eyes

Tags : linokkura, minho, sakura, panic attack, mention of death, bullying, and accident, toxic family, romance, hurt/comfort, open ending.

note: ini hasil remake, sebelumnya cerita ini pernah dipublikasikan di wattpadku, @AnjaniNeva22. Ini hampir 6k words dan alurnya maju mundur, diceritakan gak terlalu detail juga. Kemungkinan juga akan ada typo. Enjoy the ride!


Namanya Miyawaki Sakura, gadis keturunan Jepang yang langsung menjadi primadona saat kedatangan untuk pertama kali ke kampus itu. Sakura masuk ke jurusan tata boga yang membuatnya semakin dipuja di kampus.

Katanya Sakura cantik ya, pinter masak lagi.

Katanya Sakura cantik, jago masak dan cocok untuk dijadikan istri.

Katanya Sakura baik, murah senyum meski kadang tidak mengerti ucapan mereka. Tapi karena cantik, dimaafkan.

Cantik, cantik, cantik.

Jujur, Sakura tidak menyukainya. Bukan, bukan artinya dia tidak bersyukur dengan apa yang didapatkannya. Namun, dengan pujian-pujian itu ia malah semakin merasa hampa.

Semakin merasa kecil karena orang-orang lebih mengutamakan untuk melihat wajahnya.

Semakin merasa tidak pantas untuk semuanya hanya karena pujian cantik yang datang terus-menerus.

Sakura bukanlah orang yang akan senantiasa tersenyum untuk semua orang meskipun ia tidak menyukainya. Mungkin untuk saat ini ia masih bisa berpura-pura.

Masih bisa bersikap ramah.

Masih bisa mengucapkan terimakasih untuk semua pujian yang diberikan padanya.

Masih bisa bersikap seolah ia senang dengan orang-orang itu.

Yah, Sakura masih bisa berpura-pura untuk hal-hal itu. Setidaknya, untuk sekarang.

“Ngelamun!”

Sakura tersentak kaget dan langsung memasang senyuman pada orang itu. Sahabat lamanya yang ternyata satu kampus dengannya.

“Sakura-chan melamun, mikirin apa?” Tanyanya dengan nada yang ceria.

“Eh tidak memikirkan apa-apa kok, Dahyun,” balas Sakura, terdengar kaku.

Dahyun mengangkat kedua alisnya bingung, namun tidak berminat untuk bertanya lebih. Dia tersenyum lagi dan berkata, “Jalan, yuk?”

Sakura mengerjapkan matanya, tidak langsung membalas. Mengingat apakah dia punya janji setelah ini atau tidak, tidak lama setelahnya perempuan itu mengangguk.

“Ayo.”

Dahyun langsung menunjukkan raut antusiasnya. Ini pertama kalinya Sakura menerima ajakannya. “Aku mau ajak kamu buat lihat seseorang!”

Sakura hanya mengangguk dan menurut ketika Dahyun menarik tangannya agar dia mengikuti langkahnya. Menuju seseorang yang Dahyun maksud, entah siapa itu.

Sakura kira seseorang yang dimaksud Dahyun akan jauh sehingga perlu menaiki kendaraan terlebih dahulu, tapi ternyata tidak. Ketika langkah keduanya berhasil keluar dari lingkungan kampus, Dahyun sudah berhenti dan membuat Sakura juga turut berhenti.

Dahyun sudah keburu memberi isyarat padanya agar ia melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Dahyun. Sakura menutup mulutnya kembali, niat bertanyanya ia batalkan. Sakura langsung mengikuti arah yang dimaksud Dahyun.

Ada seseorang di seberang jalan, seorang laki-laki yang duduk di halte depan kampus dan tampak memandang kosong ke depan. Seperti ke arah keduanya, tapi tidak.

“Orang itu adalah Minho.”

Sakura mengangkat kedua alisnya, jadi ini orang yang dimaksud Dahyun?

Tapi, dia siapanya Dahyun sampai perempuan itu ingin Sakura melihatnya?

“Dia salah satu orang yang ada dibawah yayasan ayahku, aku berharap kami bisa dekat tapi dia punya tembok pertahanan yang tinggi.”

Sakura langsung bertanya, “Kamu suka dia?”

Dahyun terdiam sebentar sebelum akhirnya menggeleng. “Dulu sih iya, sekarang sudah tidak.”

“Ohh,” balas Sakura, sejujurnya tak ingin mengetahui lebih lanjut. Terlebih kalau bukan orangnya sendiri yang bercerita.

“Dia susah didekati,” sambung Dahyun membuat Sakura spontan mengarahkan tatapannya pada laki-laki itu lagi. Posisinya masih seperti tadi.

“Bukannya mereka biasanya akan ramah?” tanya Sakura dengan nada kaku.

“Ah maksudku bukan seperti itu. Minho ramah kok, hanya saja dia seperti punya tembok yang menghalangi kita kalau mau mendekat padanya. Bukan mendekat secara harfiah,” ucap Dahyun lagi berharap pilihan katanya tepat agar Sakura cepat mengerti.

Sakura mengerjapkan matanya kemudian mengeluarkan ekspresi yang ia keluarkan kala baru menyadari sesuatu. Dahyun menghela napasnya lega, kemudian tersenyum tipis.

“Lalu tujuanmu menyampaikan ini padaku?”

“Tak ada tujuan khusus sih, sekedar mau memberi tahu saja.”

Sakura mengangguk paham, diam-diam merasa penasaran.

Apa benar sesusah itu?


Langkah Sakura lagi-lagi terhenti, ia tahu Minho tidak mungkin melihatnya. Namun, ia yakin Minho akan lebih peka pada sekitarnya, termasuk menyadari jika ada yang mengikutinya.

Itulah yang Sakura lakukan sedari tadi. Ia bahkan berbohong pada Dahyun kalau dirinya diberi perintah untuk pulang lebih awal sehingga acara jalan-jalan mereka dibatalkan.

Sakura berjengit ketika Minho tiba-tiba berbalik padanya dan langsung menunjuk Sakura dengan tongkat putihnya. Jika Sakura tidak memundurkan langkahnya, mungkin wajahnya sudah mengenai benda itu.

“Kau mengikutiku?” tanya Minho dengan nada mengancam.

“Ma-maaf Minho bukan maksudku seperti itu, aku hanya—”

“Kamu tahu namaku, kamu sengaja,” potong Minho.

Bola mata Sakura membulat, menatap Minho tidak percaya. Sakura menutup mulutnya dengan tangan. Sial, dia keceplosan.

“Benar, 'kan? Pulang saja sana,” ucap Minho lagi kemudian kembali berbalik. Melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda untuk menghentikan Sakura.

Sakura kembali mengikutinya dengan langkah cepat.

“Tunggu, Minho! Ijinkan aku ikut, ya? Sekali ini saja, boleh?”

“Tidak.”

