hanan, elina.

“Hanan berhasil juga, Lin. Tapi dia belum sempat tahu dan menikmati itu.

Elina meremat ujung pakaian yang ia kenakan. Sedari awal datang ke sini dan menyaksikan semuanya, perempuan itu belum mengeluarkan sepatah kata pun.

Tubuhnya bergetar melihat bagaimana sosok yang selalu menawarkan telinga untuknya itu memucat karena tak lagi di aliri darah. Ia menahan isaknya seiring dengan tubuh yang kini tertutupi oleh tanah.

Hanan, kita seharusnya lagi ngerayain keberhasilan kita.

Hanan, kamu harusnya ngasih tahu aku soal hasil kamu secara langsung.

Hanan, kenapa kamu tinggalin aku?

Elina jatuh terduduk, memeluk lututnya sendiri. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya, menangis sejadi-jadinya.

Ia mengabaikan sekitarnya. Ia tak peduli kalau dunia akan tahu tentang kesedihannya.

Elina mengharapkan tawa mereka yang terdengar karena keberhasilan yang diraih. Bukan malah tangisnya untuk sosok yang bahkan tak bisa merengkuhnya lagi.

“Boleh nangis, tapi jangan kelamaan, ya, Lin? Nanti dadanya sakit.”

Elina mendongak, menatap gusar pada papan bertuliskan nama seseorang yang selalu menemani hari-harinya. Ia meraung sebagai protes pada semesta karena mengambil sosok itu terlalu cepat.

Elina dapat merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Di susul dengan sebuah tote bag yang diserahkan padanya.

“Ini barang yang dititipin Hanan ke bapak buat Elina.”

Elina menerimanya, tapi ia masih tak bisa mengendalikan dirinya. Air matanya tk mau berhenti, isakan yang terdengar semakin menjadi kalau tas itu sudah ada di pelukannya.

Hanan, kalau ini dikasihnya sama kamu langsung aku bakal seneng.

“Hanan gak suka kalau ada yang nangisin dia.”

Elina mengusap kasar jejak air matanya, dengan susah payah ia menahan agar tak memperdengarkan isakan lagi.

“Kemarin Hanan kejatuhan rak yang ada di gudangnya sampai batuk darah. Sekarang Hanan udah gak sakit lagi, Lin. Tuhan sayang sama Hanan, makanya Hanan diambil secepat ini.”

Sesak.

Kepala Elina terasa pening luar biasa, hatinya sakit bagai diremas dengan seribu tangan, air matanya masih ingin menghiasi wajah. Harusnya tidak seperti ini, harusnya ia dan Hanan tengah menikmati hasil dari kerja keras mereka selama ini.

Harusnya Elina dan Hanan menjalani mimpi mereka sama-sama. Namun, kenapa Hanan malah membiarkan Elina melanjutkan langkah sendiri?


Elina, ini Hanan.

Aku gak tahu kenapa, tapi aku tiba-tiba kepengen nulis surat ini. Rencananya aku mau kasih ini barengan sama bukunya nanti pas pengumuman, tapi ternyata aku belum bisa pulang karena harus ikut bantu pindah gudang. Maaf, ya, jadi kita gak bisa bareng-bareng lihat hasilnya.

Dulu, aku beberapa kali dengar soal kamu pas kelas 7 dan aku agak penasaran sama kamu karena itu. Tapi karena kelas kita beda lantai, aku gak bisa hafal sama wajah kamu. Lucunya kita disatuin pas kelas 8, sebangku pula. Lebih lucu lagi, kamu nemuin foto keluargaku yang udah aku robek.

Waktu itu, sebenarnya pemikiranku tentang perempuan baik nyaris tertutup. Aku ketemu kamu dan tahu-tahu kita bisa sedekat sekarang. Aku selalu antusias baca cerita kamu, aku gak pernah keberatan dengerin semua cerita kamu. Kalau ditanya siapa orang yang paling menarik di dunia ini, aku bakal jawab itu kamu.

Kita sama-sama gak tahu kita bakal kayak gimana setelah ini. Aku gak bisa jamin kita masih bisa pasang telinga untuk masing-masing atau enggak. Jadi, aku mutusin buat ngasih buku ini ke kamu. Aku juga punya satu yang kayak gini, kita punya barang couple lagi, deh.

Kamu dulu bilang mau bisa gambar juga, kan? Jadi, aku beli buku sketsa buat kamu. Omong-omong, aku masih simpan gambar kamu di sketsaku dulu. Nanti aku selipin di bukunya.

Buku satunya bisa kamu gunakan buat menulis semua pemikiran kamu atau apa yang kamu ingin curahkan ketika aku gak ada. Selain itu, aku paham gak semuanya bisa kita bagi, buku ini bisa jadi pengganti.

Apa pun kamu nantinya, aku maunya kamu tetap jadi Elina yang sekarang. Elina yang imajinasinya luas, Elina yang mampu menyalurkannya lewat kata, Elina yang gak pernah bohong sama perasaannya sendiri. Aku harap kamu bisa mempertahankan itu walau aku bukan lagi saksi hidupmu. Ketika aku bahkan udah gak ada di sekitar kamu lagi.

Elina, aku selalu berharap kamu dapat kesenangan. Aku gak bohong kalau aku ikut senang tiap kamu senang.

Apa pun hasilnya, kamu harus bangga sama dirimu. Bangga dengan apa yang udah kamu capai sampai hari ini. Bangga dengan kamu yang bertahan sampai detik ini.

I really adore you, Elina. Please, be happy.

—Hanan.

image