Sherina tersenyum lebar ketika bisa melihat seseorang yang rela ia beri kasih sayang dari layar televisi. Namun, senyum itu tak dapat ia pertahankan lama. Ada rasa lain yang datang dalam hatinya.

Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam ketika mendengar suara notifikasi dari ponselnya. Ada pesan yang masuk, dari seseorang yang akan selalu dirinya tunggu.

Kak Zi: Hey, Na. Kak Zi: Kamu malam ini kosong? Temenin aku cari inspirasi, yuk?

Me: Aku kosong, Kak. Mau kemana?

Kak Zi: Gak kemana-mana, sih. Di studio aja.

Me: Bisa emangnya?

Kak Zi: Bisa. 'Kan, ada kamu.

Me: Dih??? Me: Oke deh, aku ke sana. Kakak pasti capek, jadi gak perlu jemput!!!

Ah, kemana perasaan tidak enaknya tadi?

Sherina meringis karena menyadari bahwa sekali lagi, ia membiarkan dirinya dipenuhi oleh pemikiran itu. Padahal sosok yang menjadi objek pikirannya, tidak pernah mempermasalahkannya. Sherina mengkhawatirkan hal yang bahkan tak pernah kekasihnya ungkit.

Dalam pandangannya, sosok itu terlihat sempurna. Fauzi, dengan mendengar namanya saja, rasanya Sherina mampu untuk memujinya habis-habisan. Fauzi adalah seorang musisi yang namanya sudah banyak tertera dalam lagu para penyanyi. Bahkan baru-baru ini dia baru saja mengambil langkah untuk menyanyikan lagu ciptaannya di ruang publik.

Kepribadiannya memang tidak terlihat hangat saat awal, tapi Fauzi bisa membuat rasa nyaman hadir. Terlebih dengan wajahnya, hal yang akan selalu dilihat oleh orang-orang saat pertemuan pertama.

Di antara hal baik yang membuat sosok itu pantas dicintai, Sherina tidak mengerti kenapa Fauzi memilih dirinya. Padahal ada banyak yang akan terlihat lebih pantas sebagai pasangan laki-laki itu.

Perempuan itu menarik napasnya, berusaha mengalihkan fokus pikirannya. Dia sekali lagi melihat pada televisi, masih ada wajah kekasihnya di sana karena acara yang diputar tidak disiarkan secara langsung. Dia tertawa lebar karena candaan yang dikeluarkan oleh pembawa acaranya.

“Kak Zi, seharusnya kamu gak sama aku,” gumamnya pelan, “kamu bahkan gak pernah ketawa kayak gitu pas sama aku.”

Sherina berdiri, memilih untuk mematikan televisinya. Dia terdiam untuk beberapa saat, memandangi layar hitam benda itu. Tepatnya, pada bayangan dirinya yang ada di sana.

“Lihat, Na. Apa yang ngebuat Kak Zi suka sama kamu? Gak ada. Dia waktu itu gak sadar pas minta kamu jadi pacarnya.”

Perempuan berumur 24 itu mengalihkan pandangannya pada jam dinding. “Sekarang, mungkin waktu yang tepat.”

Sherina mengambil tas kecilnya, ia akan pergi ke studio laki-laki itu sekarang.

Sherina harus sesegera mungkin melepaskan Fauzi dari dirinya.

Ia sadar kalau itu akan lebih baik untuk Fauzi.

Sepanjang perjalanan, Sherina tidak dapat fokus. Ia tenggelam dalam pemikirannya. Membiarkan dirinya untuk semakin terjebak dalam keraguan akan dirinya sendiri.

Sherina tidak menduga bahwa untuk sekedar membuka pintu pun, ia akan merasa sangat kesulitan. Tangannya kelihatan bergetar ketika akan membuka pintu itu. Namun, sebelum tangannya dapat menyentuhnya, benda itu sudah terbuka lebih dulu. Menampilkan seseorang yang tak akan pantas untuk ia lupakan.

“Ah Na,” ucap laki-laki itu, “aku kira kamu bakal lebih lama.”

Lidah Sherina terasa kelu, ia tidak membalas ucapan Fauzi. Yang lebih tua sedikit memiringkan kepalanya, sadar kalau orang di hadapannya melamun.

“Hey, Na. Jangan ngelamun.”

“Ah, maaf, Kak,” ucapnya pelan dan dibalas dengan senyuman hangat dari Fauzi.

“Gak papa, ayo masuk.” Tangannya ditarik lembut, Sherina bisa apa selain menurut?

“Aku belum kepikiran mau nulis lirik baru kayak apa,” ungkap Fauzi setelah memastikan kekasihnya duduk nyaman di sofa yang ada studionya. Sementara dirinya duduk di kursi kebanggaannya, tepat didepan komputernya.

“Kangen, tapi gak berani meluk. Kamu kelihatan bad mood. Kamu lagi kayak gitu, 'kan?” ucapnya lagi, yang tanpa sadar membuat Sherina mengepalkan kedua tangannya. Perempuan itu bahkan menghindari kedua pasang mata mereka bertemu.

