ednamy; liburan!

Hoshi as Edward Sana as Anna Zoa as Amy

Note : ini 1970 words, jadi mohon maaf kalau ada typo. Enjoy the ride!


“Gak usah curigaan, nikmatin aja, ya. Kan pada mau liburan, ini papi kasih malah heran.”

“Ya, heran. Kemarin aja papi perlu dibujuk sampai tiga harian? Sekarang tahu-tahu ngajak,” balas Amy. Meski berucap demikian, dia sebenarnya sama sekali tak keberatan.

Edward mengusak pucuk kepala anaknya gemas. “Ya, anggap aja hadiah kamu habis PTS.”

“Papi, rambut aku jadi berantakan!” Amy berusaha mendorong Edward, tapi yang lebih tua tak tergerak sama sekali. Sosok yang menjadi kepala keluarga itu cuma tergelak dengan tangan yang masih mengusak rambut anaknya.

Anna yang mengamati itu cuma menggeleng-gelengkan kepalanya, pasrah tapi gemas juga melihat interaksi antara anak dan suaminya. Perempuan itu mengedarkan pandangannya, kemudian bertanya, “Ini kita mau pakai kamar yang mana, Ed?”

“Oh iya,” ucap Edward sembari mengambil kunci dari sakunya. Kunci yang diberikan oleh penjaga villa ini padanya.

“Aku mau tidur sama kalian, ya?” tanya Amy.

“Sendiri aja,” balas Edward, “kemarin katanya udah 15 tahun? Udah gede, udah bisa bela cowok, 'kan?”

“Papiii,” rengek Amy, “papi aja yang sendiri nanti aku sama mami tidurnya.”

“Enggak mau,” jawab Edward dengan nada meledek. Dia menarik koper mereka seraya merangkul pinggang istrinya.

“Pilih aja kamu mau kamar yang mana. Papi mau berduaan.”

“Kok jahat?!”

Anna menghela napasnya. Dia mencubit perut Edward lumayan keras. “Kamu tuh jangan godain anaknya terus. Giliran Amy jalan sama cowok, nangis.”

Edward meringis sembari mengusap perutnya. Bibirnya maju tapi tak mengajukan protes sama sekali.

“Gini aja, nanti mami temenin kamu tidur. Tapi habis itu mami pindah, okay?

Amy menatap Anna dengan memelas, melancarkan jurus membujuknya. “Mami tidurnya sama aku aja.”

“Temenin sampai Amy tidur aja, ya,” jawab Anna, mengulang perkataannya yang sebelumnya.

“Iya, deh,” jawab Amy pasrah. Lagipula, sebelum liburan agak dadakan ini terlaksana, papi sering lembur. Beberapa kali bahkan Amy tidur sebelum Edward pulang, jadi Amy paham kalau kedua orang tuanya itu pasti saling merindukan.

“Sana ganti baju, kita renangnya hari ini aja. Besok jalan-jalan, papi cuma bisa weekend ini soalnya.”

Raut wajah Amy menjadi cerah seketika. “Okay, Papi! Aku kamarnya yang deket kamar kalian aja, deh.”

“Siap,” balas Edward seraya membuka kunci kamar yang ada di sebelah kamar yang lebih dulu ia buka.

“Buka jendelanya, langsung ngadep laut,” jawabnya lagi.

Amy berjalan memasuki kamar itu dengan antusias. Ia menuruti apa yang Edward ucapkan sebelumnya.

“Wah! Ini bagus banget?! Kita boleh ke sana gak, Papi?”

“Boleh. Nanti kita lihat sunset sambil bakar daging di sana,” jawab Edward lagi.

“Yeay! Makasih, Papi!”

Sepasang suami istri itu diam di ambang pintu, mengamati Amy yang begitu antusias melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.

“Tiga puluh menit lagi kita renang, ya, Dek,” ucap Edward.

Okay!” Setelah mendapat jawaban dari Amy, Edward kembali merangkul Anna. Keduanya kini melangkah masuk ke kamar mereka.


“Aku kok gak pernah dibeliin baju gambar rusa sama mami? Itu papi punya baju harimau,” ucap Amy begitu melihat bagaimana penampilan Edward.

