derana – 1
Jeongyeon menjadi orang yang memimpin langkah mereka bertujuh. Perempuan berambut pendek dan memakai hoodie abu itu memegangi ponsel yang menampilkan peta supaya tidak salah arah menuju tempat bazaar dilaksanakan.
Di belakangnya ada Jun dan Wonwoo, lalu Momo dan Sana, terakhir Soonyoung dan Jihoon. Bersama-sama menyusuri trotoar dengan langkah yang hampir seirama.
“Masih jauh, Je?” tanya Wonwoo mulai pegal. Di bus ia kehabisan tempat duduk, saat sudah di alun-alun ternyata tempat bazaarnya tidak pas di sana. Mereka perlu berjalan lebih dulu.
“Dikit lagi,” jawab Jeongyeon tanpa menoleh ke belakang.
“Gini nih, keseringan naik mobil,” balas Jun sambil membenarkan jaketnya. Wonwoo cuma mendelik sebagai balasan.
Jeongyeon berhenti di sebuah tempat dengan banyak orang yang di depannya. Bazaar itu tidak dilaksanakan di alun-alun, melainkan di dalam sebuah mall yang ada di dekatnya.
“Nah, di sini!” kata Jeongyeon seraya mempercepat langkahnya. Mereka pun turut mempercepat langkah, memasuki Mall yang belum terlalu ramai karena bisa dibilang ini kepagian. Bazaar itu pun ada di tengah-tengah lantai satu.
“Belum rame banget, ya,” celetuk Momo ketika mereka sudah di dalam.
“Masih pagi soalnya,” sahut Jihoon.
“Ya udah kita mencar dulu aja, ya. Selamat mencari buku yang kalian mau. Nanti ke kasirnya barengan.” Tanpa menunggu apa pun lagi, Jeongyeon sudah lebih dulu memanjakan matanya dengan jajaran buku lama itu.
Jihoon tanpa kata berjalan ke arah tumpukan komik, diikuti Wonwoo di belakangnya. Sisanya berpencar, mencari buku yang menarik perhatian sampai puas.
Setelah masing-masing mendapatkan buku. Mereka segera pergi ke tempat bakso yang Momo bicarakan.
“Ini nyaris gak sampe ke bagian bawah mangkuknya.” Jun menjadi yang pertama berkomentar kala dua mangkuk berisi sebuah bakso besar dan mie yamien itu ada di hadapannya.
Sana meringis melihat apa yang dipesan teman-temannya karena penasaran. Tadinya, ia juga hendak memesan itu. Namun, melihat bakso kotak yang di pajang membuat nyalinya ciut. Tubuhnya tetap tak bisa menerima makanan sebanyak itu, apalagi ia memang bukan penggila bakso. Jadi, Sana memesan bakso yang kecilnya saja.
“Sebanyak itu, beneran cuma 17 ribu.” Sana agak takjub dengan harganya, ia kira apa yang Momo katakan waktu itu tak akan benar.
“Bener, Na. Eh, tapi ini jadi gak enak. Lo yang bayar, tapi lo malam pesen yang paling murah. Kita bayar sendiri-sendiri aja deh, ya,” balas Jeongyeon yang langsung diberi gelengan oleh Sana.
“Enggak, gak papa. Gue emang belum sanggup kalau harus makan banyak. Anggap aja gue traktir ini sebagai salam damai? Mengingat dulu geng gue sering ribut sama OSIS dan gue tahu lo sama Jihoon pasti kesel karena itu.”
Jeongyeon terkekeh canggung sambil melirik pada Jihoon. Tidak menyangka kalau Sana akan menyinggung persoalan itu.
“Kalau gitu, makasih banyak, ya, San! Salam damainya gak papa, loh, kalau gak sekali.” Malah Jun yang menanggapi ucapan Sana barusan dengan nada bercandanya.
“Jangan malu-maluin isi dompet lo,” balas Jeongyeon sambil menyikut Jun yang memang duduk di sebelahnya. Reaksi yang diberikan laki-laki itu tentu sedikit berlebihan, tapi semua kecuali Momo dan Sana sudah terbiasa.
“Ada Momo, lo jangan alay dulu,” celetuk Wonwoo membuat Jun langsung duduk tegak seketika. Laki-laki itu tertawa canggung sambil melihat ke arah Momo, yang dilihat juga cuma bisa membalas dengan senyuman yang sama canggungnya.
“Udah, mending kita makan dulu. Ngobrolnya lanjut nanti,” timpal Jihoon dan menjadi orang pertama yang menyuapkan potongan bakso ke dalam mulutnya.
“Selamat makan semuanya!” seru Momo dan dengan berakhirnya kalimatnya itu, mereka pun menikmati makanan masing-masing tanpa banyak kata.
Biasanya kalau hanya Jeongyeon, Wonwoo, Jun, dan Jihoon, mereka tak akan makan dalam diam. Selalu ada obrolan yang terjadi di antara keempatnya. Namun, mungkin karena ada Sana dan Momo mereka menjadi sedikit gengsi. Kalau Soonyoung, memang akan diam saat makan kecuali diajak bicara.
“Gak eneg?” tanya Soonyoung dengan pelan pada Sana yang duduk di sebelah kirinya, perempuan itu membalas dengan sebuah gelengan. Tak sengaja mendengar itu, Wonwoo yang ada di sisi Soonyoung satu lagi langsung berceloteh, “Perhatian amat.”
“Tuh, Je, lihat. Dia mah gak serius sama lo, masih kepo sama mantan,” tuding Jun membuat Wonwoo melotot seketika. Jeongyeon yang sedang dalam mood baik itu langsung membalas, “Emang, gue sadar, kok.”
Wonwoo agak panik, tapi masih berusaha untuk stay cool. Laki-laki dengan kacamata itu menggeleng dan berkata, “Enggak, gue gak bermak—”
“Ya udah, terima aja kalau ditolak. Orang lo tingkahnya begitu,” potong Jihoon dengan mata yang masih fokus pada baksonya.
“Je, gue—”
“Ssst ... diem. Gue lagi berdoa supaya dihindarkan dari buaya.” Lagi-lagi, kalimat Wonwoo dipotong. Kali ini oleh Jeongyeon. Perempuan itu memasang pose seakan berdoa. Momo dan Sana yang sedari tadi cuma mengamati langsung tertawa melihatnya.
Soonyoung menepuk paha Wonwoo pelan sambil berkata, “Yang sabar.”
“Kalian nyebelin banget anjir!”
Tawa mereka malah semakin keras melihat reaksi yang Wonwoo keluarkan.
Puas meledeki Wonwoo, mereka melanjutkan kegiatan mereka dengan sesekali melempar obrolan. Keadaan menjadi tak sehening sebelumnya.
“Nanti gue boleh post foto tadi, 'kan?” tanya Sana.
“Post tinggal post,” balas Wonwoo.
“Emang gak papa? Kemarin aja pas foto lo sama Momo ... gitu.” Kali ini Jun.
“Gue sebenarnya udah gak peduli sama komentar mereka. Ini gue tanya kalian, takutnya malah kalian yang kepikiran.”
“Lo seneng, 'kan, hari ini?” tanya Soonyoung membuat Sana menatapnya heran. Namun, perempuan itu tetap mengangguk. “Seneng.”
“Kalau gitu,post aja. Lo bebas buat pamerin apa yang bikin lo seneng.”