Ednamy; Cerita Edward, Anna-1.

Kwon Soonyoung as Edward. Minatozaki Sana as Anna. Lee Chan as Mikhael.

Tags: Arranged married, implicit sexual content


Ada sebuah pertemuan yang dipaksa terjadi berujung hidup bersama. Jika boleh mengeluh, Anna sebenarnya tak begitu nyaman dengan hal ini.

Kata ibunya, “Anna tolong terima, ya? Ibu yakin, Anna bisa pulih sama dia.”

Anna sedang dalam fase tidak nyaman menjalin hubungan dengan seseorang, bahkan ketika berkerja pun ia membutuhkan tenaga lebih untuk menuntaskan. Memaksa profesionalitasnya untuk tetap terangkat tinggi meski kakinya meminta untuk jatuh.

Namun, apa yang orang tuanya rencanakan seharusnya tak membuat Anna merasa berat untuk menolak.

Seharusnya.

“Kami sudah tua, Anna. Kami tidak tahu berapa lama lagi kami bisa mendampingi dan menjaga kamu. Setidaknya, kami akan merasa lebih tenang karena menyaksikan pernikahan kamu dan melihat kamu memiliki penjaga yang baru.”

Andai saja ibunya tidak berkata itu, mungkin Anna tak akan satu meja dengan laki-laki berambut pirang di hadapannya sekarang.

Anna melirik sekilas sebelum kembali fokus pada makanannya. Belum ada obrolan di antara keduanya, tadi laki-laki itu hanya bertanya Anna suka makan di mana. Lalu, di sinilah mereka sekarang.

“Anna,” panggilnya, “can i have your number?

Anna menegakkan duduknya, sendok yang semula ia pegang pun dilepaskan.

“Buat apa, Edward?”

Edward, namanya.

“Kita akan menikah. Apakah mempunyai kontak satu sama lain adalah hal yang aneh?”

Anna mendengus. “Nanti di mobil aja. Biarin saya makan dulu.”

Edward tersenyum. “Baiklah, enjoy your meal, Anna.”

Keduanya kembali diam tanpa menikmati kebersamaan.

“Langsung simpan saja,” ucap Edward seraya menyerahkan ponselnya pada Anna. Setelah itu, dia menyalakan mesin mobilnya. Tak mempermasalahkan sama sekali dengan ponselnya yang dipegang oleh Anna.

Anna tanpa kata mengetikkan nomornya. Setelah menyimpan kontaknya, perempuan itu secara spontan mengembalikan pada layar utama. Namun, matanya terpaku begitu sadar bahwa wallpaper yang dipasang Edward adalah seorang perempuan.

Anna tak bisa melihat wajahnya karena foto itu diambil dari belakang.

Mata Edward memicing secara sekilas. “Itu mama saya,” ucapnya kemudian.

“Ah, iya,” ucap Anna dengan canggung.

Anna memutuskan untuk memegang ponsel Edward karena pemiliknya masih fokus menyetir. Perempuan itu memandang ke luar, ini baru pertemuan pertama, tapi napasnya terasa berat dalam menjalankan ini.

Apakah Edward juga sama?

Mata Anna kembali melihat ke arah Edward. Laki-laki itu tampak biasa saja. Sedari tadi pun, Anna tak menemukan emosi tertentu dalam raut wajah Edward. Dia seperti robot yang terprogram tanpa perasaan jelas.

“Edward,” panggilnya, “kamu beneran nerima hubungan ini?”

Edward tersenyum, hanya itu reaksi yang ia keluarkan. Sisa perjalanan keduanya diisi oleh keheningan karena pertanyaan Anna dibiarkan menggantung tanpa kepastian yang bisa diharapkan.


Anna bisa terlibat obrolan panjang dengan Edward setelah keduanya menjalankan fitting baju terakhir.

Seminggu sebelum pernikahan, dan mereka baru bisa berdiskusi.

