edna ; 6.
Anna meletakkan ponselnya di atas laci ketika telepon mereka sudah tersambung. Perempuan itu menyalakan loudspeaker terlebih dahulu. Ia tengah menggendong Amy, tak benar kalau sambil memainkan ponselnya.
“Amy rewel?” tanya Edward. Anna mengangguk meski Edward tak akan melihatnya.
“Iya, dia tadi sempet tidur. Tapi tadi kebangun dan langsung kayak gini lagi.”
Edward terdiam cukup lama dan Anna dapat menangkap kalau suaminya itu pasti merasa bersalah. Namun, bukan saatnya untuk Anna menenangkan Edward. Amy lebih penting sekarang.
“Amy, sayang. Mami gak larang kamu buat nangis, tapi ini udah terlalu lama. It can hurt you,” ucap Anna lagi. Namun, Amy tetap mengeluarkan tangisannya. Memanggil ibunya pun, Anna merasa sungkan. Ini sudah memasuki jam tidur ibunya.
“Ed, can you say something? Mungkin kalau denger suara kamu Amy bakal tenang.”
“Adek,” panggil Edward. Amy sempat terdiam, dia seperti mencari dari mana suara itu berasal. Ketika ia tak kunjung menemukan keberadaan ayahnya, Amy kembali menangis.
“Mami pasti capek hari ini, Dek. Kamu juga pasti capek nangis. Udahan dulu, yuk? Papi minta maaf karena pas kamu sedih, papi gak bisa dateng.”
Sejujurnya, Anna lumayan terhibur dengan perkataan Edward itu. Namun, ia paham betul kalau ini bukan saatnya tertawa.
Tangan Anna kembali memberi tepukan pada tubuh Amy dengan pelan. Namun, anaknya itu tak kunjung ingin menyelesaikan tangisannya.
Pintu kamar Anna terbuka. Ada ibunya yang masuk ke sana.
“Mama, maaf ... pasti Mama kebangun gara-gara Amy nangis.”
Ibunya menggeleng. “Mama belum tidur, kok. Udah telepon Edward?”
Anna mengangguk, dia menunjuk ke arah ponsel dengan dagunya. Memberi kode kalau sambungan teleponnya masih tersambung.
“Tadi Amy kayak nyariin Edward, Ma.”
Yang lebih tua menghela napasnya. “Edward gak bawa semua bajunya, 'kan?”
Anna menggeleng. Edward hanya tiga hari di sana, ia tak membutuhkan banyak baju untuk dipakai. Terlebih dia kerja, bukan liburan.
“Mama ambil satu buat Amy boleh, 'kan, Kak?”
Meskipun bingung, Anna tetap mengangguk. Dia membiarkan ibunya membuka lemari mereka untuk mengambil satu kaos milik Edward. Kaos hitam dengan gambar harimau di dadanya, pakaian yang lumayan sering suaminya itu gunakan.
“Sekarang selimutin Amy pakai ini,” ucap ibunya seraya menyerahkan benda itu pada Anna.
“Pakai ini?”
“Iya. Dicoba aja, ya, Kak. Dulu kamu juga pernah mama giniin.”
Anna menurut, dia menjadikan kaos Edward sebagai selimut untuk Amy. Perempuan itu mengerjap ketika Amy perlahan menjadi tenang dan kepalanya bergerak tanda ingin menyusu. Anna dengan cepat menanggapi itu dengan membuka kancing piyamanya.
Anna menatap ibunya tak menyangka. “Ma ....”
Yang dipanggil tersenyum tipis. “Syukurlah, ternyata ke Amy juga manjur. Kalau gitu mama ke kamar lagi, ya? Kamu juga, sesudah Amy tidur harus istirahat.”
Mungkin ibunya itu memang sudah mengantuk. Namun, suara tangisan Amy tentu mengganggu.
Ketika ibunya sudah pergi dan keadaan menjadi hening. Edward kembali bersuara di kala Anna nyaris lupa kalau mereka tengah tersambung lewat telepon.
“Amy beneran tidur cuma karena baju saya?”
“Iya ... saya speechless. Tapi, Ed, aku mau tidurin Amy dulu. Kamu kalau mau matiin teleponnya, matiin dulu aja.”
“Iya, tapi, Na ....”
“Kenapa, Ed?”
“Kayaknya sekarang malah saya yang rewel mau cepet pulang, deh. Amy bisa tenang cuma dengan baju saya—Ya Tuhan, mau nangis.”
Di dalam kamar mereka, Anna kehabisan kata-kata. Di kamar hotelnya, Edward benar-benar menitikkan air mata.