ednamy ; rumah.
Masih di masa-masa awal Amy masuk SD, Edward itu naik jabatan yang ngebuat dia dikasih rumah. Dia tentu omongin ini ke Anna, terus Anna bilangnya mau ngikut aja. Walau dia sempat kepikiran karena rumahnya ini jauh dari kafe.
Selama ini kan mereka tinggal di rumah yang Edward buat dengan banyak usaha—rumah yang pernah aku singgung di bagian pohon keluarga ednamy—. Rumah yang tentu punya kesan tersendiri buat Edward, tapi di sisi lain dia juga gak enak kalau nolak pemberian kantor.
Pada akhirnya, Edward mutusin buat pindah. Dia sama Anna beres-beres hari itu, terus sempat jemput Amy di sekolah. Amy yang bingung karena begitu pulang banyak kardus yang udah siap buat diangkut akhirnya nanya, “Ini barang-barangnya mau dibawa ke mana?”
Mereka gak bilang soal ini ke Amy. Cuma gak terlalu panik karena Amy masih kecil dan sama-sama yakin kalau Amy bakal nurut—mau gimanapun juga. Anna yang pertama jawab, “Kita mau pindah, sayang. Papi dapat rumah dari perusahaannya.”
Dalam ekspetasi keduanya, Amy bakal seneng. Sejauh ini, Amy selalu nunjukin keantuasiasan terhadap hal yang baru. Tapi kenyataannya, gak seperti itu.
Amy malah kelihatan kecewa. Dia kemudian bicara lagi, “Kita mau tinggalin rumah ini? Mami sama Papi kok gak tanya aku?”
Tanpa menunggu jawaban, Amy langsung masuk ke kamarnya.
Melihat bagaimana reaksi Amy, keduanya sama-sama sadar kalau mereka udah ngelakuin kesalahan karena mereka gak bilang ke Amy soal ini. Mungkin iya, anak itu masih kecil, dia masih anak-anak. Tapi Amy tinggal sama mereka dan dia juga punya hak buat berpendapat.
Anna selalu tanya pendapat Amy tentang resep barunya, foto yang dia ambil, bahkan sekedar tayangan tv. Edward juga kadang selalu tanya pendapat Amy soal rancangan yang dia buat. Mereka selalu tanya ke Amy meski sama-sama tahu kalau anak satu-satunya mereka pasti selalu memberi jawaban positif.
Baik Edward atau Anna, sama-sama selalu cerita ke Amy supaya Amy ngerasa kalau mereka juga butuh dia sebagai pendengar. Jadi, anak itu gak akan ragu kalau mau cerita ke mereka tentang apa pun.
Tapi, kenapa soal ini mereka gak tanya ke Amy?
Di hari itu, mereka berhenti buat berbenah. Keduanya ikut masuk ke kamar Amy dan memilih buat membahasnya. Memang terkesan telat, tapi itu lebih baik dibanding gak sama sekali.
“Amy, gak mau pindah dari sini?” tanya Edward.
Amy menggeleng. “Papi dulu cerita, 'kan, ke Amy. Kalau rumah ini berharga. Kata papi di sini semuanya dimulai dan papi ngerasa nyaman ada di sini. Papi emang gak sedih kalau kita ninggalin rumah ini?”
Yang ditanya balik diam, Anna juga tanpa sadar ikut memikirkan jawaban dari pertanyaan Amy.
Benar.
Edward hampir berhasil wujudin rumah ini jadi benar-benar rumah yang nyaman buat dijadiin tempat pulang dan aman untuk keluarganya. Di sini dia sama Anna memulai semuanya, sejak langkah mereka masih cenderung berlawanan sampai hampir selalu seiras kayak sekarang.
Terlebih rumah ini juga jadi saksi gimana Amy tumbuh. Setiap suara tangis yang selalu terdengar tiap jam dua pagi, tempat yang menjadi langkah pertama Amy, hingga bagaimana suara Amy ketika memanggil mereka yang terdengar semakin jelas setiap harinya.
Rumah yang Edward buat dengan sejuta harap, niat untuk tak melakukan hal yang sama, juga penekanan pada diri yang ngebuat dia bisa lebih baik lagi dengan segala perannya. Sebagai seorang anak, sebagai seorang suami, dan seorang ayah.
Bareng Anna, bareng Amy. Rumah ini tanpa sadar udah jadi bagian dari diri mereka bertiga.
Akhirnya dia ngelihat Anna, sekali lagi bertanya, “Kamu beneran mau pindah dari sini?”
Anna tampak tak yakin, meski ia menyatakan akan ikut apa pun keputusan Edward. Namun, jika harus pindah ia juga merasa keberatan walau tak mengatakannya.
“Aku sebenarnya ragu. Sesuai kata Amy, terlalu banyak hal berharga yang rumah ini simpan, Ed. Terus, aku bisa lebih mudah pantau kafe dari sini. Di sisi lain, aku juga paham kalau kamu gak mungkin nolak rumah itu.”
Edward diam lagi, merenung. Memikirkan ulang agar tak ada penyesalan.
Rencana awalnya, jika mereka jadi pindah ke sana. Mungkin rumah ini akan dijual. Rumah dengan banyak hal berharga ini akan Edward lepas dengan mudahnya. Rumah yang selalu membuat mereka sama-sama merasa cukup.
Edward menarik napasnya dalam-dalam. Kemudian mengusap rambut Amy perlahan. “Papi bakal bicarain ini ke atasan papi.”
Anna sama Amy sama-sama ngelihat dia penuh harap dan Edward paham jelas maksudnya.
“Kita tetap tinggal di sini,” ucap Edward yang ngebuat Amy senyum lebar seketika. Anak itu bangkit kemudian memeluk Edward.
“Makasih, Papi!”
Anna yang lihat itu gak bisa menahan senyumannya.
“Rumah ini memang gak begitu besar, gak begitu mewah, juga gak begitu ramai. Tapi, ada kalian di dalamnya. Ada lembaran kisah kita yang dampingi rumah ini. Papi gak seharusnya lepas dia semudah itu,” ucap Edward lagi.
“Papi, Mami ... Amy tahu Amy masih kecil. Tapi tolong nanti Amy juga ditanya, ya? Amy janji, Amy juga bakal selalu tanya kalian soal semuanya.”
Edward mengangguk. “Pasti, maafin papi, ya, Dek?”
“Mami juga minta maaf, sayang.”
Amy tertawa kecil laku berkata, “Gak papa!” kemudian kembali memeluk kedua orang tuanya.
“Aku juga minta maaf, kita jadi harus beres-beres ulang,” kata Edward ke Anna.
Anna menggeleng. “Gak papa, Ed. Untungnya belum semuanya,” jawab dia dengan sedikit bercanda supaya Edward gak terlalu merasa tertekan.
Edward tersenyum tipis dan mengeratkan pelukannya.
Dia bersyukur dengan kehadiran dua orang ini dalam rumahnya.
—honeyshison.