“Saya libur di hari sabtu dan minggu, tapi itu tak mengurangi kemungkinan saya akan bekerja di rumah. Namun, jika ingin menghabiskan waktu bersama, kamu bisa bilang. Maka saya tidak akan bekerja.”

Anna mengangguk paham. Itu adalah jawaban Edward ketika Anna bertanya bagaimana nanti mereka akan menghabiskan waktu bersama.

Meski tidak tahu secara detail. Anna yakin sebagai arsitek, Edward perlu banyak membagi waktunya.

“Saya masih boleh bekerja, 'kan?”

Edward mengangguk. “Boleh. Mama kamu bilang kalau kamu ingin mempunyai kafe sendiri. Saya akan mendukung itu juga kalau kamu mau mewujudkannya.”

Anna terdiam. Kenapa Edward terasa mendukungnya dengan mudah? Ini bahkan jauh lebih mudah dibandingkan dengan kedua orang tuanya.

Mereka menyuruh Anna untuk berhenti bekerja.

“Ed, how about sex?

Kali ini Edward terdiam. Laki-laki itu menatap kosong pada gelasnya. Anna mengamati perubahan ekspresi yang lebih tua.

“Ah, kamu gak nyaman sama pertanyaannya, ya?”

Edward dengan cepat menggeleng. “Enggak, saya hanya sedang berpikir.”

Mata keduanya bertemu. “Kita bisa biarkan itu mengalir, Na,” ucap Edward tenang dan Anna sekali lagi mengangguk.

“Soal anak, apakah kamu menginginkannya?” Kali ini, Edward yang bertanya.

“Sebenarnya, kalau boleh saya ingin menundanya dulu,” ucap Anna, “ada yang bilang anak itu bukti cinta, 'kan. I think we can't have children if we don't love each other.”

“Saya cuma gak mau nantinya anak itu gak mendapat kasih sayang yang seharusnya karena kitanya aja gak saling menyayangi,“ sambung Anna sambil menatap Edward dengan lekat.

“Baiklah, saya paham. Let's just enjoy our step slowly, Na.”

dan Anna merasa aman.


Dua minggu tinggal bersama setelah pernikahan, belum ada perubahan besar yang terjadi. Mereka selayaknya dua orang asing yang berbagi rumah untuk mengurangi biaya hidup.

“Kak Anna, aku taruh di sini, ya,” ucap Mikhael, sepupunya Edward. Laki-laki itu diminta untuk menemani Anna belanja karena Edward yang tiba-tiba dihubungi oleh seorang klien.

Padahal hari ini hari Sabtu. Namun, melihat wajah frustasi Edward tadi, akhirnya Anna hanya bisa menyetujui ketika Edward menelepon Mikhael. Memintanya untuk menyusul mereka.

Sendirian pun tak masalah bagi Anna, karena sebelum menikah dengan Edward pun dia sudah biasa belanja sendiri. Namun, Edward yang terpaksa mengingkari janjinya tentu merasa tidak enak.

“Boleh, Mik. Makasih, ya,” ucap Anna diakhiri dengan senyuman.

“Sama-sama, Kak! Aku diem dulu, ya. Disuruh Kak Ed di sini sampai dia pulang. Mumpung udah ngerjain semua tugas.”

Anna mengangguk. “Mau kue coklat gak, Mik? Aku tadi buat, tapi kayaknya Edward gak terlalu suka.”

“Mau!” sahut Mikhael, “Kak Ed bukan gak suka, sih. Dia memang gak bisa nikmatin yang manis-manis. Aku saranin Kak Anna bikinin yang less sugar gitu. Dia pasti habisin.”

“Iya?”

Mikhael mengangguk dengan semangat. “Iya! Dulu waktu sama Kak Rhea juga Kak Ed selalu dibuatin yang less sugar.”

Gerakan tangan Anna yang semula tengah memotong kue coklatnya terhenti. Ia melihat pada Mikhael yang menutup mulutnya. Sementara yang lebih muda sudah merutuk dalam hati, menyesali dirinya yang terlalu antusias sampai tidak sadar sudah menyinggung nama itu.

