ednamy ; pincang – 1

Yena as Candy Hoshi as Edward Woodz as Evan

⚠ mention of cheating, broken family.

Cerita ini merupakan bagian dari semesta ednamy.


“Pokoknya asik, deh! Kakak pas pulang langsung ngajakin aku buat main boneka!”

“Kayaknya seru, ya, punya kakak? Aku punyanya adik, nangis terus, berisik!”

“Jangan gitu! Saudara, kan, harus saling sayang.”

“Aku sayang dia, kok, cuma kadang sebel aja kalau udah nangis.”

Candy hanya diam mendengarkan pembicaraan kedua temannya. Anak itu memainkan jarinya kala telinganya mendengarkan semua yang mereka katakan dengan baik.

Perhatian dua temannya itu tiba-tiba teralih pada dirinya. Candy menatap keduanya bingung.

“Candy, kamu punya kakak atau adik?” tanya salah satunya.

Perempuan yang tahun ini menginjak usia 8 tahun itu tak langsung menjawab. Baru akan membuka mulut, temannya yang satu lagi sudah berkata, “Candy bukannya anak tunggal, ya? Soalnya waktu kita main ke rumah dia, cuma ada mamanya.”

Candy menggeleng dengan cepat. “Aku punya kakak ... tapi mereka udah gede. Jadi, mereka gak ada di rumah.”

“Udah gede?”

Ada wajah antusias yang ditunjukkan oleh perempuan yang akrab dengan poni itu. “Iya, mereka udah kerja.”

Kedua temannya turut merasa antusias. “Wah, kakaknya Candy punya nama yang lucu juga gak? Soalnya nama kamu lucu, Bahasa Inggrisnya permen.”

“Nama mereka Edward sama Evan,” jawab Candy diakhiri dengan senyuman.

“Candy punya dua kakak?”

Candy mengangguk. “Iya, mereka kembar.”

“Wow, keren! Enak, dong, punya dua kakak. Sebelum mereka kerja, kalian bertiga suka main apa?”

Candy terdiam, senyuman di wajahnya luntur seketika. Jemarinya kembali ia tautkan satu sama lain.

Kalian bertiga suka main apa?

Candy memejamkan matanya, tak ingin kalimat itu mengisi kepalanya. Setelah mendapat panggilan satu kali lagi akibat terlalu lama tidak bersuara, Candy baru mendongakkan kepalanya. Memberanikan diri untuk menatap kedua temannya.

“Banyak,” jawab Candy disertai sebuah tawa yang dipaksakan.


Dalam ingatan Candy, tak ada satu pun momen berarti yang ia lewati bersama kedua kakaknya. Jangankan bermain bersama, menatap wajah masing-masing saja dapat dihitung dengan jari.

Edward dan Evan jarang berkunjung ke rumah. Mama bilang mereka sibuk Candy perlu untuk mengerti. Namun, terkadang Candy ingin mempertanyakan sesibuk apa mereka sampai berkomunikasi lewat ponsel saja susahnya minta ampun?

Candy ingin merasakan bagaimana bermain bersama saudara. Merasakan bagaimana dirinya dikejar oleh kedua kakaknya dengan tawa yang mengiringi setiap langkah. Merasakan bagaimana kepalanya disentuh oleh tangan keduanya.

atau mungkin, yang paling sederhana. Candy ingin merasakan bagaimana ia ditatap oleh Edward dan Evan.

Ketika Candy bisa melihat Edward dan Evan secara langsung dalam waktu yang lumayan lama adalah saat dirinya berulang tahun. Candy selalu menantikan hari di mana umurnya akan bertambah karena di hari itu Edward dan Evan sudi menginjakkan kaki di rumah.

Candy tidak mengerti kenapa dua orang itu enggan berlama-lama di tempat yang merupakan rumah mereka sendiri. Namun, Candy tak berani untuk menyuarakannya.

“Selamat ulang tahun,” kata Evan tanpa menatapnya. Laki-laki dengan kacamata itu kemudian menyerahkan satu kotak berukuran sedang. “Ini kadonya.”

“Makasih banyak, Kak Ev!” Candy menerima kotak itu dengan senyuman lebar. Sayangnya, senyum manis itu sama sekali tak dilihat oleh Evan.

Edward di sebelahnya turut menyerahkan kotak yang ia pegang. Laki-laki yang rambutnya diwarnai pirang itu menatap Candy sekilas sebelum mengalihkan matanya ke arah lain.

Happy birthday, Candy.

Candy senang. Tanpa kado pun ia sudah senang. Candy merasa cukup dengan kehadiran dua orang yang wajahnya nyaris sama ini.

“Makasih banyak, Kak Ed!”

“Sudah, ya. Kami mau—”

“Tunggu, Kak. Candy mau kita foto bareng, satu kali aja. Boleh, ya?” potong Candy, menahan kedua kakaknya yang jelas ingin segera pulang setelah kado lepas dari tangan.

Evan berdecak. “Gak ma—”

“Ayo,” jawab Edward, memotong ucapan Evan barusan. Evan menatap Edward tidak terima, sementara Edward hanya mendekat dan berbisik, “Sekali aja, Ev.”

Begitulah bagaimana mereka bisa berpose dengan kaku di hadapan kamera sekarang. Edward dan Evan ada di kedua sisi Candy dengan posisi berlutut. Candy memeluk kedua kado yang diberikan kakaknya dengan erat, ia menunjukkan wajah secerah matahari. Sedangkan Evan dan Edward sama-sama berpose canggung dengan senyum yang jelas dipaksakan.

Kilatan dari kamera muncul, tak lama setelah itu kedua orang di sisi tubuh Candy kompak berdiri. “Aku harus pulang, Beby gak mungkin aku tinggalin lama-lama,” kata Evan sambil menjauh. Edward mau tak mau mengikuti kembarannya.

Yang ditinggalkan mengeratkan pelukannya. Kepalanya menunduk, menatap kado yang diberikan kedua kakaknya dengan lekat.

Katanya saudara itu dekat. Saudara itu harus saling sayang. Namun, kenapa untuk menatapnya saja mereka enggan?

Candy menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus memori itu. Ia sedikit meremas figura yang terdapat satu-satunya foto mereka bertiga kala Candy berulang tahun yang ke-10.

Candy lalu menatap pada ponselnya, belum ada notifikasi semenjak ia mengirim pesan ke grup yang dibuat atas saran Anna itu. Candy menghela napasnya, mungkin mereka gak mau, ya?

Namun, baru Candy akan mematikan ponselnya. Muncul notifikasi dari sana.

Kak Edward : Boleh, kabarin aja pastinya gimana, ya. Nanti kami datang.