Ayahnya itu memakai kaos hitam dengan gambar harimau besar di tengahnya. Selaraskan dengan pakaian Anna yang juga warnanya hitam.

Kedua orang tuanya, tampak seperti pasangan muda yang belum mempunyai keturunan. Padahal kenyataannya, sosok tinggi yang memakai baju renang berwarna hijau ini adalah satu-satunya anak mereka.

“Papi kamu beli sendiri,” jawab Anna, “mami gak pernah beliin dia apa pun yang gambar maung.”

“Papi keren gak pake ini?” tanya Edward seraya menyisir rambutnya dengan jari ke belakang.

“Ayo, ke kolam renang, My.”

“Oke, ayo, Mami!”

Laki-laki itu mendengus karena ucapannya dialihkan begitu saja. Namun, sekali lagi tak mengeluarkan protes. Edward kemudian mengikuti langkah kedua perempuan yang disayanginya itu.

Begitu melihat kolam renang, Amy menambah kecepatan langkahnya. Kemudian memasukinya tanpa berbasa-basi.

“Yah, gak keren. Lihat nih, papi masuknya sambil atraksi,” ucap Edward. Ia kembali mengambil langkah mundur, sebelum berlari dengan kecepatan sedang dan melompat ke kolam renang dengan gaya.

Amy langsung bertepuk tangan, kagum. “Nah kalau ini baru keren, Papi!”

Sementara itu, Anna meringis dan berkata, “Jangan aneh-aneh, kalau pinggangnya sakit aku gak mau tanggung jawab mijitin.”

Edward tertawa, dengan santai ia menaiki pelampung besar berbentuk menyerupai flamingo dengan warna merah muda yang ada di sana.

“Ed, astaga. Itu buat anak kecil?!”

“Tenang, Na. Sini turun aja, buat apa aku bayar mahal kalau gak dipake?” balas Edward.

“Iya, Mami. Ayo turun dulu,” sahut Amy.

“Nanti aja, mami belum mau,” jawab Anna kemudian duduk di kursi yang ada di sana.

Edward mengambil pelampung-pelampung dengan motif donat yang ada di pinggir kolam. Kemudian ia turun dari pelampung tadi.

“Dek, ayo main. Kalau kamu bisa tangkepin semua ini tanpa pake tangan, nanti papi beliin baju kayak gini yang gambarnya rusa.”

Mata Amy berbinar. “Ayo!” sahutnya dengan antusias.

Edward tersenyum lebar dan berkata, “Munduran kamunya.”

Amy menurut.

Anna cuma menatap keduanya dari kejauhan. Meski merasa tak habis pikir dengan Amy yang bisa menangkap semua pelampung itu dengan menggunakan kepalanya. Membiarkan tubuhnya terkurung oleh benda-benda itu.

“Aku bisa! Jangan lupa beliin bajunya, Papi!”

“Siap, pulang dari sini langsung papi pesenin.”

Setidaknya, sekali lagi Anna bisa melihat keduanya tertawa lepas bersama.

Itu sudah cukup untuknya.


Amy memasang pose ketika melihat Anna mengarahkan kamera ke arahnya. Langit sudah menggelap, dan mereka baru saja menyaksikan sunset seperti apa yang Edward katakan tadi siang.

Laki-laki itu kini tengah membakar daging yang memang disediakan sesuai dengan paket yang ia pesan dengan villa dan kolam renang tadi. Laki-laki itu tersenyum tipis ketika melihat Amy makan dengan lahap.

“Habis foto, makan juga, ya,” ucap Edward karena Anna masih sibuk mengabadikan sekitarnya.

“Iya, Ed,” jawab Anna.

“Enak! Sayang banget cuma bisa dua hari di sini,” ucap Amy.

Edward tergelak, walau cuma dua hari tapi pengeluarannya sudah lumayan banyak. Namun, dengan wajah bahagia yang ditampilkan dua orang kesayangannya itu, ia merasa tak masalah.

“Gimana kalau habis ini kita sediain satu celengan khusus? Kalau udah penuh, bisa kita pakai buat liburan kayak gini lagi,” usul Anna.

