edna ; 3

Selepas kepergian Edward ke tempat kerja. Anna mengamati bagaimana ibunya berinteraksi dengan anaknya.

“Cherry bakal ke sini lagi, Ma?”

“Belum tahu. Dia gak ngabarin kamu, Kak?”

Anna menggeleng. “Belum.”

“Biarin aja sedatangnya kalau gitu,” jawab ibunya terkesan tak acuh. Anna terkekeh, ngerasa terhibur dengan tanggapan yang ibunya beri.

“Nah tidur dia. Ini, Kak. Tidurin,” ucap ibunya seraya menyerahkan Amy pada Anna. Perempuan kelahiran Desember itu berdiri dan menurut tanpa kata. Berhubung keduanya kini memang ada di kamar Edward dan Anna.

Anna kembali duduk di sebelah ibunya. Suasana hatinya tiba-tiba berubah. Di hadapan Anna ada mama, seseorang yang selalu membuat Anna berani untuk melihat sisi lemahnya.

Anna malah berlutut di lantai, kemudian ia menidurkan kepalanya dalam pangkuan ibunya. Chyntia, ibunya Anna, hanya tersenyum tipis seraya memberi usapan pada kepala putri sulungnya itu.

“Capek, ya, Kak?”

Anna sama sekali tak memberi balasan.

“Sebagai seorang anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, dulu mama gak pernah berekspetasi akan membesarkan seseorang juga. Mama gak pernah sengaja membayangkan apa saja yang harus mama lakukan kalau mempunyai anak nantinya.”

Chyntia terdiam sebentar. “Mama sempat takut. Terlebih ketika sudah memasuki masa akan melahirkan. Mama takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Namun, mama mencoba menerapkan apa saja yang mama terima dari kakek dan nenek.”

“Mama merasa beruntung karena papa kamu sangat memperhatikan mama, terlebih ketika awal kamu lahir dulu. Dia ikut terjaga saat malam, dia gak keberatan kalau mama gak masak, dia gak keberatan kalau harus memijat mama padahal sama capeknya.”

Anna mendongak. Namun, kini ia malah menumpukan tangannya pada paha ibunya.

“Aku mau kayak mama ... mama ibu yang baik.”

Chyntia menggeleng, sekali lagi tangannya mengusap lembut kepada Anna. “Kamu gak harus menjadi mama, Kak. Kamu memang anaknya mama, tapi bukan berarti kamu harus seperti mama. Mau gimana pun, kita ada di zaman yang berbeda, Kak. Kamu harus bisa menyesuaikan,” ucapnya seraya menyentil pelan hidung mancung putrinya.

“Mungkin akan banyak yang memberi tahu kamu tentang bagaimana harus menjadi seorang ibu, menjadi seorang istri, juga peran-peran lain yang kamu miliki. Kamu harus bisa memilahnya, Kak. Terkadang ada yang mereka nyatakan tapi sebenarnya tak perlu kita pikirkan lama-lama.”

Anna terdiam. Ia merasa tersindir. Padahal ia belum menceritakan soal Catherine yang terus mengganggu pikirannya.

“Bukan hanya menjadi anak yang harus belajar. Menjadi orang tua pun, kita akan belajar selama sisa kehidupan kita. Semua manusia akan tetap dituntut untuk terus belajar seumur hidupnya.”

Tangan Chyntia kini ada di kedua sisi wajah Anna. “Kamu berusaha, 'kan, Kak?”

Anna mengangguk.

“Edward pun demikian, 'kan?”

Sekali lagi, perempuan itu mengangguk.

Perempuan yang telah melahirkannya itu tersenyum hangat. “Kalau begitu, kasih dia kesempatan untuk tahu apa yang mengganggu pikiran kamu, Kak.”


“Ah, tidur ...,” ucap Edward begitu masuk ke kamar. Dia baru pulang setelah kerja setengah hari. Tentunya, ada 'bekal pekerjaan' yang ia bawa ke rumah.

“Amy baru aja tidur,” ucap Anna yang turut masuk ke kamar. Edward menoleh ke asal suara, lalu tersenyum tipis.

“Ah, kalau gitu saya mau mandi dulu.”

Anna terdiam. Keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak berbincang dengan ibunya nyaris lenyap begitu melihat Edward datang dengan peluh di dahinya.

Anna menatap pada suaminya yang kini sedang melepaskan kacamata yang ia kenalan selama bekerja. “Edward,” panggilnya.

“Saya mau bicara sama kamu dulu. Boleh?”

Edward menghela napasnya, lalu mengangguk. Akhirnya.

“Boleh,” ucap Edward sembari mendekat pada Anna. Yang lebih muda mendudukkan dirinya di sofa, suaminya pun turut bergabung setelah itu.

“Kenapa?” tanya Edward dan tak langsung diberi balasan oleh Anna. Edward memilih diam, mengerikan Anna waktu untuk menyiapkan dirinya.

“Saya mau minta maaf karena bersikap aneh akhir-akhir ini. Saya juga terkesan menjauhkan kamu dari Amy, padahal kamu juga perlu untuk melakukan peran kamu sebagai orang tuanya. Maaf ... maafkan saya.”

Anna mendongak, memberanikan dirinya untuk menatap pada Edward. “Sebenarnya saya gak bermaksud untuk bersikap begitu. Tapi apa yang Mama Catherine katakan, ada benarnya juga. Kamu udah capek kerja. Rumah ini harus jadi tempat kamu beristirahat, bukan malah membuat kamu tambah kelelahan.”

“Kamu tahu, Anna? Saya malah merasa lebih lelah kalau harus dijauhkan dari kamu dan Amy. Kalian berdua tanpa sadar sudah menjadi pengisi energi untuk saya.”

Anna terdiam, tatapannya berubah menjadi memelas. “Oleh karena itu, saya minta maaf.”

Edward mengangguk. “Saya juga minta maaf karena sedikit terlambat menyadari peran dia sampai kamu bersikap seperti ini. Saya juga paham, kamu masih sensitif selepas melahirkan.”

“Lain kali, ucapan dia tidak usah didengarkan, ya? Itu hak kamu, sih, tapi kalau mendengarkan lebih baik dipilah dulu. Dia bukan orang yang melahirkan kamu atau saya sampai harus bersikap seolah yang paling paham kita berdua.”

“Kamu udah tahu duluan, ya?” tebak Anna.

“Iya. Maaf, saya gak bisa tenang sebelum tahu kamu kenapa.”

“Gak papa, harusnya saya yang minta maaf. Seharusnya saya cerita soal ini ke kamu. Ah, pantas dia chat saya dan bilang saya ngadu sama kamu. Padahal saya baru cerita hari ini.”

Edward mengusap kepala Anna. “Kalau Evan gak bilang soal sikap dia ke Beby, mungkin saya juga gak akan ngelakuin itu. Setiap dia kirim pesan, bilang ke saya, ya? Setidaknya jika pesan itu kurang mengenakkan untuk kamu.”

Anna mengangguk. Edward meraih tangan Anna untuk ia genggam. Laki-laki itu menepuk pelan telapak tangan istrinya. “Tolong diingat, Anna. Bukan hanya kamu yang menjadi seorang ibu. Saya pun menjadi seorang ayah.”

Edward tersenyum tipis. Menatap Anna penuh keyakinan. “Kita akan terus belajar dalam menjalankan peran ini. Mohon kerja samanya, ya?”

Anna tersenyum dan mengangguk. “Iya.”

Perbincangan mereka diakhirii dengan satu kecupan yang Edward bubuhkan pada kening Anna.