edna ; 4

I brought some biscuits for you,” ucap Rhea dengan ceria. Dia meletakkan kotak yang ia bawa di atas meja, paham kalau Anna tak akan menerimanya secara langsung karena tengah menggendong Amy.

Anna tersenyum canggung. “Thank you ... ah, aku ambilin minum dulu.”

Baru Anna akan berdiri, tapi Rhea sudah menahannya. “Gak perlu, Na. Kasihan bayimu. Aku diizinin masuk ke rumah ini aja udah cukup, kok.”

Anna terdiam untuk beberapa saat. Setelah itu ia berkata, “Edward masih lama pulangnya, Kak.”

“Aku mau ketemu kamu, kok.”

Rhea menatap pada Anna sebelum beralih pada Amy. “What's her name?

Anna ikut menatap pada bayinya sebelum menjawab, “Amy ... Amy Kwon.”

Rhea tersenyum tipis. “Edward yang kasih nama?”

Anna mengangguk. “Apa itu nama yang pernah kalian bicarakan?” ucapnya, sedikit menyindir.

Rhea tertawa. “Calm down, Anna. Pembicaraan kami berdua gak sejauh itu. Edward is yours.”

He is not mine,” ucap Anna seraya menggeleng. Dia kemudian sedikit mengangkat Amy sebagai isyarat pada yang lebih tua. “But, he's ours.

Alright, I understand,” ucap Rhea dengan kedua tangan yang terangkat. Berusaha menunjukkan kalau dirinya sudah menerima itu.

“Jadi, Kak Rhea ke sini mau—ah Baby, you wake up.” Kalimat Anna beralih karena mendengar isakan dari Amy. Isakan yang perlahan menjadi tangisan lumayan kencang.

“Kak, I'm sorry—”

No. It's okay! Tenangin dulu aja,” jawab Rhea mengerti kalau Anna butuh ruang sendiri. Anna tersenyum tipis lalu bangkit dari duduknya. Membawa Amy untuk masuk ke dalam kamar mereka.

Namun, sebelum masuk ke kamarnya. Rhea masih sempat mendengar suara Anna yang berkata, “It's okay ... you can cry, Baby. Mami is always with you.

Perempuan yang akan menginjak usia 30 tahun itu bersandar. Menutup matanya dengan lengan lalu bergumam, “Edward ... you are so lucky to have them.

Cukup lama Rhea diam di sana hingga Anna kembali memunculkan wajahnya. Tidak ada lagi Amy di gendongannya. Yang lebih muda tersenyum canggung lalu berkata, “Kak, ayo ngobrolnya di kamar aja. Aku gak bisa ninggalin Amy sendiri.”

“Ah, boleh?” tanya Rhea, memastikan.

Anna mengangguk. “Di kamar ada sofa juga, kok.”

Okay, ayo,” balas Rhea lalu membuntuti langkah kaki Anna.

Rhea mengamati sekitar. Kamar ini tak ramai oleh barang dan entah kenapa terasa hangat. Dindingnya berwarna wheat, terdapat satu ranjang berukuran cukup besar di sisi ruangan, dan di sisi lainnya terdapat ranjang bayi.

Dinding itu juga berhiaskan berbagai foto yang sengaja dipajang oleh pemiliknya. Mata Rhea langsung terpaku pada foto pernikahan yang lebih besar dibandingkan foto lain, lalu di sebelahnya ada kumpulan perkembangan kehamilan Anna dan perkembangan Amy.

Terdapat satu lemari berwarna cokelat yang tak begitu besar, meja kerja yang Rhea yakini milik Edward, juga sebuah sofa. Sofa yang kini tengah diduduki oleh Rhea bersama dengan pemiliknya.

“Kamar ini ... Edward juga yang atur?” tanya Rhea.

Anna mengangguk. “Dia cuma tanya aku mau warna apa ... terus jadi ini, deh. Tapi buat perabotannya lebih banyak aku yang pilih, sih. Dia cuma bagian nata.”

Rhea mengangguk lalu terkekeh. “Kalian cocok, ya.”

Anna mengerjap, bingung harus membalas apa. Pikirannya kembali didasarkan kalau lawan bicaranya adalah sosok yang berkemungkinan besar menjadi seseorang yang spesial untuk suaminya.

“Jadi, Kak Rhea mau bicarain apa?” Anna mempertanyakaan apa yang tadi tidak sempat ia tanyakan.

Rhea tidak langsung menjawab. Dia meraih tangan Anna untuk digenggam. Yang dipegang, kebingungan kenapa dia tiba-tiba bersikap begitu.

“Kak—”

“Aku tahu mungkin ini gak pantas, tapi aku mau minta maaf sama kamu, Na. Aku bersikap bodoh dengan bicara kayak gitu ke kamu sebelum pulang ke Italia.”