“Ayolah Minho, kacamatamu keren tau. Jadi ijinkan aku ikut,” ucap Sakura nyaris seperti merengek.

“Tak ada hubungannya.”

“Please, aku mohon. Lagipula aku bisa berguna, kamu berjalan tanpa pendamping.”

“Terserah,” balas Minho, dari nadanya jelas terdengar kalau dirinya merasa malas.

Sakura tersenyum lebar. “Yeay!”

“Kamu siapa?”

Sakura memasang wajah terkejutnya. “Kamu bertanya padaku?”

“Tidak.”

“Ohhh, okay!”

“Sudah jelas aku bertanya padamu!” ucap Minho lagi, ketenangan yang ia coba pertahankan gagal sudah.

Sakura tertawa kecil. “Aku Sakura, Miyawaki Sakura!”

“Oh yang katanya cantik itu?”

Sakura mengerjapkan matanya untuk beberapa saat. Setelahnya, ia menatap Minho tidak menyangka.

“Bahkan kamu pun tahu?!”

“Jangan percaya diri, di area kampus itu banyak yang membicarakanmu. Aku hanya mendengar secara tidak sengaja,” ucap Minho sekaligus menjadi kalimat terpanjangnya hari ini.

“Iya, siapa juga sih yang percaya diri?!”

“Kamu.”

“Kamu percaya diri dengan mengatakan aku seperti itu!”

“Ya ya terserah,” balas Minho, mengakhiri perdebatan yang menurutnya konyol.

Sakura menarik napasnya, berusaha menetralkan rasa kesalnya. Mungkin ini tembok tinggi yang Dahyun maksud.

Minho menyebalkan.


Sejauh ini, belum ada yang benar-benar bertanya kenapa Minho begitu membatasi dirinya dengan orang-orang padahal dia dinilai ramah. Alasan yang Minho punya adalah sesuatu yang masuk akal.

Menyangkut kepercayaan.

Saat kecil, Minho punya impian yang cukup tidak masuk akal. Dia ingin menjadi bintang-bintang di langit. Meski kecil, faktanya bintang bisa membantu bulan agar bersinar.

Minho ingin menjadi bintang dalam arti yang sebenarnya. Jelas hal itu sesuatu yang mustahil.

Kecelakaan yang dia alami sepuluh tahun yang lalu yang membuat penglihatan tak bisa berfungsi lagi. Hal itu berhasil merubah Minho menjadi sosok yang realistis, tidak ada lagi impian-impian kecilnya. Yang ada hanya bagaimana caranya agar ia dapat melanjutkan hidupnya untuk esok hari seorang diri.

Minho bersyukur karena yayasan ini mau merawatnya.

“Bintangnya banyak sekali.”

Minho tersentak, entah sejak kapan perempuan itu ada di sebelahnya. Itu Sakura, diikuti selama tiga hari membuat Minho hafal suara dan aroma parfumnya.

“Sejak kapan kamu ada di situ?” tanya Minho langsung. Sakura menoleh dan memasang ekspresi terkejut.

“Ehh kamu bisa mengenaliku sekarang?”

“Ada berapa banyak bintang?” tanya Minho mengalihkan pembicaraan.

“Banyak, aku tidak bisa menghitungnya.”

“Pemalas.”

Sakura berdecak, malas menanggapi Minho lebih lanjut. Kepalanya kembali mendongak, kali ini menatap bulan. Rasanya tidak sia-sia ia mengikuti Minho ke taman ini, dia merasa lebih lega.

“Waktu kecil aku mau jadi bulan, dia terang soalnya.”

Demi apa pun, Minho tidak bertanya. Ia bahkan nyaris melupakan perempuan yang ada di sebelahnya.

“Masa kecilku gelap. Kalau melihat bulan aku bisa merasa lebih lega.”

Minho terhenyak, Sakura benar-benar bercerita kepadanya?

Semudah itu?

“Orang-orang bilang menjadi cantik itu enak, bisa mendapatkan apa pun dengan mudah. Namun, tidak semudah itu, aku pernah nyaris dibunuh gara-gara cantik. Setiap hari makan pun ada aturannya, senyum tidak boleh terlepas dari wajah.”

“Kamu serius?”

Sakura menoleh pada Minho, menatap laki-laki yang memandang kosong ke depan. Tangan Minho tampak mencengkram tongkatnya.

Minho menolehkan kepalanya ke arah Sakura secara tiba-tiba. Berhasil membuat perempuan itu spontan memundurkan tubuhnya. Menciptakan jarak lebih jauh di antara keduanya.

“Kamu serius menceritakan semua itu padaku? Kamu percaya sama aku semudah itu?”

Sakura berhasil dibuat bungkam. Dia menunduk, jarinya memainkan ujung kemejanya canggung.

“Aku jadi bingung kenapa bisa selepas itu cerita ke kamu ... tapi aku merasa kita mirip.”

Minho kembali menolehkan kepalanya ke depan, menyimak apa yang akan diucapkan Sakura. Lagipula ia tidak ingin cepat pulang ke yayasan dan Minho pun tak akan meninggalkan Sakura yang seorang wanita begitu saja.

“Apa ya? Meskipun Minho tidak bercerita sama sekali, tapi mengikuti Minho tiga hari ini membuatku merasa kalau kita mirip. Minho membatasi diri dengan orang-orang karena kepercayaan, 'kan? Aku juga seperti itu, mungkin cara kita saja yang sedikit berbeda.”

“Ceritaku tadi rasanya mengalir begitu saja, Minho mendengarkanku dengan baik. Tidak seperti yang lain yang mengatakan kalau mereka tahu apa yang aku butuhkan, tapi tidak pernah membiarkan aku untuk didengar.”

Sakura mengakhiri kalimatnya dengan sebuah tarikan napas panjang. Menunggu seperti apa reaksi yang akan dikeluarkan Minho.

“Kamu nyaris dibunuh karena apa? Maksudku gak mungkin kan cuma karena 'cantik'.” Minho kembali menyinggung apa yang Sakura ceritakan di awal.

“Itu—”

“Jangan dulu bicara, bercerita butuh tempat nyaman. Setahuku di dekat sini ada bangku.” Minho menggerakkan tongkatnya mencari keberadaan bangku yang ia cari.

Setiap ke taman ini, Minho selalu berdiri di sini. Tak jarang ia menabrak bangku ketika memutuskan untuk pulang dari sana.

“Tiga langkah di depan, Minho,” ucap Sakura pelan, takut menyinggung.

“Oh bagus, ayo duduk.”

Sakura mengikuti gerakan Minho hingga keduanya duduk bersebelahan dengan jarak yang tak terlalu dekat.

“Kamu sekarang boleh bercerita. Omong-omong, terima kasih karena sudah percaya padaku.”

Sakura mengerjapkan matanya, bingung dengan sikap Minho. Sebenarnya seperti apa pola pikirnya? Sakura sampai tak berani untuk menebak.

