ednamy – 1

Sewaktu pulang ke rumah, Edward cuma disambut sama Anna. Gak ada Amy kayak biasanya.

“Adek mana?” tanyanya sambil melepaskan jaketnya.

“Belum buka grup, ya? Amy ada kerja kelompok,” jawab Anna, membuat Edward langsung menyalakan ponselnya.

“Lupa nyalain data,” ucapnya, “tapi, masa belum pulang semalam ini?”

“Dia belum bales lagi ke aku. Ke kamu ada ngabarin gak? Siapa tahu minta jemput.”

“Gak ada, Anna.”

Baiklah, Anna paham bagaimana isi hati Edward sekarang. Perempuan itu harus berusaha untuk tak semakin memperburuk suasana hati suaminya.

“Ke Michael mungkin, Ed?”

“Adek kerkom di mana? Bilang gak ke kamu?” Bukannya menjawab, Edward malah mengajukan pertanyaan baru.

Jaket yang semula sudah menggantung di lengannya, kini Edward pakai lagi.

Anna menggeleng. “Dia cuma bilang di tempat biasa. Kamu tahu? Mau ke sana?”

“Iya.”

Anna menahan lengannya. “Tunggu sebentar lagi, Amy gak mungkin gak ngabarin kita, Ed. Mungkin dia masih ngerjain tugasnya.”

“Gak papa, aku tungguin nanti.”

“Aku ikut kalau gitu.”

Anna mengikuti langkah suaminya yang terburu-buru. Edward tidak dalam suasana hati yang baik. Walau ia tahu laki-laki itu pasti akan mengendalikan dirinya di hadapan Amy nanti.

Itu tak menghilangkan kemungkinan Edward akan mengucapkan hal yang bisa saja menyakiti anak mereka.

Anna paham dan Anna pernah menghadapi bagaimana Edward kalau benar-benar marah. Hal itu ada di urutan paling atas hal yang paling dihindari oleh Anna.

Belum sempat Edward memasuki mobilnya, langkah keduanya berhenti di ambang pintu. Ada motor asing yang berhenti di depan pagar rumah mereka.

Anna melirik Edward, untuk melihat reaksi seperti apa yang dikeluarkan oleh suaminya itu.

Salah satu dari penumpang motor itu turun, dan membuka helmnya. Detik itu juga mereka semakin diyakinkan dengan siapa yang berhenti di depan rumah mereka.

Itu Amy, dengan salah satu temannya.

Mungkin.

Anna tahu laki-laki itu, begitu pula dengan Edward. Keduanya hafal karena beberapa kali dalam pertemuan orang tua di sekolah mereka berinteraksi. Belum lagi, rumah yang sering dijadikan tempat kerja kelompok adalah rumahnya.

Amy tersenyum ke arah temannya itu. Dia diam di depan pagar sampai motornya menghilang dari pandangan.

Begitu berbalik dan melihat ekspresi orang tuanya, senyuman Amy luntur seketika.

Amy mendekat dengan langkah yang ragu. Dari sana, Anna sadar ia harus segera mencairkan suasana.

Perempuan itu tersenyum. “Amy sayang, akhirnya kamu pulang. Kenapa gak ngabarin dulu?”

“Maaf,” ucap Amy pelan, “HP Amy baterainya abis. Terus mau pinjem yang temen-temen tapi Amy gak hafal sama kontak kalian.”

Anna mendekat pada Amy, merangkul anaknya itu. “Ya sudah, untung ada yang nganterin. Masuk dulu, yuk, pasti capek. Kita juga belum makan malam soalnya kalian sama-sama pulang telat.”

Di sisi lain, Edward sudah membalikkan badannya, mendahului kedua perempuan yang ia sayangi tanpa mengatakan apa-apa.

“Mami,” panggil Amy ketika punggung Edward semakin menjauh dari keduanya.

“Kenapa?”

“Papi marah, ya?”

Anna terdiam, tak bisa memastikan. Namun, tak lama kemudian ia menggeleng.

“Enggak, kok. Tadi papi cerita, klien barunya agak ribet. Papi lagi capek, Dek,” jawab Anna, mencari aman.

Ia tidak ingin Amy berpikiran buruk. Anna juga yakin kalau Edward tak akan semarah itu, suaminya hanya perlu waktu untuk berpikir sendiri.

“Ganti baju dulu sana, habis itu kita makan, ya. Mami mau angetin dulu,” ucap Anna.

“Mami, maaf. Makanannya jadi dingin, terus mami juga pasti belum makan gara-gara aku telat dan gak ngabarin.”

Anna mengusap pucuk kepala anaknya. “Gak papa, tapi mami bisa marah loh kalau kamu gak makan. Jadi, cepet ganti baju dulu sama cuci muka. Kita makan, ya.”

“Papi juga makan, 'kan?” tanya Amy, Lagi-lagi membuat Anna terdiam.

“Nanti mami juga ajak papi kok,” jawab Anna kemudian.

“Okay, makasih banyak, Mami,” balas Amy. Ia mengecup pipi ibunya terlebih dahulu sebelum menuruti apa yang dari tadi sudah diperintahkan oleh Anna.

Setelah melihat Amy masuk ke kamarnya, Anna menghela napas. Ia kemudian berjalan menuju ke arah kamar dirinya dan Edward.

