ednamy ; before 20 bagian 2.
Zoa as Amy. Sana as Anna.
“Di sini belum banyak kafe kayak di sana,” gumam Amy. Walau pemandangan yang jadi lihat berbeda, tapi ia masih merasakan hal yang sama. Tempat ini masih terasa familiar untuknya.
Langkah kaki Amy terhenti begitu melihat sepasang manusia yang baru saja keluar dari tempat makan yang ada di sana. Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam.
“Huft, semua orang pacaran. Gak di sini gak di sana,” katanya lalu mempercepat langkah untuk melewati tempat itu.
“Kalau di sana di depan perumahan suka banyak penjual. Di sini sama juga gak, ya?”
Biasa mengeluarkan keluh kesahnya di twitter tapi di sini ia tak bisa mengaksesnya, membuat Amy jadi lebih sering bermonolog. Amy mengamati sekitar, sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Mata Amy kemudian terfokus pada satu titik begitu melihat sosok yang familiar untuknya. Perempuan itu berlari kecil untuk mendekati orang tersebut. Jajanan yang semula menjadi tujuannya, kini telah berganti.
Senyum di wajahnya melebar ketika orang yang menjadi fokusnya itu mendongakkan kepala. Memperlihatkan wajah yang membuat Amy merasa yakin seketika.
Katanya dengan setengah berteriak, “Mami!”
Orang itu menoleh ke arahnya, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari tahu siapa yang Amy panggil.
“Mami, akhirnya aku bisa ketemu mami. Mami tinggal di sini juga? Ternyata mami sama papi rumahnya gak jauh, ya? Wah ... mami cantik ....” Amy sampai tak mengendalikan perkataannya. Terlalu antusias dengan pertemuan antara dirinya dan Anna.
“Kamu bicara dengan saya?”
Mata Amy membulat. Perempuan itu menepuk bibirnya sendiri yang tak bisa ia kendalikan. Sedikit merutuki karena kebiasaannya yang jika sudah merasa antusias selalu lebih aktif berbicara dibandingkan biasanya. Ia bahkan melupakan apa kata Edward di pesan tadi.
“Ma-maaf. Aku gak maksud—”
“Tunggu,” ucap Anna sembari memegang tangan Amy, menahannya. “Kamu ... nama kamu siapa?”
“Amy ... Amy Kwon.”
“Kwon?” tanya Anna dan Amy mengangguk.
“Apa maksud kamu panggil saya dengan mami tadi?”
Amy menghembuskan napasnya pasrah. Sedikit tak terbiasa karena ternyata di masa lalu, malah maminya yang lebih galak dibanding papi. Tidak seperti di kesehariannya.
“Aku juga masih bingung ... tapi aku bukan dari sini. Aku dari masa depan,” jawab Amy dengan pelan.
Anna mengerjapkan matanya beberapa kali. “Masa depan? Kamu tahu nama saya?”
“Anna Kwo—oh! Maksud aku Anna Minatozaki. Terus mami itu pastry chef, 'kan?”
Anna menggeleng. “Belum ... tapi saya beneran jadi pastry chef?“
Amy mengangguk mantap. “Iyap, terus mami buat banyak resep kue yang less sugar karena papi gak terlalu bisa makan manis. Jadi mami sering buat kreasi deh.”
Mungkin Amy salah menangkap, tapi wajah ibunya itu terlihat seperti kecewa sekarang. “Mami kenapa?”
Anna menggeleng cepat. “Kamu gak lagi mengada-ngada, 'kan?”
“Enggak, Mami. Aku gak mau jelek ... kata papi kalau bohong bisa bikin jelek.”
Situasinya memang tidak tepat, tapi Anna merasa gemas. Anak ini tingginya hampir setara dengannya, tapi apa yang dia katakan masih terdengar polos dan apa adanya.
Jika benar dia dari masa depan dan anaknya. Mungkinkah Anna bisa mendidik seseorang menjadi seperti itu?
“Papi kamu si—”
“Anna sayang!”
Amy dan Anna menoleh ke asal suara. Dahi Amy mengernyit, merasa tak asing dengan sosok yang baru saja memanggil ibunya dengan sayang itu. Pandangan Amy beralih pada Anna, perempuan itu tampak bahagia.
Jujur, Amy tidak menyukainya. Namun, ia tidak bisa banyak bertingkah.
“Saya di sini karena nunggu dia, dan ini”—Anna mengeluarkan kartu nama dari dompetnya—”ini kartu nama saya. Kalau bisa, tolong hubungi saya saat malam nanti.”
Amy belum memberi respon apa-apa ketika tangannya dipaksa untuk menerima kartu nama yang Anna berikan. Setelah itu, ia juga tak diberi kesempatan untuk berbicara karena Anna sudah berlari kecil untuk menghampiri laki-laki yang memanggilnya tadi.
Amy mendengus lalu berbalik. Keinginannya untuk membeli makanan kecil sudah gugur seketika. Amy berniat untuk kembali ke rumah saja, tapi langkahnya terhenti begitu teringat siapa sosok laki-laki yang bersama Anna tadi.
“Eh bukannya dia itu ... yang aku lihat sama cewek di tempat makan tadi, 'kan?”