“Masalah yang sudah tak aneh, seseorang bilang kalau aku merebut pacarnya. Padahal pacarnya sendiri yang mendekat padaku, terlebih dia suka membandingkan pacarnya dengan diriku. Tentu itu bukan hal yang akan diterima.”

Sakura meringis, kembali mengingat moment buruk itu. Namun, menceritakan ini bukanlah sesuatu yang buruk. Ia merasa lega.

“Perempuan ini, teman dekatku. Dia gak pernah menunjukkan rasa gak sukanya dan terus bersikap seperti biasa. Sampai suatu hari dia menyebar berita kalau aku merebut pacarnya, kata cantik yang dulu mereka bilang untuk memuji jadi untuk menjatuhkan. Aku dapat perundungan dan pernah ditabrak secara sengaja.”

Sakura membasahi bibir bawahnya, memeluk dirinya sendiri. Raut wajahnya terlihat sendu. “Setelahnya aku menyesal karena bisa terbangun. Momen-momen itu terlalu menyakitkan buat diingat dan aku gak punya alasan khusus buat bertahan.”

“Keluarga kamu?”

“Mereka ada, tapi mereka gak bisa diharapkan. Keluar dari rumah sakit aku tetap harus jaga penampilan supaya banyak tawaran pemotretan. Aku sampai di titik muak yang ngebuat aku makan apa pun yang aku mau, sebanyak-banyaknya. Sayangnya tubuh aku gak menerima, makanan itu seolah keluar lagi.”

“Aku masuk ke rumah sakit dua kali di waktu dekat, sisi baiknya mentalku mulai diperhatikan. Itu juga alasan utama kenapa aku pindah kesini,” ucap Sakura, berhasil menyelesaikan ceritanya. Pundaknya terasa ringan, meski sudah menceritakan semuanya pada dokter. Rasanya berbeda ketika ia bercerita pada Minho.

“Kamu tidak menangis?”

Sakura menggeleng. “Tidak.”

Minho tersenyum tipis. “Kamu sudah belajar ikhlas, hebat.”

“Kalau Minho kenapa? Uhm, tidak masalah sih kalau tidak mau cerita.”

Minho mengangguk, “Mau, ketika seseorang melakukan suatu hal padaku aku harus membalasnya dengan hal yang sama.”

“Jadi, aku mau cerita.”


“Sekarang, mereka belum menemuiku lagi. Mungkin mereka menganggap aku ikut terbakar di mobil itu.”

Sakura memandang Minho sedih, dia mengusap pundak laki-laki itu.

“Minho hebat ....”

“Tak usah lebay.”

Sakura terkekeh, membuat Minho ikut terkekeh juga. Sakura kembali mendongak menatap ke langit.

“Minho tadi bercerita pernah mimpi menjadi bintang, 'kan? Sedangkan aku menjadi bulan. Mungkin kita bisa mencapainya tapi untuk satu sama lain. Minho paham maksudku, 'kan?”

Minho tanpa berpikir lama langsung membalas. “Menjadi terang di saat gelapnya masing-masing?”

Sakura mengangguk puas mendengar itu. “Iya!”

“Sebelum itu, Sakura...” Minho menggantungkan kalimatnya. Tangannya kembali mencengkeram pada tongkatnya.

“Kenapa?”

“Aku boleh pegang wajahmu?”

Dalam hati Minho bertanya. Secantik apa Sakura sampai kecantikannya itu justru membuatnya mengalami hal yang menjadi kenangan buruknya?

“Boleh Minho, sini tangan kamu.”

Sakura meraih kedua tangan Minho sebelum ia arahkan pada wajahnya sendiri. Sakura terkekeh ketika Minho mulai mengelus wajahnya dengan jari-jari, seolah tengah  menggambar.

Tak lama kemudian, Minho menjauhkan tangannya. Badannya kembali tegak menghadap ke depan.

“Iya, kamu cantik. Mungkin akan lebih cantik kalau aku melihatnya bukan cuma merabanya.”

Lagi, Sakura berhasil dibuat bungkam oleh Minho entah untuk ke berapa kalinya.


Pikiran Sakura akhir-akhir ini tertuju pada seseorang. Iya, Lee Minho.

Laki-laki itu sudah hampir sebulan tidak terlihat, Sakura mencari ke Taman yang biasa Minho kunjungi, ia juga nekat pergi ke yayasan. Itu hampir setiap hari ia lakukan, tapi tak pernah sekali pun Sakura berhasil menemukan Minho.

Kemana perginya Minho?

Pihak yayasan menyatakan bahwa ada orang lain yang mendatangi mereka dan mengatakan bahwa Minho tidak akan lagi tinggal di sana. Orang itu akan membawa Minho bersamanya.

Siapa orang itu? Minho sendiri yang mengatakan bahwa keluarganya sekarang hanyalah orang-orang yayasan.

Namun, yang paling ingin Sakura ketahui jawabannya bukanlah hal itu. Melainkan, kenapa ia melakukan semua ini?

Kenapa ia seolah tak bisa tanpa Minho?

Mereka hanya dua orang yang dipertemukan untuk kembali mempercayai. Namun, jika dilihat lebih dalam bukan hal itu yang Sakura ingin pastikan.

Apa Sakura menyukai laki-laki itu atau sekedar nyaman karena akhirnya ia menemukan seseorang yang bisa ia nilai sama dengannya?

Sakura ingin memastikannya, tapi hal itu hanya bisa ia lakukan jika ia bertemu dengan Minho.

Yang entah di mana keberadaannya sekarang, Sakura sudah tidak ingin mencari.

Dia nyaris menyerah.

“Jadi, kenapa kamu murung akhir-akhir ini?” tanya Dahyun sembari meletakkan jus di hadapan Sakura.

“Untukmu, omong-omong.”

“Terima kasih, Dahyun.” Sakura menjawab dengan lemas disertai sebuah senyuman tipis yang dipaksakan.

“Tidak mau menjawab pertanyaanku?” tanya Dahyun lagi.

Sakura menggeleng. “Maaf.”

“Gak papa Sakura, aku gak akan memaksa. Tapi aku akan selalu menunggu kamu untuk bercerita, paham?”

Sakura mengangguk sebagai jawaban.

Mereka berdua terlarut dalam pemikiran masing-masing, Kantin yang ramai pun tak membuat keduanya terganggu. Sakura perlahan meminum jus yang diberikan Dahyun dengan pikiran yang masih terisi oleh orang yang sama, Minho.

“Oh iya, Sakura. Kamu ingat Minho?”

Selalu.

Sakura rasanya ingin menjawab seperti itu, tapi Dahyun tidak mengetahui apa yang terjadi diantara dirinya dan Minho. Jadi, perempuan berambut pendek itu hanya bisa mengangguk.