Sherina tidak dalam suasana hati yang buruk, ia hanya merasa kosong dan itu terasa menyesakkan. Terlebih ketika tadi ia menatap Fauzi.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi dirinya tidak akan bisa menatap Fauzi dalam jarak sedekat ini.

“Na,” panggil Fauzi, karena ucapan yang keluar dari mulutnya tidak kunjung mendapat jawaban.

“Kak, aku tadi nonton kamu yang diundang ke acara musik itu,” ucap Sherina, langsung mengundang raut heran dari lawan bicaranya.

Kenapa Sherina tiba-tiba membahasnya?

“Kamu ketawa, kelihatan lepas banget. Aku bersyukur karena ada orang yang bisa ngebuat Kakak ketawa,” ujarnya lagi, “beda sama aku, Kakak bahkan jarang ketawa kalau sama aku.”

Sherina menunduk, tak sanggup melihat reaksi apapun yang akan dikeluarkan Fauzi. Kedua tangannya saling meremat, gerakan kecil supaya ia tidak mundur lagi dan menyelesaikannya sekarang.

“Maaf, Kak. Seharusnya dulu aku gak berharap lebih ketika Kak Zi deketin aku, seharusnya aku gak pernah nerima ajakan Kakak. Maaf karena aku malah ngebuat semuanya jadi rumit.” Ada isakan yang lolos dari perempuan itu, membuat Fauzi memejamkan matanya.

Dia tak pernah menduga bahwa Sherina akan seperti ini. Apa alasan perempuan itu mengatakan hal menyakitkan ini padanya? Apa karena dia terlalu sibuk sehingga Sherina sana berkata demikian?

“Na, ken—”

“Kak Zi, let's break up,” potong Sherina, “you deserve someone better than me.

Fauzi bahkan tidak bisa mendengar keraguan dari suara perempuan itu. Meskipun, selalu ada isakan yang keluar setelahnya.

Fauzi tidak suka ketika perempuan itu menangis dan dirinya tidak sanggup berbuat apa-apa.

Tangannya bergerak untuk masuk ke dalam saku jaketnya, meremat kotak kecil yang ada di sana. Kepalanya menggeleng, membatalkan niatannya. Sherina sudah tidak nyaman dengan hubungan mereka, dan Fauzi tidak boleh memaksanya.

“Na, look at me,” ucap Fauzi, tapi tidak dituruti. Laki-laki itu memejamkan matanya, ia sudah tidak sanggup mendengar tangisan Sherina.

“Kalau kamu mau kita pisah, aku bakal nurutin keputusan kamu. Kamu udah gak nyaman dalam hubungan ini, aku paham. Aku ... aku gak akan paksa kamu untuk mengatakan alasannya, Na.”

Fauzi berdiri, berjalan mendekati perempuan yang mencoba menghentikan tangisannya. Ia yang memutuskan untuk mengakhiri, tapi ia juga yang menangis.

Fauzi berlutut dihadapan perempuan itu. Tangan bergerak untuk membingkai kedua sisi wajah mantan kekasihnya itu, menghapus jejak air mata yang ada di sana.

Malam itu, Sherina dapat melihat senyuman paling hangat yang belum pernah Fauzi tunjukkan. Senyuman itu, untuk dirinya.

“Hey, Na,” panggil Fauzi, seperti biasanya, “aku selalu ada di sini. Kalau kamu butuh sesuatu jangan ragu untuk hubungi aku, ya. Maaf kalau ternyata sikapku membuat kamu gak nyaman. Selepas ini, tolong bahagia, ya?”

Bagaimana bisa Sherina bahagia ketika alasannya saja baru ia lepaskan?

Sherina tidak tahu dirinya yang berlebihan atau bagaimana. Bahkan laki-laki ini hanya menunjukkan raut kecewanya, tak ada tangisan atau melakukan sesuatu agar Sherina menarik kembali keputusannya.

Seolah keputusan yang Sherina tawarkan adalah hal yang ia damba sejak lama.

“K-kak, aku ... aku mau pulang.”

Fauzi mengangguk. “Mungkin ini bisa menjadi terakhir kali. Jadi, izinin aku antar kamu pulang, ya?”

Sherina mengangguk. Benar akan selalu ada kemungkinan bahwa ini terakhir kali. Namun, membayangkan hari esok tanpa sosok di hadapannya terasa begitu menyesakkan.

Perjalanan mereka diisi keheningan. Sekali lagi, keduanya membiarkan pemikiran dengan tanda tanya memenuhi kepala.

Semakin lama, Sherina semakin merasa sesak. Ada tangis yang ingin ia keluarkan lagi, tapi alasan tangis itu bahkan ada di sebelahnya.

Ketika mobil itu berhenti di depan rumahnya. Sherina hanya sanggup melirihkan kalimat, 'terima kasih banyak' dan pergi keluar dari mobil itu. Berlari ke kamarnya untuk langsung menumpahkan segala perasaan yang membuatnya sesak.

Yang tidak diketahui Sherina, mobil Fauzi bahkan belum sanggup meninggalkan tempat itu. Fauzi menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan lengan yang ia tumpu pada kemudi mobil, punggungnya terlihat bergetar.

