk.
“Makasih, Kak.”
“Sama-sama, selesaikan apa yang perlu diselesaikan, ya. Minghao ada di kamarnya, kamu tahu, 'kan?”
Tahu.
Ia dan Minghao tak hanya satu bulan atau dua bulan, mereka sudah nyaris bersama dalam tujuh tahun ke belakang. Lalu orang ini bersikap seakan Chaeyoung adalah orang baru untuk Minghao.
Chaeyoung memejamkan matanya, kepalanya tiba-tiba terasa pening dengan kehadiran perempuan ini dalam kamar Minghao. Yang lebih muda menatap lekat dan bertanya, “Kakak siapa?”
“Pengganti kamu.”
Chaeyoung sukses dibuat terdiam dengan jawaban itu. Dia menatap tak percaya dan menggelengkan kepalanya.
“Gak mungkin ....”
Tidak mungkin Minghao akan sejahat ini padanya.
Chaeyoung dengan cepat mengambil langkah besar menuju ruangan di mana Minghao tidur. Perempuan itu masuk tanpa permisi dan ia mendapati Minghao yang menatapnya dengan raut terkejut.
Chaeyoung sadar, Minghao terkejut karena tidak menduga dirinya akan ada di sini. Perempuan tadi juga sikap yang kekasihnya tunjukkan barusan. Rasanya akan semakin menyakitkan jika Chaeyoung kukuh ingin mendengar langsung kebenarannya.
“Chae, kakak bisa—” Minghao menghentikan ucapannya ketika Chaeyoung tersenyum padanya, ia tak menduga yang lebih muda akan bersikap demikian.
Chaeyoung mendekat pada Minghao sambil berkata, “Aku tahu Kakak bosan sama hubungan kita. Selama ini hubungan kita memang terkesan biasa saja, anehnya kita bisa bertahan sampai sejauh ini.”
Perempuan itu menatap tepat pada mata Minghao. “Kakak orang berharga buatku, aku gak mau kita berdua punya kenangan buruk kalau bertengkar soal hal yang udah jelas aku lihat sendiri.”
Chaeyoung menunduk, menatap pada kaki mereka berdua yang bersentuhan. Sekali lagi, Chaeyoung mengeratkan pelukannya pada lukisan yang ia bawa. Lukisan yang mungkin akan menjadi barang terakhir yang akan ia berikan pada Minghao.
“Jujur, aku kecewa ... tapi aku bisa apa, Kak? Selama ini aku diam karena aku belum siap kalau kehilangan kamu, belum siap harus menjalani hari tanpa kamu.”
“Tapi ini udah lama sejak terakhir kali kita ngobrol. Udah lama sejak terakhir kali kita lihat wajah masing-masing. Aku sadar, aku udah cukup lana terbiasa tanpa kamu dan aku tetap bisa hidup walau kepalaku berisiknya minta ampun.
“Dari semua dugaan yang muncul di pikiranku. Aku gak nyangka Kakak bakal mendua ... ngerusak kepercayaan yang dulu kamu bilang susah untuk dibangun. Kakak bahkan berani untuk bawa dia ke sini, kalian bahagia, dan aku terpuruk dengan semua pikiran buruk yang ada.
Minghao tidak berkata, ia tidak akan membela dirinya. Karena apa yang Chaeyoung katakan itu benar. Akan menjadi lebih jahat kalau ia membela dirinya sendiri. Di sini, Minghao sadar kalau dirinya lah yang salah.
Chaeyoung memberanikan diri untuk menatap Minghao lagi. Senyum tipisnya kembali ia perlihatkan. Minghao ngerasa dirinya seperti ditimpa batu besar kala melihat senyuman dan mata yang berkaca-kaca milik seseorang yang sudah menemaninya dalam waktu lama.
Chaeyoung menyerahkan lukisan itu pada orang di hadapannya. “Tolong terima, Kak.”
Minghao dengan ragu menerimanya.
“Selamat tujuh tahun untuk kita, Kak Minghao. Ini hadiah dari aku, maaf karena lagi-lagi aku malah kasih lukisan. Maaf juga karena ini bukan lukisan baru, ini seharusnya aku kasih waktu kita enam tahun tapi karena Kakak gak ingat aku ragu buat ngasih ini.”
Senyuman yang Chaeyoung perlihatkan semakin lebar. “Ini lukisan terakhirku untuk Kak Minghao. Mulai besok, mari kita sama-sama jadi orang yang gak pernah saling mengenal, Kak.”
Chaeyoung tak ingin lagi berhubungan dengan siapapun yang sudah merusak kepercayaannya. Tanpa peduli kalau dulu Minghao lah orang yang memberi Chaeyoung pandangan berbeda dan berhasil menghancurkan ketakutannya soal kepercayaan.
Perjalanan yang pernah mereka coba ambil bersama, harus mereka hentikan secara paksa di titik ketujuh. Kini, baik Minghao atau Chaeyoung sudah kehilangan tujuan untuk bersama.