“Aku baru mendengar dari ayah kalau Minho sudah tidak dipegang oleh yayasan lagi. Dia sudah bertemu dengan keluarganya.”

Sakura mengernyit mendengarnya, Minho benar-benar bertemu keluarganya?

Lalu, Minho menerimanya?

Bukan kah keluarganya yang membuat Minho ada dalam kondisinya yang sekarang?

“Ah aku berharap dia akan semakin baik bersama keluarganya,” ujar Dahyun, dia sedikit sedih karena belum bisa banyak mengobrol dengan Minho. Padahal ia yakin Minho mempunyai kepribadian yang menarik, tidak hanya wajahnya saja yang menarik.

“Hey, melamun. Dengar kataku tidak sih?” tanya Dahyun sedikit mencebikkan bibirnya, sebal karena Sakura tak banyak memberi bereaksi.

Perempuan itu malah melamun sekarang.

“O-oh maaf, aku hanya berpikir, Dahyun. Memangnya sekarang mereka tinggal di mana?”

Sakura sangat berharap kalau Dahyun mengetahuinya. Namun, gelengan dari Dahyun embuat Sakura tanpa sadar menghembuskan napas karena kecewa.

“Aku tidak tahu, Sakura. Yang aku tahu hanya sebatas itu, mereka benar-benar menjaga privasi-nya.”

Sakura sekarang sadar. Kemungkinan ia bisa bertemu dengan Minho lagi hanya sedikit. Sangat sedikit bahkan nyaris tidak mungkin.


“Kalau Minho kenapa? Uhm tidak masalah sih kalau tidak mau cerita.”

Minho mengangguk. “Mau, ketika seseorang melakukan suatu hal padaku aku harus membalasnya dengan hal yang sama.”

“Jadi, aku mau cerita.”

Sakura diam, memberi ruang untuk Minho bercerita. Laki-laki itu memainkan jarinya yang memegang tongkat, setelah agak lama dia akhirnya bersuara.

“Mataku tidak berfungsi semenjak usiaku yang ke-10, kalau aku tidak salah ingat. Sedari kecil aku tinggal bersama nenek saja dan hari itu menjadi hari terburuk bagiku. Selain kehilangan penglihatanku, aku juga kehilangan nenek. Satu-satunya orang yang aku percaya di dunia.”

“Sebelum kecelakaan terjadi, nenek terus mengingatkanku bahwa aku akan sanggup melewati apa pun yang terjadi nantinya. Aku mengabaikannya karena yakin beliau tak akan meninggalkanku. Ternyata dia seperti yang lain, meninggalkanku juga.”

Minho mengambil jeda. “Kecelakaan itu direncanakan, mereka sengaja ingin aku dan nenek mati. Sayang sekali yang mati hanya penglihatanku, bukan aku. Mereka pasti kecewa tapi sampai saat ini mereka belum bertindak lagi, padahal aku yakin mereka tahu aku masih hidup.”

Sakura mengernyit mendengarnya. “Mereka siapa?”

Dia bertanya dengan ragu, takutnya Minho akan marah.

“Keluargaku, Sakura.”

Sakura tanpa sadar menahan napasnya.

“Tapi, kenapa?”

“Aku sendiri tidak tahu,” balas Minho diakhiri dengan tawa yang sarkas.

Minho menyandarkan dirinya dan memejamkan mata. “Dulu aku senang sekali melihat bintang apalagi nenek terus meyakinkanku kalau nanti aku bisa menjadi seseorang yang bersinar seperti bintang. Tapi lihat sekarang, bagaimana bisa aku bersinar ketika yang bisa ku lihat hanyalah kegelapan?”

Sakura menggelengkan kepalanya, menghentikan kegiatan mengingatnya. Ia mengaduk malas ice coffee yang dibelinya dan menghembuskan napas lelah.

Ini bahkan hampir enam bulan laki-laki itu pergi, tapi Sakura masih saja kepikiran tentangnya.

Bisa-bisanya.

Sakura memperhatikan sekitarnya. Kafe yang akhir-akhir ini sering ia datangi itu tak terlalu ramai oleh pengunjung. Kalau ramai pun, mungkin Sakura sudah pergi sejak tadi.

“Halo, cantik.”

Mata Sakura spontan membulat, perempuan itu dengan panik menoleh ke asal suara.  Ada seorang laki-laki yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya. Sakura tanpa sadar menjauhkan badannya dan sedikit membawa kursinya ke samping, memberi jarak lebih jauh di antara mereka.

“Ah, maafkan aku karena tiba-tiba duduk di sini. Tidak ada meja yang kosong lagi soalnya, pada serakah duduk sendiri-sendiri,” ujarnya dengan santai.

Sakura mengernyit, memang banyak yang duduk sendiri. Namun, kenapa harus dirinya yang didatangi?

“Aku duduk disini karena ku pikir kamu tidak akan terganggu, yang lain membawa laptop atau memesan makanan. Sementara kamu hanya minum dan ... melamun.”

Sakura mengangguk paham, baiklah itu bukan alasan yang aneh.

Laki-laki itu menyesap kopi yang dipesannya. “Oh iya, namaku Juyeon, Lee Juyeon.”

Diakhiri dengan senyuman, matanya pun ikut tersenyum.

Sakura terdiam, kenapa sosok dihadapannya ini malah mengingatkannya pada Minho?

“Aku Sa—”

“Hei Juyeon! Aku hanya memesan kue dan kamu sudah mendekati perempuan lain? Yang benar saja!”

Ucapan Sakura terpotong oleh suara seorang perempuan yang mendatangi mereka. Mata Sakura bergetar, suasana ini mengingatkannya pada masa lalu.

Pada kejadian yang masih beberkas di kepalanya.

“Eh Eunseo sayang, bukan begitu. Aku hanya mencari meja dan tidak ada yang kosong jadi—”

“Alasan, bilang aja karena dia cantik?”

Cantik.

Kata itu menggema di telinganya. Sakura memandang keduanya takut, beriringan dengan telinganya yang terus mendengar suara-suara dari masa lalunya. Tubuh Sakura bergetar.

“Jangan mentang-mentang kamu cantik, kamu bisa dapat semuanya!”

“Cih modal cantik doang.”

“Apa yang orang-orang lihat dari kamu? Mereka cuma melihat kamu karena kamu cantik!”

“Kamu jahat, Sakura. Kamu gak pantas untuk hidup.”

“Oh lihat siapa yang mencoba merebut kekasihku? Sahabatku yang cantik.”

“Iya, kamu cantik. Mungkin akan lebih cantik kalau aku melihatnya bukan cuma merabanya.”

Tubuh Sakura bergetar, dia menutup telinganya berharap hal itu bisa membuatnya tak mendengar suara-suara itu lagi. Kepalanya menggeleng, berusaha mengusir semua bayangan masa lalunya.

