ednamy ; before 20 bagian 1.

Zoa as Amy. Hoshi as Edward/Papi

Amy buru-buru turun ketika bis berhenti di halte yang dekat dengan perumahan di mana mereka tinggal. Sebelum turun, anak itu sempat berkata, “Terima kasih banyak sudah antar saya kemari, Pak,” pada pak supir.

“Sama-sama. Hati-hati, ya, Nak.”

Amy tersenyum sebelum benar-benar turun. Perempuan itu tak bisa melunturkan senyumannya, merasa senang karena bisa turun di tempat yang tepat.

Hal sederhana seperti ini saja sudah bisa membuat senyumnya betah tampil di wajah.

Amy berjalan santai untuk menuju ke rumahnya. Perempuan itu masih bertahan dengan rasa senangnya hingga tak menyadari kalau ada sesuatu yang berbeda dengan perumahan tempatnya tinggal.

Begitu sampai di depan rumah dan mencoba membuka pintu, dahi Amy mengernyit. Pintunya terkunci dan ia langsung meraba saku jaketnya untuk mencari kunci cadangan.

Masing-masing dari mereka mempunyai satu kunci rumah.

Gerakan tangan Amy berhenti begitu sadar bahwa cat rumahnya sudah berbeda. Perempuan itu mengambil dua langkah mundur, memperhatikan dengan seksama rumah dengan cat berwarna abu-abu itu. Padahal sebelumnya berwarna biru langit.

“Eh? Rumah dicat pas aku sekolah? Tapi mereka gak bilang apa-apa ....” gumam Amy.

“Ini memang masih bau cat, tapi gak semenyengat itu. Hmm ....”

Amy menggeleng kecil, ia akan mendapatkan jawabannya nanti ketika Papi atau Mami datang. Sekarang ia ingin cepat masuk dan beristirahat sejenak.

Amy masuk dan tampilan dalam rumahnya kembali membuat ia mengernyit. Belum banyak barang di sana, rumah juga terasa dingin.

Amy kembali keluar untuk melihat nomor rumah yang tertera. Takutnya, ia salah masuk rumah. Namun pada kenyatannya, Amy masuk ke rumah yang benar.

Rumah Amy dan kedua orang tuanya yang ia tempati sejak lahir ke dunia.

“Ini ada renovasi atau gimana ... mami ke mana sih?”

Amy mengeluarkan ponselnya. Namun, benda itu tak mau menyala. Amy berjalan menuju kamarnya dan tak ada satu pun barang di sana.

Mata Amy membuat. “Barang-barang aku mana? Astaga.”

Amy berjalan panik. Membuka tiga kamar lain, dan hasilnya pun sama. Hanya ruang tengah yang berisi barang, itu pun hanya sofa, meja, dan laci.

Mata Amy tanpa sengaja mendapati kalender yang tertempel di tembok. Harusnya ada foto keluarga mereka di sana, perempuan itu berjalan mendekati kalender dan mulutnya otomatis terbuka lebar begitu melihat tahun yang tertera di sana.

“Ini 20 tahun yang lalu ... aku bahkan belum lahir. Ini papi sama mami mau ngerjain aku, ya? Tapi masa seniat ini.” Lagi-lagi, ia bermonolog.

Begitu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Amy secara refleks menoleh ke asal suara.

Di sana ada Edward yang menampilkan raut terkejut. Ada yang berbeda dengan penampilan ayahnya itu. Dia tampak lebih muda dan tak memiliki aura segarang yang Amy biasa lihat.

“Papi, syukurlah! Rumah kita jadi aneh tau, Pi. Barang-barang yang ada di kamar gak ada, terus papi tahu mami kemana gak?”

Edward tidak langsung menjawab. Laki-laki itu terlihat terkejut setelah mendengar panggilan yang Amy tunjukkan padanya.

Dia memandang sekitar sebelum menunjuk dirinya sendiri. Katanya, “Yang kamu sebut papi itu saya?”

Amy mengerjapkan matanya beberapa kali. “Iyalah. 'Kan, papi aku Edward Kwon, orang yang ada di depan aku sekarang.”

Edward menatap Amy sedikit ngeri. “Tapi saya masih 21 tahun, belum menikah apalagi punya anak sebesar kamu. Kamu ini sebenarnya siapa dan kenapa bisa masuk ke rumah saya?”

Amy melotot.

Mami, Papi, aku gak mungkin ke masa lalu, 'kan?