edna ; 1
Hoshi as Edward Sana as Anna. Zoa as Amy.
“Welcome home, Anna,” ujar Edward kala membukakan pintu rumah yang sudah tak Anna datangi hampir tiga hari. Laki-laki itu merangkul Anna di mana ada Amy dalam gendongannya, membawa keduanya hingga duduk di atas sofa.
Setelah itu, Edward kembali ke luar. Untuk mengeluarkan barang-barang mereka dari mobil. Untuk beberapa menit, hanya ada Anna yang mengamati Edward yang sibuk mondar-mandir. Mulai dari membereskan barang yang mereka bawa ke rumah sakit hingga ruang tamu yang agak berantakan akibat ditinggalkan cukup lama.
Edward baru kembali menghampiri Anna dan Amy dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” katanya sembari menyerahkan gelas itu pada istrinya.
Anna tersenyum tipis dan menerimanya. “Thank you.“
Edward balas tersenyum dan menyandarkan dirinya. Anna mengetahui bahwa laki-laki ini merasa lelah, terbukti dengan napasnya yang terburu-buru.
“Edward,” panggil Anna.
“Hm?”
“Ada satu hal yang belum kamu lakukan.” Mendengar itu, Edward langsung menegakkan duduknya. Anna dapat menangkap, ada kepanikan dari wajahnya.
“A-apa?”
“Kamu belum menyambut Amy di rumah ini. Tadi kamu hanya menyambut saya.”
Untuk beberapa saat, keheningan meliputi mereka, hingga akhirnya terdengar tawa canggung dari yang lebih tua. Edward kembali merubah posisinya, menjadi belutut di hadapan Anna.
Tangannya memegang pipi Amy dengan perlahan, masih ada ketakutan dalam dirinya—takut untuk menyakiti Amy. Lalu katanya sambil tersenyum, “Selamat datang di rumah our little princess, Amy. Rumah ini akan kami usahakan agar menjadi tempat yang nyaman untuk kamu tumbuh.”
dan hal itu lah yang akan ada selanjutnya di bagian ini. Tentang Edward, Anna, dan usaha mereka untuk menghidupkan peran baru keduanya; menjadi orang tua.
Hujan belum lama reda, sehingga ketika Anna membuka pintu, suhu dinginnya masih terasa. Perempuan itu memeluk dirinya sendiri sembari menarik napas dalam-dalam.
Amy baru saja tertidur dan Edward masih membenahi ruang kerjanya yang akan dijadikan sebagai kamar Amy nantinya. Laki-laki itu sengaja menyicil karena tak ingin menyerahkan semua tentang Amy pada Anna sendirian.
Anna menghela napasnya sekali lagi. Sudah dua minggu semenjak Amy hadir di antara keduanya. Mereka sama sekali belum benar-benar membicarakan tentang hubungan mereka. Obrolan yang terjadi selalu saja tentang kebutuhan Amy.
Sosok itu terdiam di depan jendela. Memandangi langit yang dengan samar telah dihiasi oleh bintang-bintang. Setidaknya, ini berhasil membuat Anna dapat menenangkan pikirannya.
Keheningan yang Anna rasakan usai kala ada sepasang tangan yang melewati tubuhnya. Tangan itu bergerak untuk menutup jendela.
Sebelum beralih tujuan, pemiliknya sempat berkata, “Maaf, Anna.” lalu menaruh tangannya di atas pundak yang lebih muda. Menarik Anna untuk sedikit menjauh dari jendela.
“Maaf,” katanya lagi setelah menjauhkan tangannya. “Jendelanya saya tutup. Dingin, tidak baik untuk keadaan kamu sekarang.”
“Edward, ini hampir tiga minggu, i'm fine,” balas Anna.
“Maaf ...,” balas Edward menggantung.
Anna menggeleng, memaklumi. Entah kenapa, Edward jadi sering melontarkan kata maaf sekarang.