Dua orang yang sebelumnya berdebat itu langsung mengalihkan perhatiannya pada Sakura. Eunseo berjalan mendekat dengan khawatir. “Hey, kamu baik-baik saja?”

Tak ada jawaban, Sakura masih menggelengkan kepalanya dengan ribut.

“A-aku janji, aku ti-tidak akan melakukan itu. To-tolong jangan sakiti aku, bu-bukan aku yang ingin ca-cantik. BUKAN!”

Teriakan Sakura sukses menarik perhatian pengunjung lain. Mereka mulai saling berbisik karena beberapa di antaranya mengenali sosok Sakura.

“Oh bukannya itu anak pindahan?”

“Eh dia kenapa?”

“Waduh, dia gila ternyata?”

“Sayang, ya, padahal cantik ternyata agak—”

“KALIAN APA-APAAN SIH?!” teriak Eunseo dan sukses membuat kafe itu menjadi hening seketika.

“Seo, tenang,” bisik Juyeon setelahnya, menyadari keadaan Sakura yang makin bergetar setelah Eunseo berteriak.

Eunseo menarik napasnya, berusaha untuk tenang. Perempuan itu kemudian merangkul Sakura dan membantunya berdiri.

Ia harus membawa Sakura ke tempat yang sepi. Setidaknya, agar emosinya tidak terpancing akibat komentar yang orang-orang kira mereka keluarkan sebagai bisikan itu.

“Ju, tolong bawa barang-barang, ya.”

Juyeon mengangguk paham dan dengan cepat menurutinya. Kemudian mengikuti dua perempuan itu dengan sesekali memberikan tatapan muak pada orang-orang yang masih membicarakan Sakura.

Eunseo membawanya hingga ke taman yang ada di dekat kafe. Tak terlalu ramai untungnya. Mungkin karena cuaca yang cukup terik.

Ia mendudukan Sakura di sana dan memberikan elusan pada pundaknya. Berharap hal itu bisa memberi efek menenangkan pada Sakura.

“Kamu bawa obatmu?” tanya Eunseo lembut, tapi Sakura lagi-lagi tak memberikan jawaban. Ia masih terus menggumamkan kata maaf dan bukan keinginannya untuk menjadi cantik. Seperti tadi.

“Ju, coba lihat di tasnya. Ada obat gak?” Eunseo menatap Juyeon yang kemudian langsung dituruti oleh laki-laki itu.

“Ini?” tanya Juyeon setelah menemukan sebuah botol kecil berisi banyak pil. Dia memastikan karena tak ada tulisan apapun di botolnya. Namun, bentuk dan warna obatnya tidak asing, Juyeon sering melihatnya.

“Tak ada tulisan tapi mirip sama obat kembaranku,” sambungnya kemudian.

“Ini ada tulisannya,” ucap Eunseo menunjuk pada tutup botolnya.

Juyeon meringis. Ia panik, jadi kurang teliti.

Eunseo membacanya. “Oh bener, sama kayak punya kembaranmu.”

“Ada air gak?” sambungnya.

Juyeon dengan cepat mengeluarkan botol minum dari tas Sakura. Tampaknya perempuan itu memang selalu membawa dua benda ini.

“Hey, minum dulu, ya, obatnya.”

Untungnya Sakura tak memberontak, Eunseo membantunya untuk minum.

“Sekarang tarik napas dalam-dalam,” instruksi Eunseo setelah getar pada tubuh Sakura berkurang.

“Semuanya baik-baik aja.” Kalimat ini terus Eunseo bisikkan pada Sakura. Juyeon hanya mengamati, ia seperti melihat kembarannya yang belum lama ini dipertemukan padanya ada dalam diri Sakura.

Secara perlahan getar yang terjadi pada tubuhnya menghilang, Sakura perlahan menjadi tenang kembali. Ia bisa mengendalikan dirinya lagi.

Perempuan itu memandang keduanya sayu.

“Terima kasih banyak,” ucap Sakura dengan pelan.

“Bukan masalah, maaf kami sembarangan membuka tas-mu, ya?”

Sakura menggeleng. “Tak apa, kalian hanya mengambil obat dan air minum, 'kan?”

“Iya, hanya itu.”

“Aku Eunseo, maaf kalau perkataanku malah menyerangmu. Aku hanya kesal pada Juyeon dan sudah karakterku selalu blak-blakan,” ujar Eunseo.

Dia merasa bersalah, pasti dari kalimatnya tadi ada yang memancing Sakura seperti ini.

“Tak apa,” balas Sakura, “aku Sakura.”

Ada hening yang terjadi, kedua orang itu saling memandang satu sama lain dengan pandangan terkejut.

“Miyawaki Sakura?” tanya Eunseo dan aggukan Sakura membuat ia dan Juyeon kembali saling memandang tak percaya. Sakura tak berani untuk bertanya mengapa mereka bersikap seperti itu.


“Ini enak sekali, kamu serius memberiku gratis?” tanya Eunseo setelah mencicipi sepotong kue yang Sakura tawarkan.

Sakura tersenyum tipis. “Tentu.”

Semenjak kejadian dua tahun lalu, keduanya menjadi dekat. Tentunya, dengan Dahyun juga.

Yang tidak diduga, Eunseo satu kampus dengan mereka, hanya berbeda fakultas saja. Sekarang ketika sudah lulus dan bekerja pun, mereka masih sering berkumpul. Walau tak sesering saat kuliah dulu.

Tempat berkumpulnya pun jarang berganti kalau sekarang, selalu di kafe milik Sakura.

Selama itu juga keduanya menemani Sakura untuk pulih dari traumanya. Meski kadang masih menjadi trigger untuk Sakura, kata cantik tak terdengar semenakutkan itu untuknya sekarang.

Sakura sekarang tinggal sendiri, tidak bersama keluarganya. Mereka pun tak lagi menekannya untuk selalu tampil dalam keadaan baik. Mereka sadar kalau itu salah, jadi Sakura tak lagi ditekan untuk mengambil pemotretan atau apapun yang membutuhkan wajahnya.

Tentang Minho, apa yang ia lalui cukup untuk membuat pikiran Sakura tak selalu kepadanya. Meski terkadang, ketika sendiri laki-laki itulah yang Sakura ingat.

Mau bagaimanapun, Minho adalah satu-satunya orang yang tak menimbulkan kepanikan ketika ia memuji Sakura cantik.

“Terima kasih banyak kalau begitu,” ucap Eunseo dan melanjutkan kegiatan makannya. Ucapan perempuan itu juga berhasil membawa Sakura ke dunianya lagi.

“Dahyun tumben terlambat, ya,” ucap Sakura, ia sengaja menutup kafenya lebih awal karena dua sahabatnya ini akan berkunjung.

Panjang umur. Tak lama kemudian pintu kafe Sakura kembali terbuka, menampilkan sosok Dahyun dengan napas terengah.