Nama yang selalu Edward tegaskan untuk tak pernah disebut lagi.

“Siapa Kak Rhea?”

“Bukan siapa-siapa!” jawab Mikhael dengan panik.

Dahi Anna mengernyit. “Tell me, Mik. Siapa itu Rhea?”

Mikhael terdiam. “Kak, maaf tapi aku takut kakak marah. Tadi, aku keceplosan.”

Anna menarik napasnya. Akan lebih baik kalau Edward yang mengatakannya sendiri.

“Ya sudah, ini kuenya.”

“Makasih, Kak!” katanya, kembali antusias. Anak itu menerima kue yang diberikan oleh Anna.

Sebelum mencobanya, dia sempat berkata, “Tapi, Kak Anna gak perlu khawatir. Kak Rhea udah pergi dari Kak Ed.”

Ucapan Mikhael itu berhasil membuat Anna bungkam dalam menjalankan sisa harinya di hari itu.

Tentunya, disadari oleh Edward. Ketika laki-laki itu pulang dan mengajak Anna untuk makan di luar, Anna terlihat banyak melamun.

“Memikirkan apa?” tanya Edward, ada penekanan dalam pengucapannya.

“Resep yang saya sempat tonton tadi.”

Edward memicingkan matanya, tak percaya. Namun, ia juga tak ingin memaksa. Edward pada akhirnya memilih untuk mengganti topik.

“Kamu mau kita ke mana habis makan?”

Anna terdiam, bingung.

“Ed, kayaknya kebersamaan kita kurang kerasa kalau kamu nyetir gini,” ucap Anna, “gimana kalau besok kita keliling—ke mana pun tapi pakai kendaraan umum?”

Mood Anna berubah dengan cepat. Edward tersenyum tipis setelah menyadarinya. Dengan pandangan yang masih menatap ke jalanan, laki-laki itu mengangguk.

“Boleh. Sekarang kamu jangan banyak pikiran, ya? Biar besok punya banyak tenaga.”

Okay!”

Edward sekali lagi tersenyum. Namun, kali ini lebih lebar. Ia yakin, apa yang akan mereka lakukan besok mungkin saja bisa membawa langkah keduanya semakin beriringan.

Langkah bersama yang semakin selaras.


Edward membiarkan tangannya ditarik oleh Anna. Mereka berdua berlari kecil, tak ingin ketinggalan bis yang baru saja berhenti di halte.

Usaha mereka memang berhasil, tapi keduanya gagal mendapatkan kursi. Namun, tak ada yang mempermasalahkannya. Mereka berdiri dengan Edward yang ada di belakang Anna.

Seharusnya perjalanan pertama mereka di hari ini berjalan baik-baik saja. Anna masih mempertahankan senyumannya dan Edward pun masih mempertahankan mood baiknya.

Hal itu tampaknya tak berlaku ketika ada penumpang yang turun secara terburu-buru. Dia menabrak Anna dan bisa saja membuat perempuan itu terjatuh ke depan kalau saja pinggangnya tak dipeluk oleh sebelah tangan Edward.

“Hey, tolong hati-hati!”

“Maaf, saya buru-buru!”

Edward berdecak. “Kamu gak papa, 'kan, Na?”

Anna terdiam. Tubuhnya menjadi kaku seketika gara-gara Edward yang masih memeluknya.

“Ah, maaf,” ucap Edward, sadar dengan alasan Anna tiba-tiba terdiam.

“Anna, pegang lagi pegangannya. Kalau saya lepas, kamu bisa jatuh.”

Anna tersadar. Perempuan itu langsung melakukan apa yang Edward katakan.

“Makasih, Ed,” kata Anna, “tapi, kamu gak perlu minta maaf tau. Saya, 'kan, istri kamu.”

“Tetap saja, saya tetap perlu izin kamu, Anna. Meski kita suami istri, itu gak menghilangkan kemungkinan saya bikin kamu gak nyaman. Kita tetap dua orang manusia yang perlu memastikan banyak hal terlebih dahulu.”