Hening kembali meliputi keduanya. Anna kembali menatap ke arah luar walau terhalangi oleh jendela. Edward tetap ada di belakangnya dengan tangan yang menggantung di udara, ragu untuk menyentuh pundak Anna lagi atau tidak.
“Edward, can i ask something?” tanya Anna tiba-tiba dan Edward menggangguk, “tentu.”
“Do you think two people can stay together for a long time even if they don't fall in love? Maksud saya ... sebagai pasangan.”
Yang ditanya terdiam untuk beberapa saat. Memikirkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh istrinya.
“Uhm ... i think no? Mereka gak mungkin lama bersama tanpa rasa. Mungkin mereka hanya gak sadar atau gak mau mengakui.”
“Dua orang ini bisa ngerasain bahagia bareng seakan dunia hanya untuk mereka. Keduanya juga bisa ngerasain sedih hingga mewakilkan penderitaan masing-masing. Dengan semua itu, kenapa mereka gak bisa sadar kalau mereka saling cinta?”
Satu tanya kembali Anna ajukan. Satu diam kembali Edward beri sebagai tanggapan pertama.
“I don't know, Anna. Manusia itu beragam, mereka luas. Bahkan terkadang mereka dapat menyadari apa yang orang lain rasakan tapi tidak dengan diri sendiri,” balas Edward. Mereka berbincang masih dengan Anna yang membelakangi Edward walau jarak mereka sudah lebih dekat.
Mata Anna masih setia pada langit.
“Kamu dulu bilang kalau yang tahu perasaan kita adalah diri kita sendiri. Iya, 'kan?”
“Iya.” Balasan dari Edward, membuat Anna kembali bertanya, “Edward, kita ini sebenarnya layak gak, sih, untuk merasakan perasaan masing-masing dan mengakuinya?”
Hening terjadi lagi antara keduanya. Anna menghela napas, Edward tak pernah menjawab sesuatu secara spontan. Bahkan untuk pertanyaan sepele sekalipun.
“Anna,” panggilnya sembari mendekat. Anna dapat merasakan punggungnya yang menemui dada Edward.
“Can i hug you?“
“You can, Ed.”
Detik selanjutnya, Anna dapat merasakan hangat dari tubuh Edward. Laki-laki itu memeluknya dari belakang seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher yang lebih muda. Anna memejamkan mata, turut menikmati.
“Saya gak pandai buat mengungkapkan perasaan lewat perkataan. Namun, kamu bisa merasakan lewat apa yang saya lakukan juga bahasa tubuh saya. Saya pun dapat merasakannya lewat apa yang kamu lakukan dan beri, Na.”
Edward melepaskan pelukannya, memutar tubuh Anna perlahan agar dapat membalas tatapannya. Tangan kanan Edward naik, menjadi menghiasi satu sisi wajah Anna.
“Ini bukan lagi tentang perasaan saya atau kamu. Ini sudah tentang perasaan kita.”
Anna hanya ingin mendengar itu.
Bukan berarti dia meragukan Edward. Sejak kehamilannya hingga sekarang dengan segala yang telah Edward lakukan untuknya, tentu Anna dapat menyadari bagaimana perasaan laki-laki itu sekarang.
Tak ada salahnya juga, 'kan, kalau Anna menginginkan sedikit kelebihan? Sebagai istri, Anna berhak mendapat pernyataan seperti itu.
“Thank you,” balas Anna sebelum berjinjit untuk mengecup bibir Edward secara sekilas.
Edward mengangkat kedua alisnya, terkejut. Namun kemudian Anna dapat melihat rona samar di pipinya, hal itu membuatnya tertawa karena gemas. Edward ujungnya ikut tertawa karena malu.
“Kenapa malu? Kita udah lebih dari itu makanya ada Amy.”
Edward menggeleng. “Gak tahu ... saya kaget.”
“Ayo ke kamar, Ed. Ayo istirahat,” ajak Anna diakhiri dengan senyuman tipis. Edward balas tersenyum dan lalu menggenggam tangan istrinya. Mereka pun berjalan ke kamar dengan tangan yang saling bertautan.
Kemudian mereka beristirahat.