Ednamy – Sammy dan Papi.
Doyoung as Sammy Hoshi as Edward Zoa as Amy Dohyon as Tony Sana as Anna.
// sensitive issue.
“Kak Sammy!” sapa Amy sewaktu dia melihat Sammy. Amy menunggu laki-laki itu di depan kafenya mami bersama Tony yang mau ikut karena mau lihat gimana Edward menyikapi kakak kelas mereka itu. Kepo.
Sammy tersenyum walau Amy tetap tidak bisa melihatnya karena yang lebih tua sedang memakai masker. Laki-laki itu berlari kecil supaya bisa sampai ke depan Amy lebih cepat.
“Kenapa nunggu di sini?” tanya Sammy sambil lepas maskernya.
“Gak papa, biar Kak Sammy gak bingung pas masuk. Ayo sekarang kita masuk!”
Amy mendahului keduanya. Tony senyum canggung ke arah Sammy sambil bilang, “Halo, Kak.”
“Halo, ke sini juga?”
Tony mengangguk. “Iya, kue Tante Anna gak bisa dilewatkan.”
Padahal alasan dia sebenarnya ikut ke sini bukan kue. Hanya saya, daripada dicoret dari daftar calon ketua sama Sammy. Lebih baik dia bilang kayak gitu.
“Pesen dulu aja, nanti kita makannya di lantai dua sambil nungguin papi.”
“Halo, anak-anak,” sapa Anna yang memang sengaja diam di kasir. Mau lihat Sammy itu yang mana.
“Halo, mami! Aku mau kue coklat, kayak biasa.”
“Baiklah, satu kue coklat untuk Amy. Tony mau apa?”
“Uhm samain aja, Tante. Tapi tolong tambah cream, ya,” jawab Tony langsung.
Anna mengangguk, dia kemudian menatap pada satu orang lagi yang sedari tadi diam. Dia terlihat canggung dan Anna paham apa alasannya.
“Sammy, ya? Sammy mau apa?”
Sammy terdiam, ia sebenarnya gugup karena yang bertanya ada ibunya Amy. Walaupun Anna sama sekali tak menunjukkan sesuatu yang terkesan mengintimidasi Sammy.
“Uhm saya mau matcha latte,” jawab Sammy kemudian.
“Kuenya?”
Sammy menggeleng. “Itu aja.”
Anna tersenyum hangat. “Baiklah. Tony sama Amy mau minuman rasa taro kayak biasa, 'kan?”
Kedua anak yang Anna sebut namanya itu mengangguk bersamaan. Anna sekali lagi tersenyum.
“Nah sudah, tunggu di tempat yang mami sebut tadi, ya, sayang?”
“Okay, Mami!”
Amy sekali lagi memimpin keduanya. Cewek tinggi itu membawa langkah mereka menuju lantai dua. Di sana memang lebih sepi, tapi bukan berarti gak ada orang.
Biasanya yang datang dengan membawa pekerjaan lebih memilih untuk duduk di lantai dua. Lebih tenang.
“Kak,” bisik Tony pada Sammy, “Om Edward agak galak kalau ke temen cowok Amy. Nanti baca doa dulu sebelum ngomong, ya.”
Sammy meringis mendengarnya.
“Kak Tony sembarangan ih!” sambar Amy langsung.
“Anak kecil diem,” balas Tony.
“Ih!”
Tak lama, ada pelayan yang membawa dua kue coklat dan juga minuman yang mereka inginkan tadi. Ketiga tersenyum tipis dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pelayannya.
Tony mencicipi kuenya. “Kak, gue tuh sebenarnya gak suka juga kalau ada yang deketin Amy. Dia gak sekali doang sedih karena yang deketin dia bukan karena mau temenan.”
“Gue, 'kan, yang bagian jagain Amy kalau di sekolah—kadang sama Om Mik juga, sih. Ta—”
“Sebentar, Om Mik tuh Pak Mikhael guru kimia?” tanya Sammy.