Anna hanya mengangguk setelahnya. Perkataan Edward sanggup untuk menghilangkan segala kata yang tadinya akan ia ucapkan.

“Oh, ada banyak makanan,” ucap Anna ketika keduanya sudah sampai di tempat yang menjadi tujuan mereka.

Tempat itu berisi banyak penjual makanan. Dari snack sampai makanan berat ada di sana. Lalu, ada juga jajaran minuman dengan warna yang bervariasi. Semuanya memasang tulisan yang kreatif, untuk menarik pelanggan.

Festival makanan.

Ini adalah ide Anna, sementara Edward hanya mengikuti. Ia tak memiliki keinginan khusus untuk perjalanan kali ini.

“Ed, boleh pegangan tangan, 'kan? Biar gak kepisah,” ucap Anna. Meminta izin, tidak seperti saat mereka mengejar bis tadi.

Suaminya itu tersenyum tipis. “Boleh,” kata Edward sambil menyerahkan tangan kanannya.

Anna menerimanya, kedua tangan mereka saling mengenggam. Kali ini Edward tidak berjalan di belakang Anna, tapi mereka beriringan meski tetap Anna yang memimpin ke arah mana langkah keduanya berjalan.

“Oh, pancake durian? Ed, suka duri—ah iya, kamu gak terlalu suka sama yang manis.”

“Kamu mau?” tanya Edward, “kalau mau beli aja, saya bakal ikut makan. Belinya gak usah banyak-banyak tapi.”

“Oke. Beli satu aja kalau gitu, harganya juga lumayan.”

Anna memesan, sesuai ucapannya hanya satu. Sebenarnya Anna juga tidak terlalu menikmati durian, tapi ia merasa ini makanan yang menarik. Anna penasaran dengan rasanya.

“Oh, gak terlalu menonjol rasa duriannya,” komentar Anna, tentunya setelah mereka menjauh dari penjualnya.

Anna mengarahkan garpu dengan potongan pancake ke arah Edward, menyuapkan makanan itu untuk suaminya coba. Edward menerimanya, dia sedikit memejamkan mata merasakan rasa manis di lidahnya.

“Terlalu manis?” tanya Anna.

“Menurut saya, iya. Tapi, makanan ini unik,” jawab Edward setelah menelannya.

“Iya, lain kali saya mau coba buat sendiri. Siapa tahu bisa jadi menu di kafe juga,” balas Anna lagi. Kedatangan mereka ke festival ini juga untuk mencari makanan yang bisa Anna tambahkan ke menu di kafenya nanti.

Anna akan memantapkan rencananya untuk membangun kafe sendiri.

“Hari ini kulineran, ya, temanya,” ucap Edward.

Anna mengangguk dengan antusias. “Kamu gak masalah?”

“Enggak, kok. Tadi ada yang lumayan menarik perhatian,” ucap Edward, pandangannya memencar. Mencari hal yang sempat ia lihat secara sekilas tadi.

“Kamu mau itu? Selanjutnya kita makan itu berarti, ya. Satu berdua aja biar bisa beli banyak makanan hari ini,” ucap Anna, tapi kemudian ia memandang heran saat Edward menggeleng.

“Bukan makanan,” ucap Edward, “nah itu, di sana.”

Edward mengambil langkah besar. Anna langsung menyusulnya. Tampaknya hal yang dimaksud Edward itu sesuatu yang menakjubkan, laki-laki itu bahkan tak mengajaknya untuk berjalan bersama saking antusiasnya.

Anna tak dapat menahan mulutnya terbuka ketika Edward berhenti di tempat yang menjual banyak gantungan kunci.

“Silahkan dipilih, Pak. Harganya murah, tapi kualitas terjamin. Warna dan bahannya awet.”

“Tadi saya sempat melihat gantungan kartun harimau, masih ada tidak, ya?”

Anna semakin dibuat menganga.

Namun, keduanya sama-sama mengetahui kesukaan masing-masing di hari itu.