Rhea mengambil jeda, menghindari tatapan mata Anna. “Dulu, aku berekspetasi kalau Edward bakal ngejar aku ke sana, aku pikir Edward ingat kalau dia punya janji sama aku ...dia harus sayang sama aku. Tapi yang aku terima cuma telepon dari dia. Walau dia gak naikin nada suaranya. Aku tahu dia marah sama aku karena bersikap kayak gitu ke kamu, istrinya.”

Anna memilih untuk tak membalas apa pun. Membiarkan Rhea mengungkapkan semuanya hingga selesai.

“Setiap hari aku selalu pantau kalian, Na. Aku nunggu salah satu dari kalian untuk update tapi itu susah. Kamu sekali update lebih sering soal kafe, sementara Edward akunnya kayak gak pernah dibuka sama pemiliknya.”

Rhea mengangkat kepalanya, kembali melihat ke arah foto-foto tadi. Tepatnya, ke berbagai hasil USG yang sengaja Edward dan Anna pasang di sana.

“Aku masih ngeharapin Edward bakal ngehubungin aku sampai aku ngelihat unggahan Evan. Video di mana Edward terharu saat ngelihat hasil USG kamu.”

Anna secara otomatis teringat pada momen yang Rhea sebutkan. Di mana ia pertama kali melakukan USG dan Edward menjadi antusias sepanjang hari. Namun, ketika sudah melihat laki-laki itu malah menjadi lemas karena terharu sampai ditertawakan oleh saudara kembarnya sendiri.

“Harusnya aku sadar dari awal tahu kalian menikah. Tapi aku malah sadar pas ngelihat itu, aku kayak ditampar habis-habisan. Edward bahagia sama kamu, dia butuh kehadiran kamu. Edward gak pernah sekalipun menganggap aku lebih dari kakak.”

Rhea kembali menatap pada Anna. “Aku minta maaf, Na. Aku ... bersikap kayak gitu ke kamu. Aku gak keberatan kalau kamu gak mau maafin aku. Tapi, aku bisa pastiin kalau aku bisa lebih lega ngelanjutin hidup kalau kamu terima permintaan maafku.”

Anna terdiam, menatap Rhea dengan lekat. Berusaha mencari kejujuran dari apa yang ditampilkan perempuan itu.

Paham kalau Anna tak akan bisa langsung menjawab. Rhea kini mengeluarkan sesuatu dari tas yang tak ia lepaskan sejak tadi.

“Ini undangan ... pernikahanku,” ucap Rhea sembari meletakkan itu di atas tangan Anna. “Bukti juga kalau aku udah berdamai sama sisi diriku yang ngeharapin Edward.”

“Kak, you really surprised me today,” ucap Anna setelah sedari tadi diam.

Rhea terkekeh. “Aku paling tua, Na. Tapi adik-adikku malah udah punya anak duluan, bahkan Mikhael yang dulu sukanya jadi ekor aja udah punya pacar. Aku sadar kalau percuma aku ngeharapin salah satu dari mereka yang udah bahagia sama keluarganya. Cuma bikin aku tersiksa dan jadi orang jahat.”

“Kak, congratulations.”

“Pernikahannya belum, Na.”

“Aku ngucapin selamat karena Kak Rhea udah berhasil berdamai sama semua itu dan berani ambil langkah baru,” ucap Anna diakhiri senyuman yang manis.

Tangan Anna bergerak, menyentuh pundak yang lebih tua. “Edward bilang ke aku gimana kakak hibur mereka di awal perceraian. Kak Rhea juga jaga Edward ketika dia merasa gak nyaman sama rumahnya sendiri. Makasih banyak karena udah jaga suamiku dan saudaranya, Kak.”

Rhea tersenyum, air mata yang sedari tadi berusaha untuk tak ia keluarkan pada akhirnya gagal ia tahan. Rhea memeluk Anna, tentu Anna membalasnya walau tak seerat yang memulai.

You are very kind, Anna. Edward is lucky to have you.

Anna menggeleng. “No ... I'm the lucky one.”

You're both lucky then.

Rhea melepaskan pelukannya dari Anna. Dia memegang pundak Anna. “Jaga Edward—ah bukan. Jaga keluargamu dengan baik, ya, Na.”

Anna mengangguk. “I will.

Rhea tersenyum tipis. “Acaranya masih lama, tapi aku mengerti kalau kalian mungkin gak akan datang karena pernikahannya ditempat kelahiran calon suamiku, Jerman. Aku ada di sini sekitar semingguan, so tell Edward to give me the wedding gifts early.

Anna mengangguk. “Aku juga bakal kasih.”

Thank you so much, Anna.” Sekali lagi, yang lebih tua menarik Anna untuk masuk ke dalam pelukannya.

Please be happy, Kak. Jangan terlalu pikirin Edward. He's safe with me.

Itu adalah kalimat yang Anna bisikan tepat di telinga Rhea.