Mereka perlu berbicara.


Amy keluar dari kamar setelah selesai berganti pakaian dan merapihkan rambutnya. Perasaannya sedikit lebih lega setelah mendengar jawaban Anna untuk semua pertanyaannya tadi.

Mereka bisa makan malam seperti biasanya. Itu membuat Amy tersenyum. Ia berharap itu akan terjadi.

Namun, begitu sampai di dapur, wajah antusias Amy menghilang. Ia hanya melihat Anna yang masih menghangatkan makanan.

Menyadari kedatangan anaknya. Anna mengukir senyum.

“Papi kecapekan kayaknya, Dek. Malam ini kita makan berdua dulu aja, ya?”

Amy mengangguk. Mami sudah menyiapkan makan malam, ia tak ingin perempuan itu merasa kecewa akibat dirinya yang tak mu makan.

Keduanya makan malam dalam diam.

“Mami, papi marah, ya?” tanya Amy ketika keduanya sudah menyelesaikan makanan masing-masing.

Anna menggeleng sembari tersenyum tipis. “Enggak kok. Lain kali jangan ngilang kayak tadi, ya? Kamu bisa kabari kami lewat temen kamu. Tadi, papi belum berangkat nyusulin kamu. Kalau udah, pasti papi nyari-nyari kamu sampe tengah malem.”

Kalimat panjang Anna itu ia akhiri dengan usapan lembut di kepala anaknya. Perempuan itu tersenyum tipis.

“Amy tahu, 'kan, kalau kami sayang sama kamu?”

Amy mengangguk.

“Papi bukan marah, mungkin cuma sedih. Tapi gak papa, besok pasti papi udah ketawa lagi. Sekarang, cuci muka, tangan, sama kaki. Terus istirahat, ya, sayang?”

“Mami, aku bantu cuci piring, ya. Please?

Anna mengangguk. “Boleh, mami beresin meja kalau gitu, ya.”

Besoknya, apa yang Anna katakan benar adanya. Begitu Amy keluar dari kamar, Edward sudah ada di meja makan dengan secangkir kopi. Anna di sebelahnya sedang mengolesi roti dengan selai coklat.

Mereka tampak mengobrol seperti biasa. Amy seperti merasakaan sebuah kelegaan ketika melihat ayahnya tersenyum seperti biasa.

“Sini, Dek,” ucap Anna selaku yang pertama melihat Amy. Edward menoleh ke arahnya dan tersenyum.

“Papi, aku minta maaf yang semalam. Papi pasti marah, 'kan, sama aku?”

Edward tertawa kecil dan menggeleng. “Gak kok, gak marah. Papi keburu bad mood aja. Maaf, ya, Dek?”

“Ih kok jadi sama-sama minta maaf, sih, Papi?!“

Mendengar itu gelak tawa Edward kembali terdengar. Laki-laki itu merentangkan tangannya dan berkata, “Ya udah sini, peluk aja papinya.”

Amy menurut. Langsung memeluk ayahnya dan mendapat usapan di kepalanya. Anna hanya mengamati itu sambil tersenyum.

“Aku janji, Papi. Gak akan kayak semalem lagi, aku bakal jarang mainin HP-nya kalau di sekolah biar gak habis batrai lagi.”

“Gak usah janji, ya, Dek. Usahain aja. 'Kan, kasihan sama mami, udah masak tapi kamu gak ngabarin kalau pulang telat.”

Amy mengangguk. “Aku udah minta maaf sama mami. Papi juga harus minta maaf, loh, soalnya papi gak makan semalem.”

“Kata siapa papi gak makan? Papi makan tahu, pas kalian udah tidur.”

“Udah, yuk. Sarapan dulu, biar sekolah sama kerjanya semangat,” ucap Anna menghentikan obrolan antar ayah dan anak yang berkemungkinan tak berujung itu.

“Oke, mami! Makasih udah disiapin.”


“Adek udah mulai gak butuh aku. Dia sebentar lagi pergi.”

“Kamu ngomong apa, sih? Gak akan, Amy gak akan pergi dari kita. Dia udah cerita kalau baterai HP-nya habis. “

“Anna, aku tahu adek bakal terus tumbuh dan suatu saat nanti rumah ini gak akan jadi tempat dia pulang lagi. Tapi, rasanya aku gak mau itu terjadi.”

“Cepat atau lambat, memang nanti rumah gak bakal jadi tempat Amy pulang. Tapi, kita tetap akan jadi tempat dia bersandar, Ed.”

Hening.

“Edward, Amy selalu bilang kalau kamu adalah pelindung kami. Sejauh apa pun Amy pergi, dia gak akan pernah benar-benar lepas dari kita karena kita orang tuanya. Kamu bakal selalu jadi pelindung utama dia, dan aku bakal selalu jadi pendengarnya. Ingat itu, ya?”

Dia mengangguk.

“Amy sedih tadi kamu gak nyapa dia, tahu.”

“Maaf,” ucapnya, “aku gak ikut makan, ya? Mau nenangin pikiran aku dulu. Maaf, padahal kamu udah masak.”

“Gak papa, tapi besok pagi harus sarapan bareng lagi, oke, Papi?”

“Oke, Mami.”


Maaf kalau ada typo 🙏.