Anna yang sangat menikmati waktunya ketika menjelajahi tempat yang memiliki banyak makanan. Sementara, Edward akan selalu tertarik pada sesuatu yang memiliki harimau sebagai tokoh utamanya.

Satu langkah baik lagi.


“Edward, hari ini harusnya bisa berjalan lebih panjang lagi, 'kan?”

“Maksudnya?”

“I allow you to start a new step between us. Aku percaya kamu, Ed.”

“Na? Tunggu, kenapa tiba-tiba naik—”

“Now, kiss me, Ed.”


Day by day, everything is getting better.

Mungkin itu cukup menjelaskan bagaimana hubungan Edward dan Anna sekarang. Dua orang yang sudah sering menjalani Hari Minggu bersama.

Ketika matahari sudah mulai meninggi pun, tampaknya tak ada yang berminat untuk meninggalkan tempat tidur. Lengan yang masih saling merengkuh juga kenyamanan yang enggan pergi.

Sempurna.

Minggu kali ini juga seharusnya bisa memberi kebahagiaan pada keduanya. Seperti yang sudah-sudah.

“Belum lapar?”

“Nanti aja, sekalian makan siang.”

Okay,” jawabnya lalu kembali menenggelamkan wajahnya pada dada yang lebih tua.

“Perkembangan kafe gimana?”

“Masih panjang. Tapi, saya udah bisa bayangin hasil desain kamu bakal terwujud kayak gimana.”

Edward tersenyum tipis. “Keren, ya. Jadi, berhenti kerja sebulan sebelum dibuka, 'kan?”

Edward bisa merasakan Anna mengangguk. “Jadi! Biar gak terlalu kangen juga kerja di resto,” ucap Anna.

“Omong-omong, kalau saya tambahin menu yang less sugar juga gimana? Kayaknya ada banyak yang gak terlalu nikmatin makanan manis,” sambung Anna, meski sejujurnya ia baru menemukannya pada sosok Edward saja.

“Boleh,” balas Edward, “tapi jumlahnya lebih sedikit dari yang biasa. Mungkin 5:1?”

“5:1 banget?”

“Iya. Soalnya rata-rata orang yang datang ke kafe suka makanan manis. Beberapa bakal menyelaraskannya sama americano. Itu yang saya amati,” balas Edward.

“Edward, kamu suka mengamati, ya.”

Edward terkekeh. “Supaya pikiran saya gak kosong, Anna.”

Mungkin keduanya akan kembali tertidur kalau saja tak ada suara bel. Anna menjauhkan dirinya dan Edward tak memberi penolakan untuk itu.

“Biar saya yang buka,” kata Edward seraya meraih atasan piyamanya yang tergeletak di lantai.

No, saya aja. Mandi duluan sana!”

“Kamu juga belum—”

“Kamu udah kasih saya aftercare, Ed. I'm fine.

Okay,” ucap Edward pasrah, “pelan-pelan aja jalannya.”

“Iyaa!”

Anna berjalan menuju pintu dengan tangan yang mengikat rambutnya. Suara bel yang kembali berbunyi membuat Anna sedikit meneriakkan, “Tunggu sebentar!”

“Maaf karena lama membuka pintunya,” ucap Anna begitu pintu ia buka. Ada seorang perempuan di sana dan Anna sama sekali tak mengenalinya.

“Tak apa! Ini benar rumahnya Edward Kwon, 'kan?”

Anna mengangguk. “Iya, benar.”

“Ah, kalau begitu kamu istrinya, 'kan? Uhm ... Anna?”

“Iya, saya Anna.”

Perempuan itu tersenyum lebar. “Saya Rhe—”

“Anna, ada si—oh Kak Rhea?!”

Rhea?

“Ed!”

Edward mendekat pada keduanya. Laki-laki itu memegang kedua bahu Anna.

“Kapan kamu pulang?”

“Belum seminggu, Ed. Tadinya aku gak akan nemuin kamu, tapi gak jadi. Soalnya bisa-bisanya kamu nikah gak ngasih tahu aku?!”

Edward hanya tertawa.

