ednamy ; adik.
Terakhir kali Amy melihat Edward marah itu saat ia pulang terlambat selepas kerja kelompok dan itu tanpa memberi kabar karena ponselnya mati. Sekarang, Amy mengulanginya lagi. Bedanya, dia melakukan ini secara sengaja.
Kemarahan Edward adalah hal yang paling Amy dan Anna hindari. Bukan karena Edward membentak atau apa, tapi laki-laki itu akan diam seribu bahasa dan tak keluar dari kamar.
Amy pikir, akibat ulahnya kali ini, ayahnya akan seperti itu. Namun, ia mendapati Edward duduk bersama mereka walau enggan menatapnya. Suasana di meja makan itu sangat canggung.
Anna yang murung, Edward yang marah, dan Amy yang merasa bersalah. Untuk pertama kalinya ia bertingkah seperti ini dan perasaannya sangat tidak menentu sekarang.
Anna menatap anak dan suaminya bergantian sebelum menghembuskan napas. Tangannya bergerak untuk menyentuh tangan Edward, lalu berkata, “Ed, mau martabak.”
Edward mengernyit. “Martabak? Kamu, ‘kan, gak boleh—“
“Saya janji cuma makan sedikit,” potong Anna sambil memberi tatapan memohon pada suaminya. “Please?”
“Okay … mau rasa apa?”
“Mau yang matcha, yang martabaknya hijau itu, loh.”
“Kamu gak suka matcha. Kita semua gak suka matcha.”
“Tapi saya lagi mau itu, pake keju sama susu di atasnya.”
Edward menghela napasnya. “Saya beli dulu, piringnya disimpan aja. Nanti saya yang cuci.”
Anna mengangguk, memilih untuk menurut yang penting suaminya itu lekas pergi. Sementara itu, Amy tengah memainkan sendoknya dengan gusar.
Setelah Edward pergi, baru lah Amy berani berbicara.
“Ma-mami, biar aku aja yang cuci piringnya.”
Tanpa menunggu balasan, anak itu sudah mengumpulkan bekas makan mereka dan mendekat pada wastafel. Anna juga memilih untuk tidak membalas.
“Kamu tadi ke mana?” tanya Anna dengan pelan. Yang lebih tua bertanya seperti biasa, tapi Amy sudah merasa terintimidasi.
“A-aku nyoba es krim. Sama te-temen yang biasa, Richard, Josie, dan yang lain.”
“Kenapa gak kasih kabar dulu?”
Amy menggigiti bibir bawahnya gugup. Ia tak terbiasa untuk berbohong.
“Ma-maaf, Mami. A-aku—“
“Sst, gak papa. Mami paham, kok, gak usah cari alasan yang gak sesuai dengan kenyataannya.”
“Amy, ikut mami ke kamar, yuk? Kita bicara berdua, mumpung papi lagi di luar. Biar dia nenangin dirinya sendiri dulu.”
Amy belum berani membuka suara ketika kakinya sudah memasuki kamar kedua orang tuanya. Anna mengelus pucuk kepala Amy yang kini tingginya sudah sedikit melebihi ya. Ia kemudian menuntun Amy untuk duduk di hadapannya cermin.
Sisi kamar mereka yang satu ini memiliki arti tersendiri untuk Edward dan Anna. Di sekitar cermin yang biasa mereka gunakan saat bersiap, ada banyak foto tentang perjalanan keduanya.
Mulai dari saat pernikahan, foto-foto USG Amy, hingga foto mereka bertiga saat Amy sudah sebesar sekarang.
Kedua tangan Anna ada di pundak Amy. “Dari dulu, semuanya selalu untuk kamu, Amy. Semua foto ini sengaja dipasang di sini sebagai pengingat untuk papi sama mami supaya gak menyerah. Baik untuk diri masing-masing atau satu sama lain.”
Sebelah tangan Anna berpindah, sekali lagi bergerak untuk mengusap pucuk kepala Amy. “Papi selalu bilang ke mami kalau kamu adalah hal paling menakjubkan yang pernah dia dapat seumur hidup. Mami juga merasa demikian. Amy terlalu luar biasa dan kami tentu harus jaga kamu dengan baik.”
Amy masih diam. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar itu dari kedua orang tuanya. Namun, perasaan hangat yang timbul tetap sama.