“Eunseo, sudah lihat berita belum?” Dahyun yang baru datang sudah membawa topik pembicaraan. Ia tadinya berjalan santai, tapi artikel yang ia baca ketika dalam bis membuatnya ingin buru-buru sampai.

“Hai Dahyun, sini cicipi menu baru kafe ini,” ujar Sakura menunjuk pada satu piring yang berisi kue yang sama dengan Eunseo tadi. Ia sengaja menyiapkan masing-masing satu potong untuk keduanya.

“Wah! Tampaknya enak,” seru Dahyun, seketika lupa dengan apa yang ia ucap sebelumnya. Perempuan itu duduk dan langsung mencicipinya.

“Seperti biasa, kamu memang jago urusan kue begini. Oh ya, maaf aku terlambat. Ada pelanggan menyebalkan tadi,” ujar Dahyun.

“Tak masalah,” balas Sakura.

“Berita apa, Hyun?” tanya Eunseo kemudian, membalas pertanyaan Dahyun sebelumnya dengan pertanyaan juga.

“Itu Infukno tuh perusahaan punya keluarga pacarmu, 'kan?”

Eunseo mengangguk.

“Mereka hari ini mengumumkan pewarisnya dan itu bukan Juyeon? Selama ini yang selalu tersorot di publik, 'kan, Juyeon. Aku heran saja.”

Eunseo mengangguk lagi. “Juyeon, 'kan, kedokteran jadi dia tidak akan menjadi pewaris. Yang jadi pewarisnya itu kembarannya.”

Sakura memilih untuk menyimak pembicaraan itu dalam diam.

“Tapi, aku juga penasaran. Soalnya dia mirip dengan seseorang yang pernah tinggal di yayasan ayahku. Bahkan nama mereka pun sama.”

Sakura spontan menahan napasnya, apakah yang Dahyun maksud adalah Minho?

Dahyun mengeluarkan ponselnya dari dalam tas yang ia bawa. Kemudian menunjukan artikel yang ia maksud pada kedua sahabatnya itu.

“Sakura kau ingat Minho, 'kan? Lihat, mereka sangat mirip tapi aku ragu karena Minho yang ini ... bisa melihat.” Dahyun berucap ragu di akhir kalimatnya, takut salah bicara dan menyinggung. Namun, memang itulah perbedaan yang membuatnya merasa ragu.

Sakura membeku, apa yang Dahyun katakan memang benar. Foto yang ada dalam artikel itu mirip dengan Minho, nama yang tertera di sana juga Lee Minho.

Namun, di saat yang sama mereka terlihat berbeda. Itu bukan hanya tentang matanya.

Eunseo menatap Sakura sekilas untuk melihat reaksi apa yang sahabatnya itu keluarkan. Dia kemudian beralih pada layar ponsel Dahyun sebelum melihat pada pemiliknya.

“Uhm ... aku bertemu dengan Minho dua tahun yang lalu, mungkin? Aku mendengar dari Juyeon kalau mereka tidak tinggal bersama sejak kecil, Minho tinggal dengan neneknya,” ucap Eunseo.

Ia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya. “Waktu pertama kali bertemu dengan Minho tak ada yang berbeda dengan kondisinya yang sekarang. Dia bisa melihat.”

Mendengar itu, Sakura menggelengkan kepalanya. “Tidak, Dahyun. Dia bukan Minho yang kita kenal.”


“Aku tiba-tiba kepikiran, bagaimana kalau kita bertemu tidak dengan keadaan sekarang? Aku tidak cantik dan kamu bisa melihat.”

Minho tergelak mendengar apa yang Sakura ucapkan. “Kalau begitu mungkin kita tak akan saling mempercayai, Sakura.”

Sakura terdiam, Minho selalu sukses membuatnya bungkam. Namun, entah kenapa Sakura tak pernah mempermasalahkannya.

“Kita seumuran, 'kan, Sakura? Kamu lahir bulan apa?” tanya Minho tiba-tiba, menyadari bahwa Sakura tak akan membalas ucapannya tadi.

“Maret,” balas Sakura.

“Oh kamu lebih tua dariku, aku Oktober.”

“Berarti bulan ini kamu akan ulang tahun?”

Minho mengangguk.

“Kamu ingin apa, Minho?”

Minho terdiam, tampaknya dia berpikir.

“Ijinkan aku menyentuh wajahmu lagi, ya? Sakura memang cantik, tapi aku hanya bisa merasakannya. Aku tak bisa melihatnya.”

“Hanya itu? Boleh kok, Minho. Sekarang pun boleh,” ujar Sakura diakhiri dengan senyuman manis yang sayangnya tak bisa Minho lihat.

Minho mengukir senyum tipis dan menggeleng. “Nanti saja saat aku ulang tahun. Kalau Sakura ingin apa?”

“Ulang tahunku masih lama.”

“Jawab saja.”

Sakura terdiam, ada permintaan yang sulit ia ucapkan. Ia takut hal itu akan menyinggung karena permintaannya itu terasa egois dan mustahil.

“Tidak usah ragu, katakan saja.”

“Aku ingin Minho selalu melihatku ... apakah aku egois karena meminta ini?”

Mimpi itu lagi, Sakura benar-benar membencinya.

Itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Minho sebelum laki-laki itu menghilang. Sakura mengusap kasar wajahnya mencoba menghilangkan bayangan kejadian yang telah lalu itu.

Perempuan itu menyalakan ponselnya, berniat untuk melihat jam. Namun, ada notifikasi lain yang menarik perhatiannya.

Sebuah artikel tentang seseorang yang kemarin Dahyun bahas. Kali ini artikelnya membahas tentang hubungan sosok itu dengan seorang model yang sering Sakura lihat wajahnya di setiap majalah.

Artikel itu menyatakan kalau mereka akan menikah.

Sakura semakin yakin, sosok ini bukanlah Minho.

Mereka hanya mirip.


“Sakura-chan, besok, 'kan, kamu ulang tahun. Bagaimana kalau kita pergi makan-makan?” ucap Dahyun.

Sekarang mereka bertiga tengah mengobrol lewat video call. Harusnya hari ini mereka bertemu, tapi Eunseo harus pergi ke kota tempat keluarga Juyeon tinggal. Ada acara keluarga yang dilaksanakan di sana, katanya.

Omong-omong mereka berdua memang menjalankan hubungan jarak jauh.

“Eunseo bagaimana?” tanya Sakura.

“Boleh, agak sore saja, ya? Aku akan pulang besok pagi.”

Dahyun dan Sakura kompak mengangguk.

“Omong-omong kamu kenapa tiba-tiba kesana, Seo?” Dahyun kembali bertanya, padahal ia sudah tahu kalau di sana ada acara keluarga. Ia hanya ingin tahu acara keluarga seperti apa.

“Hm tidak tiba-tiba sih, aku hanya lupa bilang pada kalian,” ucap Eunseo diakhiri dengan tawa canggung.