Ia menangis, lengkap dengan sebuah kotak kecil berisi cincin yang seharusnya ia berikan hari ini pada sang kekasih. Yang kenduian tidak apan pernah sampai pada orang yang ditujunya, pemiliknya.

*Mungkin.”


Tidak banyak yang berubah pada dunia Sherina ketika ia sudah melepas Fauzi. Bahkan rasanya ia masih bergantung pada laki-laki itu, dan Fauzi selalu menawarinya hal yang membuat Sherina tidak bisa lepas darinya.

Bingung? Tentu.

Tanpa sadar, Sherina mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Kemudian membuatnya kewalahan ketika Fauzi membalas, 'Kata siapa?'

Suara pintu yang diketuk cukup membuat kesadaran Sherina kembali ke dunia. Perempuan itu dengan segera menghampirinya. Ketika melihat sosok dibalik pintu adalah Fauzi, ia secara spontan akan menutupnya lagi kalau saja Fauzi tidak cepat-cepat menahannya.

“Hey, Na. We need to talk.”

Sherina membiarkan laki-laki itu membuka pintunya, memegang kedua bahunya dan mendorong pelan Sherina agar keduanya dapat masuk ke dalam. Ketika sudah duduk berdampingan, ada canggung yang terasa di sana.

You know? I thought you didn't love me anymore.

“Aku setiap hari selalu berpikir apa yang ngebuat kamu mau kita mengakhiri hubungan ini. Apa karena aku terlalu sibuk atau karena hal lainnya. Bodohnya, aku sama sekali gak pernah bertanya langsung karena gak mau menekan kamu.”

Sherina memejamkan matanya. Fauzi pun sama, laki-laki itu membiarkan dirinya tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

“Di malam ini, aku tadinya mau melamar kamu. Tapi, kalau kamu mau kita berakhir aku bisa apa?”

Sherina menoleh, membuat mata mereka bertemu. Ada raut terkejut yang diperlihatkan perempuan itu. Fauzi meraih tangannya, meletakkan kotak merah itu di sana.

“Aku tahu, aku ditolak sebelum berucap. Tapi, cincin ini akan selalu jadi milik kamu, Na.”

Sherina menunduk. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan, ada keraguan tentang keputusannya yang kembali mencuat ke permukaan.

“Kak, dunia kamu sama dunia aku tuh beda banget. Rasanya kamu terlalu tinggi, dan aku gak pantas untuk mengimbangi kamu,” ucap Sherina pelan, “ada banyak orang yang lebih baik dari aku untuk kamu. I don't deserve your love.

Keheningan menjebak keduanya. Sherina yang kini berusaha menahan air matanya untuk tidak keluar dan Fauzi, entahlah apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu sekarang.

Fauzi tiba-tiba tertawa. Sekali, lagi Sherina melihat ke arahnya. Tawa itu terasa beda, seolah ada rasa sakit yang diikut sertakan. Atau mungkin, memang demikian.

“Lucu ya, komunikasi kita tuh ternyata sepayah ini? Kita rela-rela tenggelam dalam dugaan masing-masing dan itu nyakitin diri sendiri.”

Fauzi sekali lagi membawa dirinya untuk bersimpuh di hadapan yang lebih muda. Laki-laki memberanikan dirinya untuk memegang tangan Sherina.

“Na, kamu bahkan sangat pantas untuk dicintai seluruh dunia. Ayo sudahi kesalahpahaman yang ada di antara kita.”

Laki-laki itu mengambil alih kotak yang ada di tangan Sherina. Fauzi membukanya, dan kemudian berkata, “You deserve the very best, someone who will back you up without limits, let you grow without borders, and love you without end.

Laki-laki itu menjeda kalimatnya ketila melihat ada air mata yang lolos dari mata indah Sherina, entah disadari atau tidak oleh perempuan itu. Jari Fauzi bergerak untuk mengusapnya.

“Hey, Na.” Panggilan itu selalu terasa hangat jika keluar dari mulut Fauzi. “Will you let me be the one, Na?

“K-kak, dengar. A-aku gak pan—”

“Sherina, yang tahu pantas atau tidak buatku itu ya aku sendiri. Kamu gak akan pernah tahu kecuali aku yang ngasih tahu.”

Fauzi tersenyum tipis. “Let me tell the world, that Sherina really deserves to have me and get my love.

Pecah. Tangis Sherina sekali lagi pecah di hadapan Fauzi. Tapi, keduanya seolah tahu apa alasan dibalik tangis itu, atau jawaban dari pertanyaan tadi yang digantung.

Would you be my wife, Na?

Sherina mengangguk, disusul dengan pelukan hangatnya. Untuk Fauzi.

Mereka berhasil menyingkirkan keraguan buah pemikiran masing-masing yang tak pernah berani disuarakan. Malam itu, keduanya merasa menjadi dua orang yang ditawari kebahagiaan oleh semesta.

—dan mereka pantas mendapatkannya.


-honeyshison

Ps; sorry for typo(s).