“Sebelum papi kerja, dia bakal diam di sini. Buat rapihin penampilannya dan lihat semua foto yang ada di sini. Mami juga akan melakukan hal yang sama kalau harus pergi ke kafe. Foto-foto ini—kamu adalah motivasi kami berdua.”
“Amy akan selalu menjadi segalanya untuk kami.”
Amy menunduk, bahunya bergetar. Anna sadar kalau putrinya menangis, dia membiarkan hal itu. Namun, tangannya tak berhenti memberi elusan.
“Ma-mami a-aku—hiks … aku minta maaf ma-malah—hiks … jadi anak nakal.”
“Sst, jangan bicara dulu,” ucap Anna sambil memutar kursi yang diduduki anaknya agar menghadap dirinya. Amy langsung memeluk perut ibunya.
“Gak papa, Amy boleh nangis. Tapi jangan lama-lama, ya? Nanti dadanya sakit.”
Anna membiarkan Amy mengeluarkan emosinya. Cukup lama ketika Amy sudah mulai tenang, pintu kamar itu terbuka disusul dengan kepala Edward yang muncul dari sana. Anna mengisyaratkan pada suaminya itu untuk tidak langsung berbicara saat masuk. Edward mengangguk paham dan melangkahkan kakinya ke dalam lalu duduk di atas tempat tidur.
Amy mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tersembunyi di perut sang ibu. Ia kemudian sadar kalau Edward sudah ada di sana.
Napasnya masih memburu dan ia sadar tidak akan berucap dengan benar saat kondisinya masih seperti ini.
“Pa-papi, Mami, maafin aku. Aku bandel banget hari ini … aku minta maaf.”
Anna tak langsung membalas, dia mengusap jejak air mata yang ada di pipi putrinya.
“Kenapa tadi kamu gak ngabarin dulu?” tanya Edward.
“A-aku mau menghindar, t-tapi tetap kepikiran. Aku gak rela kalau harus berbagi papi sama mami nantinya. Aku juga khawatir sama kondisi mami, tapi aku gak bisa berbuat apa-apa. Aku … aku takut kalau nantinya adik malah buat mami pergi.”
Anna dan Edward saling berpandangan untuk beberapa detik. Anna kembali menunduk guna melihat wajah anaknya. Kedua tangannya membingkai sisi wajah Amy.
“Kata siapa Amy gak bisa apa-apa? ‘Kan, papi udah nawarin kamu buat bantu jaga mami?”
Amy menatap pada ayahnya dengan mata yang masih memelas. “Aku pasti jaga mami, tapi aku tetep takut.”
“Sayang,” panggil Anna, perempuan itu mengukir senyuman tipis. “Kamu mau mami baik-baik aja, ‘kan?”
Amy mengangguk.
“Kalau gitu, kamu harus percaya mami bakal baik-baik aja.”
Amy menatap kedua orang tuanya bergantian. “Papi sama mami seneng ada adik?”
Edward dan Anna kompak mengangguk.
“Ya-ya udah, aku bisa apa selain terima kalau gitu—hiks.”
“Loh, kok, malah nangis lagi? Cup … cup, kesayangan mami.”
Sekali lagi, Edward dan Anna tak meminta Amy untuk menghentikan tangisnya. Mereka tetap diam hingga Amy kembali tenang lagi.
Edward mengusap pucuk kepala anaknya. “Makasih banyak udah mau nerima. Pelan-pelan aja, gak papa. Kami gak akan paksa Amy supaya cepat terima.”
Amy mengangguk tanpa suara, dia mengusap wajahnya yang basah. “A-aku hari ini udah bandel, cengeng lagi. Jelek banget.”
“Mana ada anak mami jelek. Mami sama papi juga minta maaf, ya, karena mendadak kasih tahunya.”
Amy menatap keduanya heran. “Y-ya, pasti yang gitu mendadak, ‘kan ….”
“Maksudnya gak ngasih tahu kamu dari awal gejalanya muncul, sayang. Sebenarnya … papi sama mami juga ngerencanain ini.”
Amy tak membalas soal itu, dia tak ingin rasa kesalnya kembali muncul. Jadi, ia hanya mengangguk dan membiarkan Anna mengusap dirinya.
“Mau lihat foto adik gak, Dek?” tawar Edward.
“Kakak.”
“Eh?”
“Kan, udah ada adik bayi. Masa aku masih dipanggil adek, sih?”