“Kalian tahu, 'kan, mereka itu keluarga bisnis? Jadi, sebelum pernikahan akan ada pertemuan dengan rekan bisnisnya, begitulah.”

“Oh iya, ada yang sebentar lagi akan menikah,” ledek Dahyun disambung dengan kekehan Sakura. Wajah keduanya jelas menunjukkan sedang meledek Eunseo.

Namun, Eunseo tak terpengaruh sama sekali. Apa yang mereka ucap memang kenyataan yang tak mungkin Eunseo tolak.

“Son juyeon, dipanggil mama!” Terdengar teriakan dari tempat Eunseo.

“Aku tidak akan tertipu lagi!” sahut Eunseo, ikut berteriak. Terlihat jelas kalau ia kesal.

Sakura dan Dahyun sama-sama menunjukkan raut canggung terlebih mereka bisa melihat pintu kamar Eunseo yang dibuka dan tampaknya perempuan itu tak menyadarinya. Ada seorang laki-laki yang masuk dan berjalan mengendap-endap seolah tak ingin ketahuan oleh Eunseo.

“Jadi, ayo kita lanj—”

“Halo teman-temannya, Son Juyeon!”  Yang semula wajah Eunseo berganti menjadi wajah seorang laki-laki yang tak asing.

“Lee Minho!”

Kemudian gelap, Eunseo memutuskan sambungannya dan menyisakan Sakura berdua dengan Dahyun.

Dahyun tertawa canggung. “Aku nyaris lupa kalau Eunseo hanya nama panggilannya.”

“Aku juga,” jawab Sakura terdengar tak fokus.

“Kalau begitu kita sudahi saja, ya, Sakura-chan? Segera pergi tidur, okay? Selamat malam!”

Sakura tersenyum tipis. “Selamat malam juga, Dahyun.”

Perempuan itu terdiam sembari memandang tampilan layar ponselnya yang kini berganti. Kembali pada ruang obrolan di mana ada mereka bertiga di dalamnya.

Ia melihat Minho, senyumnya juga sama. Namun, entah kenapa Sakura masih merasa bahwa Minho yang tadi bukanlah Minho yang selalu ia tunggu.

Entah apa yang membuat Sakura tetap teguh dengan pemikirannya. Pemikiran yang menyatakan kalau sosok itu bukanlah Minho yang ia kenal dulu.


“Ah, kemarin itu ada Minho karena dia harus memberi konfirmasi tentang kabar yang beredar. Ada yang membuat kabar kalau Minho berpacaran dengan seorang model. Itu bohong, mereka bahkan tak saling mengenal,” ucap Eunseo tiba-tiba padahal baik Dahyun atau Sakura tak ada yang bertanya.

Mereka berpikir keberadaan Minho tidaklah aneh ketika statusnya adalah kembaran Juyeon, terlebih kemarin Eunseo ada di rumah Juyeon, 'kan?

“Bukannya itu rumah Juyeon?” tanya Dahyun langsung.

“Iya, karena tempatnya lebih dekat jadi semuanya menginap di rumah Juyeon.”

“Ah, jadi Juyeon beda rumah?” tanya Soojin, Sakura lagi-lagi memilih untuk menjadi pihak yang menyimak.

Eunseo mengangguk. “Iya, rumahku juga nantinya,” ucapnya dengan malu-malu.

Dia yang berbicara, dia juga yang tersipu sendiri. Gelak tawa Dahyun pecah, ia menyikutnya lengan Eunseo, menggodanya. Sakura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya maklum.

“Nah sudah di sini, saatnya kita berpisah. Hati-hati semuanya, aku duluan, ya!” Dahyun berujar dengan ceria dan melambaikan tangannya. Setelah menerima balasan dari Sakura dan Eunseo dia segera menyeberangi jalanan.

“Sampai jumpa lagi, Sakura. Oh, iya, selamat ulang tahun sekali lagi! Semoga kamu tidak menangis setelah sampai rumah!” Eunseo juga ikut berpamitan.

Sakura bingung dengan maksud ucapan Eunseo, tapi ia memilih untuk tak menyuarakannya karena tak ingin menahan Eunseo. Ini sudah malam, mereka memang harus segera sampai di rumah.

Ia diam-diam merutuk, tapi tak bisa tak ia akui kalau dirinya merasa senang karena menghabiskan waktu hampir seharian bersama teman-temannya.

“Hati-hati ya, Eunseo.”

Eunseo menyeberang tapi ke arah yang berbeda dengan Dahyun tadi. Sementara Sakura hanya tinggal berbelok dan berjalan sebentar, maka ia akan sampai di rumah yang ia tinggali sendiri semenjak mempunyai kafe.

Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berjongkok di depan pintu rumah Sakura. Orang itu menyembunyikan kepalanya dibalik lipatan lengannya.

Sakura menjadi was-was.

“Hey! Kamu siapa?” Sakura berjalan mendekat dengan tangan yang mencengkeram tasnya. Bersiap-siap untuk memukul menggunakan itu jika laki-laki yang berada di depan rumahnya itu berbuat kurang ajar.

Laki-laki itu mendongak dan langsung menatap Sakura. Rautnya menjadi cerah seketika setelah melihat sosok itu.

“Sakura!” Dia mengambil kotak yang ia letakan di sebelahnya kemudian berdiri. Sebuah senyuman hangat terukir di wajahnya.

Sementara itu, Sakura merasa waktunya berhenti begitu tahu siapa laki-laki itu. Sakura memundurkan langkahnya, tidak menyangka kalau yang berdiri dihadapannya sekarang adalah Minho.

Lee Minho yang akhir-akhir ini selalu menjadi topik pembicaraan.

Minho membuka kotaknya dan berjalan mendekat pada Sakura yang mematung. Menatapnya tak percaya bercampur takut.

“Selamat ulang tahun, Sakura.”

Sakura menggelengkan kepalanya. Menekankan pada dirinya kalau sosok ini bukanlah Minhonya.

“Aku tahu Sakura pasti kecewa karena aku pergi tanpa mengatakan apa-apa, bahkan untuk sekedar berpamitan. Jika Sakura membenciku sekarang, aku akan menerimanya.”

Laki-laki itu mendekat lagi dan memegang bahu Sakura dengan sebelah tangannya agar perempuan itu tidak mundur lagi. Minho menunduk untuk memastikan kue yang dipegangnya tak akan terjatuh, kemudian menatap Sakura kembali.

Mata mereka bertemu dengan pandangan yang berbeda. Minho penuh keyakinan dan Sakura sebaliknya.

“Sakura, ini benar-benar Minho. Hanya saja, aku bisa melihat sekarang.”

Minho sedikit memiringkan kepalanya, masih memberi kehangatan lewat tatapannya.

“Dulu aku tidak berharap untuk bisa melihat lagi, tapi semenjak bertemu dengan Sakura, aku perlahan berharap. Meski hanya sebentar tapi jika itu untuk melihat Sakura, aku tak apa.”