“Dulu waktu sama Kak Rhea juga Kak Ed selalu dibuatin yang less sugar.”

Anna terdiam, suara Mikhael beberapa bulan yang lalu seakan kembali menyapa telinganya. Jadi, sosok tinggi di hadapannya adalah Rhea yang sama dengan yang dimaksud oleh Mikhael?

“Aku bawa ayam goreng kesukaanmu, Ed. Aku gak tahu Anna suka apa, jadi aku cuma buat ayam goreng lebih banyak.”

“Wah, makasih, Kak Rhe,” jawab Edward terdengar antusias, “sini masuk dulu.”

Anna menghela napasnya. Setidaknya Edward masih terus merangkulnya, secara tidak langsung, ia masih mengakui keberadaan Anna.

Namun, tetap saja Anna bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Rhea? Kenapa Mikhael waktu itu bilang kalau Rhea sudah pergi dari Edward disaat perempuan itu muncul lagi kali ini?

Dia bahkan dengan jelas mengatakan sesuatu yang disukai Edward. Seolah menegaskan kalau dirinya lebih tahu tentang laki-laki itu.

Anna menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran buruknya.

“Pusing?” tanya Edward langsung.

“Eh? E-enggak, kok.”

Edward tersenyum tipis, ia mengusap pucuk kepala Anna pelan dan berkata, “Kalau pusing, bilang, ya.”

Anna mengangguk.

“Kayaknya aku pulang aja deh? Kalian lagi masa-masa pengen berduaan, 'kan,” ucap Rhea. Tentu ia menyimpulkan begitu karena keduanya masih sama-sama mengenakkan piyama.

Edward yang awalnya akan mandi pun tidak jadi karena khawatir dengan Anna. Niatnya hanya ingin memastikan, tapi tahunya yang datang adalah Rhea.

Edward tertawa kecil. “Sorry? Gak papa, sini masuk dulu, Kak Rhe. Udah lama gak ketemu juga.”

Anna hanya bisa meremas sisi bajunya ketika Edward mengarahkan langkah mereka bertiga menuju sofa.

Rhea memang lebih dulu mengenal Edward. Namun, Anna gagal menahan rasa tidak terimanya tentang hal itu.

Mereka tertawa dan Anna hanya bisa terdiam di tempat.

dan rasanya ... sesak.

“Rhea itu siapa?” tanya Anna, setelah Rhea menghilang dibalik pintu rumah mereka.

“Teman lama,” jawab Edward tanpa beban.

“Dia kayaknya kenal kamu banget, ya,” ucap Anna tanpa mengalihkan fokusnya dari televisi.

“Dia tetangga kami, tapi kuliah di luar negeri,” ucap Edward, “tadi kamu dengar, 'kan, dia kerja di sana juga.”

“Kamu suka masakan buatan dia?”

Edward terdiam. Dia menatap pada Anna lalu mendekat. Apakah Anna tidak nyaman dengan keberadaan Rhea?

“Maaf,” ucap Edward, “saya tadi gak tanya dulu kamu nyaman ada Kak Rhea atau enggak.”

Anna menoleh, tidak menduga Edward akan mengatakan itu dibandingkan menjawab pertanyaannya.

“Saya gak masalah,” ucap Anna berbohong, “jawab dulu apa yang saya tanya tadi.”

“Saya ini dulu jadi tikus percobaannya Kak Rhea. Semua masakan dia harus saya yang pertama nyicip, jadi saya cuma terbiasa sama masakan Rhea,” jawab Edward, “tapi masakan mama selalu jadi yang saya suka.”

Anna terdiam, matanya terlihat bergetar.

“Juga kamu.”

“Hah?”

“Masakan kamu juga bakal selalu saya suka, Anna.”

Namun, meski mendapatkan pernyataan demikian. Perasaan Anna tak kunjung menjadi tenang.

Seakan-akan langkah yang coba mereka ambil bersama langsung terhenti seketika.

dan Anna tidak tahu kenapa ia merasa demikian.


—honeyshison