Dua orang di hadapannya mengangguk. Sammy meringis lagi. Keluarga Amy serem-serem dah, batinnya.
“Gue lanjut, ya. Karena ini Kak Sammy, jadi gue kasih kesempatan.”
“Soalnya Kak Tony pengen ngegantiin Kak Sammy jadi ketua dance,” sahut Amy.
“Ih bukan itu. Soalnya aku tahu kalau Kak Sammy baik!” balas Tony tak terima, walau sebenarnya apa yang Amy ucapkan tak sepenuhnya salah.
Melihat dua orang yang lebih muda darinya sama-sama cemberut dan menatap galak satu sama lain, Sammy tertawa. Gemas.
“Kalian gemes,” ucapnya.
“Ih enggak! Kita udah gede tahu, Kak.”
“Badan doang kalau kamu, tingkah mah enggak.”
“Kak Tony, aku bilangin ke Om Evan, ya!”
“Aku juga bisa bilangin kamu ke Om Edward?!”
Setidaknya Sammy merasa lebih tenang sekarang karena tingkah adik kelasnya ini.
“Sammy Kim, ya?” tanya Edward seraya melepas kacamatanya. Niatnya datang ke sini, cuma buat jemput istrinya. Tapi ternyata ia dijebak supaya mau ketemu Sammy lebih dulu.
Jujur, Edward belum mau ketemu Sammy sekarang.
“I-iya, Om,” jawab Sammy, gugup.
Mereka berdua memisahkan diri dari meja yang sebelumnya diduduki Sammy, Amy, dan Tony. Edward menatap yang lebih muda sekilas sebelum menyesap kopinya.
“Kenapa mau ketemu saya?” tanya Edward lagi, terkesan datar.
Sammy diam, berpikir dengan kalimat apa ia harus menjawab. “Mau minta izin, Om.”
“Izin buat?”
“De-deke—”
“Jawab yang tegas.”
“Mau minta izin deketin Amy.”
Sebelah alis Edward terangkat. Dia menyandarkan tubuhnya sembari melipat tangan di depan dada. Menatap yang lebih muda dengan menyelidik.
“Kamu sayang atau cuma suka sama anak saya?”
“Buat sekarang suka,” ucap Sammy, “tapi saya bakal lebih lega nyalurin perasaan saya kalau Om udah kasih izin.”
“Kamu kelas akhir, 'kan?”
Sammy mengangguk.
“Kenapa gak fokus belajar aja?” Edward tak langsung mendapat jawaban, tapi dia membiarkan Sammy untuk terlarut dalam pikirannya.
“Gimana, ya, Om ... dulu saya iseng aja karena kata orang-orang Amy susah dideketin, ternyata memang iya. Beberapa kali ngobrol sama Amy, saya jadi makin penasaran sama dia.”
Sammy menatap ke arah Edward. “Termasuk gimana Amy dididik sama orang tuanya. Jujur saya suka speechless dengan pemikiran Amy. Sebelum saya beraniin diri buat ketemu Om. Dia bilang dia gak mau kalau semisal dia bahagia sama saya, kalian gak tahu.”
“Banyak pemikiran Amy yang memang terdengar aneh tapi saya juga kagum karena dia masih pegang itu. Kayak kalau bohong itu jelek, sampai cuma papi sama maminya yang dia percaya di dunia ini. Setiap Amy bicarain kalian, jujur saya agak iri, Om.”
“Iri?” tanya Edward, dia tak menyangka kalau Sammy akan berkata demikian. Ia kira, anak ini memang cuma sekedar mau dekat dengan Amy karena sekedar suka. Namun, ternyata karena penasaran dengan pemikiran-pemikiran anak tunggalnya itu.
Sammy hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Edward barusan.