Senyum Minho luntur ketika Sakura memutuskan kontak mata mereka dengan menundukkan kepalanya. Minho menjauhkan tangannya dari bahu Sakura, mungkin hal itu membuat Sakura tak nyaman sampai tak mau menatapnya.

“Aku janji akan menceritakan semuanya setelah ini, Sakura,” ucap Minho, ikut menunduk. Memilih untuk melihat pada kue ulang tahun yang ia bawa.

Ada hening di antara keduanya dan secara perlahan terdengar isakan yang sebisa mungkin Sakura tahan. Minho kembali menatap perempuan di hadapannya dan benar saja Sakura menangis dengan tangan yang menutupi wajah.

“Sakura,” panggil Minho.

Rasanya ia tak sanggup melihat Sakura menangis, terlebih ini pasti karena dirinya. Namun, menangis bukanlah kejahatan. Minho tak bisa melarangnya, Sakura berhak menyuarakan perasaannya lewat tangisan.

“Sakura, aku tahu Sakura keberatan dengan kata cantik. Tetapi, mau saat mataku tak bisa melihat ataupun sekarang. Sakura masih cantik, bukan hanya wajah, tapi sifatmu juga—semuanya yang ada dalam dirimu itu cantik.”

Sakura menggeleng, tangannya mengusap kasar wajahnya. Ia ingin berhenti menangis, tapi tak bisa. Yang ada air matanya malah semakin deras.

Sakura paham, laki-laki ini memang Minho. Minhonya—Minho yang selalu ia tunggu kehadirannya.

“A-aku tidak pernah—hiks menyangka kalau kamu Minhoku.”

Sakura berucap dengan sesekali terisak. Minho bungkam, tunggu Sakura barusan mengatakan apa?

Minhoku?

Minhoku.

Ia tidak pernah menyangka kalau Sakura sudah mengklaim dirinya. Minho tidak marah, tentu. Ia hanya merasa aneh, tapi tak bisa ia elak kalau itu terdengar menyenangkan.

“Aku minta maaf, Sakura. Aku—”

“Nanti saja berceritanya, aku tak ingin merusak hari ulang tahunku,” potong Sakura.

Dia tahu kalau ia memang akan selalu selemah itu jika berhadapan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Minho. Setidaknya, untuk kali ini Sakura belum mau mendengar apa saja yang telah Minho lewati.

Yang jelas laki-laki itu kini ada di hadapannya, untuknya.

Mendengar kalimat Sakura, Minho kembali memegang kotak berisi kue dengan kedua tangannya. Kembali disadarkan kalau kedatangannya kemari adalah untuk merayakan ulang tahun perempuan di hadapannya ini.

Laki-laki itu sedikit mengangkatnya. “Maaf, ya, aku tidak beli lilin. Jadi, tidak ada acara tiup lilin dan make a wish.

Sakura ingin rasanya berteriak kalau ia tidak peduli. Bahkan Eunseo dan Dahyun pun memilih untuk tak memberinya kue ulang tahun. Sakura punya kafe sendiri dan hampir setiap hari ia membuat makanan manis itu untuk pelanggan.

Namun, sepertinya Minho memang tak mengetahuinya.

“Selamat ulang tahun, Sakura,” ucap Minho, “aku tidak tahu ini masih pantas atau tidak untuk diucapkan, tapi aku ingin mengucapkannya dari pada tidak sama sekali.”

Minho mengukir senyuman hangat dan menatap Sakura dengan lekat. Tangan kanannya kembali bergerak untuk memegang salah satu pipi Sakura. Mengusap jejak air mata yang ada di sana.

Sementara Sakura mematung, bahkan tangan ini masih terasa familiar untuknya. Rasanya masih sama seperti saat Minho pertama kali menyentuh wajahnya dulu. Sakura bahkan masih mengingatnya.

“Aku akan menuruti permintaan Sakura waktu itu karena Sakura sekarang sudah mewujudkan permintaanku untuk memegang wajah Sakura.”

Mata kedua bertemu, hangat. Satu kata yang paling cocok untuk menggambarkan apa yang keduanya rasakan sekarang.

“Aku akan selalu melihat Sakura, bahkan jika Sakura tak memintanya. Aku akan tetap melakukannya,” ucap Minho, “tapi aku tak akan meminta Sakura untuk melakukan hal yang sama. Aku tak ingin memaksa dan membuatmu semakin benci padaku.”

Sakura menggeleng kecil. “Aku tidak membenci Minho.”

Ada jeda yang Sakura ambil, Minho terdiam memberikan Sakura ruang untuk berbicara.

“Aku juga akan selalu melihat Minho.”

Laki-laki itu terdiam sesaat dan secara perlahan senyuman terukir di wajahnya. Minho terkekeh tiba-tiba, bingung harus bagaimana mengekspresikan perasaannya sekarang.

Ia senang, tapi terlalu gengsi untuk berteriak di hadapan Sakura. Bersama dengan keluarganya yang sebenarnya, berhasil membuat Minho lebih ceria.

Mereka menyayanginya, bukan ingin menyakitinya. Ia punya kembaran dan calon istri kembarannya lah yang menjadi partner bertengkar sekaligus penghubung antara dirinya dan Sakura.

Awalnya Sakura mengira Minho tengah mengejeknya karena tertawa. Namun, setelah melihat mata Minho yang berkaca-kaca, Sakura paham.

“Sakura ... terima ka—”

“Jangan ucapkan itu, Minho.”

Minho mendongakkan kepalanya, ia sangat bahagia hingga rasanya ingin menangis. Namun, ia tidak ingin menangis di hadapan Sakura. Ah, Minho bingung harus menunjukkan perasaan bahagianya dengan cara seperti apa.

“Aku sayang sekali sama Minho, tolong jangan pergi lagi, ya? Setidaknya bilang padaku jika ingin pergi.”

Minho mengangguk. “Pasti. Lagi pula, sekarang aku tak akan pergi tanpa mengajak Sakura.”

Keduanya kembali saling menatap. Rasanya semuanya lebih dari cukup meskipun yang dilakukan mereka hanyalah menyelami mata masing-masing.

Minho mengelus pipi Sakura dan perlahan membawa perempuan itu ke dalam sebuah ciuman. Hanya kecupan, tapi mampu membuat keduanya seakan dibawa terbang.

“Cantik,” ucap Minho sembari menjauhkan wajahnya. Dia mengusap bibir Sakura dan tertawa kecil tiba-tiba.

Hal itu membuat Sakura ikut tertawa.

Malu.

Minho sekali lagi mengusap pipi Sakura. Tanpa keraguan, dia berucap, “Cantik, kamu mau tidak kalau jadi pendamping hidupku?”

Sakura mengangguk. Tentu saja.


—honeyshison, 180921.