“Ayo, Mami! Celengannya harus yang gede, siapa tahu kita bisa ke luar negeri?” sahut Amy. Anak tunggal keluarga kecil ini sedari tadi selalu antusias dengan apa yang kedua orang tuanya tawarkan.

“Boleh, pulang dari sini kita beli celengan yang gede,” timpal Edward seraya duduk. Daging yang ia bakar sudah lumayan banyak. Laki-laki itu membuka kaleng sodanya, kemudian meminumnya.

Kini, tidak hanya Amy yang makan. Kedua orang tuanya juga ikut makan.

“Mantap,” ucap Edward, puas dengan rasa daging yang ia bakar itu.

Ketiganya makan dengan sesekali diiringi celetukan dari masing-masing. Ketika dagingnya sudah habis dan hanya menyisakan minuman, Edward mengeluarkan dua amplop putih dari sakunya. Memberikannya pada Anna dan Amy masing-masing satu.

“Sebenarnya papi gak sekedar iseng ajak kalian ke sini. Dulu, di tanggal ini pertama kalinya papi sama mami dapat kabar kalau adek bakal hadir di antara kita,” ucap Edward seraya tersenyum tipis.

“Tahun-tahun sebelumnya, papi jarang keinget dari jauh-jauh hari. Tahun ini papi kepikiran karena di tahun ini, papi benar-benar ngerasain pertumbuhan Amy yang cepat.”

Laki-laki itu menatap kedua orang yang ada di hadapannya dengan sedikit canggung.

“Terus papi iseng tulis surat. Kalian baca, ya? Papi mau denger surat itu dibacain kalian.”

Amy dan Anna terdiam, sedikit tidak menyangka kalau alasan Edward membawa mereka ke sini karena itu. Edward sadar dengan itu, tapi dia memilih untuk tak membahasnya.

“Ayo, punya kamu dulu, Dek!” ucap Edward lagi karena keduanya tak kunjung berbicara.

“Eh? Iya, Papi,” balas Amy kemudian membuka amplop yang diberikan Edward sebelumnya. Ia mengambil selembar kertas yang ada di dalamnya dan membukanya.

Anna turut membuka miliknya tanpa berkata apa pun. Membacanya dalam diam.

“Bacain, ya, Dek,” ucap Edward dan Amy mengangguk.

“Untuk Amy, putri kesayangan kami. Papi mau bilang terima kasih karena Amy tumbuh dengan baik. Dulu, papi sempat berpikiran kalau papi gak akan bisa nyaksiin kamu tumbuh. Papi bersyukur karena kenyataannya papi masih bisa nyaksiin itu, sampai sekarang.

“Maaf kalau sikap papi bisa buat kamu kesel atau takut. Papi gak masalah Amy mau temenan sama siapa aja. Papi juga udah izinin kamu deket sama Sammy karena dia berani untuk nemuin papi. Selama Amy selalu cerita, papi gak papa. Tapi, mohon maklum, ya? Papimu ini gak bisa lepas dari rasa takut ditinggal anak sendiri.”

Amy berhenti sejenak, untuk mengambil napas. Ia melihat ke arah Edward, laki-laki itu masih mempertahankan senyumannya.

Amy menghela napas sekali lagi, kemudian kembali berucap, “Papi boleh minta? Kalau bisa Amy jangan dulu terlalu fokus sama cinta-cintaan, seperti yang kamu bilang kamu udah 15 tahun. Kamu masih muda, masih banyak hal yang bisa kamu cari selain itu.

“Amy, tetap tumbuh jadi anak yang hebat, ya. Negara ini juga nunggu nama kamu disebut sebagai salah satu peraih prestasinya. Amy, terima kasih karena telah hadir di antara kami. Papi selalu bersyukur setiap mengingat bahwa kamu adalah putri kami. Putri satu-satunya kami, Amy Kwon.”

Amy terdiam, tulisan Edward sudah selesai ia baca. Perasaannya tak menentu, bingung bagaimana mendeskripsikannya.

“Papi, aku bingung harus tanggepin gimana,” ucap Amy, “tapi, aku juga bersyukur karena aku jadi anak kalian. Aku pokoknya sayang papi sama mami!”