Edward tersenyum tipis. “Kamu tahu kalau Amy punya arti penuh cinta kasih? Saya dan Anna selalu mengusahakan agar dia tumbuh sesuai dengan namanya. Kami berdua hampir pernah gagal, tapi berkat kehadiran Amy, kami bisa menjadi seperti sekarang.”
Mata Sammy bergetar. Dalam hati, ia lagi-lagi merasa kagum pada keluarga Amy.
“Amy itu akan selalu menjadi putri kecil kami. Saya dan Anna selalu berdoa supaya gak lekas pergi sebelum Amy menemukan pijakan barunya. Itu alasan kenapa kami terlihat lebih posesif pada Amy. Namun, saya kagum karena kamu berani untuk menemui saya.”
Edward berhenti sejenak. Laki-laki itu menatap pada Sammy lekat.
“Kalian masih sangat muda, Amy bahkan baru kelas 10. Masih banyak hal yang bisa kalian cari, tapi jika punya hubungan artinya kalian bisa lebih menikmati hidup. Saya gak terlalu mempermasalahkannya,” ucap Edward lagi.
“Sammy, saya izinkan kamu untuk mendekati Amy. Namun, jika suatu hari Amy pulang dengan keadaan menangis saya akan mendatangi kamu lebih dulu.”
Sammy spontan menahan napasnya. Tidak menyangka akan secepat ini. Senyum perlahan tercetak di wajahnya.
“Tapi, ini bukan berarti saya suka sama kamu. Ini karena anak saya suka sama kamu. Saya gak mau menjauhkan dia dari hal yang dia sukai,” sambung Edward cepat.
Sammy mengangguk. “Om, makasih banyak. Saya jan—”
“Saya gak butuh janji kamu, Sammy, cukup buktikan. Tolong bantu kami jaga Amy, ya,” potong Edward dan Sammy sekali lagi mengangguk dengan antusias.
Sammy menoleh ke arah Amy dengan raut senang yang tak bisa ia tahan. Di sana juga masih ada Tony dan Anna yang entah sejak kapan datang.
Sammy mengacungkan ibu jarinya ke arah Amy, dengan bibir yang bergerak seolah berkata, 'berhasil.' Amy ikut tersenyum lebar karena itu.
Edward menggeleng. “Dasar anak muda.”
Sammy yang mendengar itu lantas terkekeh canggung.
“Sammy, kalau saya gak kasih izin. Apa yang akan kamu lakukan?”
Yang lebih muda terdiam. “Om kenal Dean Kim? Dia arsitek juga.”
Sammy juga sudah bertanya ke Amy mengenai pekerjaan Edward, memastikan kalau nama yang ayahnya pernah sebut itu memang benar Edward yang sama dengan Edward yang menjadi ayah Amy.
Edward menatap bingung pada Sammy yang tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu. Namun, ia tetap memberikan jawaban dengan mengangguk.
“Kenal, dia rekan kerja saya.”
Sammy menghindari tatapan mata Edward. “Kalau saya gak dapat izin Om untuk deketin Amy. Mungkin saya akan minta tolong Om supaya ajarin dia jadi ayah yang baik.”
“Sammy diantar juga, 'kan, Ed?”
“Iya, udah. Anna, kalau dia datang ke kafe atau ke rumah sama Amy, perlakuin dia kayak Amy, ya.”
“Eh kenapa?”
“Dia tadi sempat bilang harapannya tentang keluarga ke saya—walau secara tersirat. Dia juga bilang kalau dia iri dengan Amy. Semoga dengan apa yang kita lakuin, bahunya bisa lebih ringan.”
“Saya tadi sempat bingung karena kamu bisa secepat ini kasih izin. Ternyata ada alasan lain, ya? Tapi, iya, saya akan lakuin apa yang kamu bilang tadi.”
“Yang tulus, ya, sayang? Walau semisal pada akhirnya dia memilih mundur buat jadi pijakan baru Amy.”
“Iya, Edward.”
—honeyshison.