Edward tertawa kecil. “Gak papa gak dibales juga, papi cuma mau bilang itu. Makasih karena udah baca, ya?”

Amy mengangguk. “Makasih juga karena papi buat ini, aku ... terharu. Aku janji bakal banggain kalian berdua.”

“Semangat, ya, Dek. Papi sama mami pasti bakal selalu dukung kamu,” balas Edward lagi. Ia kemudian beralih untuk melihat Anna, isitrinya itu masih menunduk. Edward sadar kalau Anna membaca isi suratnya dalam diam ketika Amy sedang membacakan miliknya tadi.

“Na, sekarang kamu. Ayo bacain,” ucap Edward lagi.

“Ayo, mami! Aku juga penasaran.”

Anna tak kunjung berkata.

“Mami?” Amy sedikit menunduk, untuk melihat wajah Anna yang memang duduk di sebelahnya.

“Papi, mami nangis,” ucap Amy kemudian, dengan pelan.

Edward bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekat pada Anna. Laki-laki itu mengubah posisinya menjadi setengah berdiri, bertumpu pada lututnya. Mensejajarkan posisi antara dia dan Anna.

Tangan Edward bergerak mengelus punggung Anna, berusaha menenangkannya. Kepala perempuan itu terangkat, menatap pada Edward disertai dengan jejak air mata.

“Kamu tega banget buat ginian,” ucapnya sebelum memeluk leher suaminya itu. Edward terpaku ketika bisa mendengar dengan jelas isakan dari Anna.

Amy menatapnya khawatir, tapi Edward membalas dengan gelengan. Meyakinkan pada anaknya kalau ini bukanlah hal besar.

Edward membalas pelukan Anna, menepuk-nepuk pelan punggung istrinya.

“Masa nangis di depan Amy, sih?”

“Gak tahu—aku mau nangis aja. Habis kenapa kamu buat ginian segala, sih?!”

Edward tertawa kecil. Tak membalas lagi, membiarkan perempuannya itu menyalurkan perasaannya.

Amy hanya mengamati keduanya dalam diam. Dalam hati penasaran dengan isi surat yang Edward berikan pada Anna. Isi surat yang bisa membuat maminya itu menangis setelah membacanya.

Menangis ketika kegiatan mereka kali ini adalah liburan.


Sebelumnya, maaf karena ini terkesan formal. Tapi, dulu kita terbiasa berbincang seperti ini, bukan?

Sekitar 16 tahun yang lalu, saya bertemu dengan kamu, Anna. Saya dulu tak banyak mengambil tindakan karena apa pun yang dilakukan oleh kedua orang tua saya, saya yakin mereka tak mungkin memberikan saya hal yang tidak baik.

Dulu, saat kita berdua sudah menikah pun, kita masih ada dalam keadaan yang canggung. Kalau kamu tidak mengajak saya untuk pergi ke festival itu, mungkin kita tak akan pernah mengobrol panjang lebar. Mungkin kita tak akan pernah mencoba untuk mengambil langkah bersama.

Sejak awal, selalu kamu yang memulai di antara kita berdua. Selalu kamu yang lebih berani dibandingkan saya. Saya bahkan sempat membuat kamu sakit karena tak kunjung menceritakan hal yang seharusnya saya ceritakan.

Anna, kamu telah memberikan banyak hal berharga untuk saya jaga. Diri kamu, perasaan kamu, bahkan Amy. Amy adalah satu hal paling menakjubkan yang saya dapat seumur hidup ini. Saya bersyukur dengan segala hal yang kamu percayakan pada saya untuk saya jaga.

Saya bersyukur karena itu kamu.

Terima kasih karena telah hadir, untuk telah mempercayai saya sekali lagi, dan untuk menemani saya sampai saat ini.

Anna, apakah kamu bersedia untuk terus melangkah bersama saya? Bersama dengan saya sampai nantinya kaki kita sama-sama tidak kuat untuk sekedar mengambil langkah.

Jika bersedia, selamat. Kamu sekali lagi telah menjadikan saya sebagai laki-laki paling bahagia di dunia ini.

Tertanda, Edward Kwon.


—honeyshison