gema, diana.
Hoshi as Gema. Sana as Diana.
Gema's POV
Ada kali, ya, satu masa di mana gue merasa apa yang menimpa gue terlalu membahagiakan. Semuanya terasa mudah, semuanya terasa layak buat dibagikan meski sekedar status di facebook.
Orang tua yang entah kenapa lebih sering terlihat akur, temen-temen yang makin kerasa solidaritasnya akibat mau lulus, juga pacar yang gemesnya minta ampun.
Mungkin memang benar. Kita gak boleh berlarut dalam kebahagiaan yang nyaman itu. Layaknya tokoh utama dalam cerita yang diberi ujian bertubi-tubi, gue pun mengalaminya.
Gue harus menunda pendidikan akibat biaya yang gak mendukung, menjadikannya sebagai tujuan hidup gue yang berikutnya selepas lulus. Orang tua yang gak ragu lagi mendebatkan hal itu di depan mata gue. Lalu hubungan gue sama si cantik yang gak lagi dianggap layak. Teman-teman yang mulai melangkah ke arah yang beda-beda.
Gue, si Gema ini ketinggalan jauh dari mereka.
Untuk kali ini, gue cuma mau menceritakan antara kisah gue sama si cantik.
Namanya Diana, secakep orangnya. Anaknya baik, gak mau ngelawan ortu makanya sekarang hubungan kami dinyatakan selesai.
Selepas putus, hampir satu tahun gue gak ketemu dia. Sebenarnya gak terlalu kerasa sedih akibat gue yang kesusahan nyari kerja sebagai seseorang lulusan SMA aja. Untuk beberapa waktu, gue berhasil ngelupain dia.
Iya, itu cuma sementara. Gue gak sempat kepikiran dia, lalu ketika kami dikasih kesempatan buat ketemu lagi. Semua rasa yang selalu gue dapatkan ketika sama dia pun, kembali mencuat. Memberontak minta dilampiaskan ke objeknya.
Mungkin pertemuan kembali kami di restoran ketika gue lagi kerja itu bakal gue manfaatkan untuk berjuang lagi seandainya dia datang sendiri. Diana datang sebagai pelanggan sama pacar barunya, lalu gue bagian yang melayani mereka.
Emang agak menyedihkan.
“Yang itu tuh kembaran lo sama pacarnya, ya, Bang?” tanya Daffa setelah gue nyamperin dia buat nyampain apa pesenan mereka.
“Yang mane?” Gue bales tanya.
Daffa nunjuk pake dagu ke arah meja Diana sama pacar barunya itu. “Yang itu, yang barusan lo datengin.”
Gue ketawa canggung. “Bukanlah, ya kali gue kembaran sama orang kaya.”
“Kalo diperhatiin agak mirip sama lo sih, Bang. Jujur ini mah,” katanya kemudian berbalik buat nyiapin pesenan.
Denger apa kata Daffa tadi, gue malah jadi merhatiin mereka berdua.
Ini udah satu tahun sejak putus, Na. Lo pasti beneran sayang sama dia, 'kan?
Gue meringis tanpa sadar begitu melihat gimana Diana ketawa setelah mendapat usakan plus senyum manis dari pacarnya. Lihat, Gem, dia tuh udah bahagia.
Kalau boleh ngaco, sebenarnya apa yang Daffa nilai tadi gak sepenuhnya salah sih. Sebagai pemilik wajah ini sejak lahir, gue mengakui kalau antara gue sama cowok itu terdapat beberapa kesamaan.
Diana, lo keinget gue gak sih kalau ngelihat dia senyum?
“Bang, nih anterin.”
Gue agak tersentak akibat sibuk sama pemikiran ngaco tadi. Gue mengangguk tanpa kata dan mengantarkan makanan yang dipesan sama pasangan yang sejak tadi menjadi perhatian gue.
“Ini makanannya, selamat menikmati,” ujar gue sambil tersenyum tipis. Juga, sedikit gak menyangka kalau akan ada saat di mana gue sama Diana perlu untuk pura-pura saling gak kenal.
“Tunggu, saya ada sedikit tip buat kamu,” balas Diana lalu menarik tangan gue dan memberikan apa yang dia katakan sebelumnya.
“A-ah terima kasih banyak,” ucap gue dan buru-buru menjauh dari mereka.
Tangannya masih kerasa sama. Seolah memang gak ada yang berubah dari Diana—dari kami berdua.
Gue menunduk, lagi-lagi ngerasa miris dengan kenyataan mantan yang belum berhasil gue lupain itu ngasih gue uang tip. Namun, bukan cuma uang yang diberikan oleh Diana.
Ada secarik kertas yang bertuliskan, 'Gema, kalau gak keberatan. Boleh gak nanti kita ketemu di belakang restoran ini? Gue bakal tungguin lo beres kerja.'
Jam 7 malam, gue keluar lewat pintu belakang. Sedikit ragu dengan keberadaan Diana di sana, tapi gue ingin memastikan karena mau gimana pun ini udah malam. Dia gak layak ada di sini.
“Gema,” panggil dia yang berdiri di dekat tiang. Ada jaket kebesaran yang terpasang di tubuhnya, gue yakin itu punya cowoknya tadi.
Gue mencengkeram jaket yang belum gue pakai. Dulu, yang Diana pakai itu jaket gue.
“Kenapa?” tanya gue, berusaha untuk gak kedengeran antusias.
Diana natap gue dan sumpah, tatapan yang dia kasih masih sama seakan kita masih pacaran. Tatapan yang juga dia kasih ke cowok tadi.
“Lo apa kabar?” Diana balik bertanya.
“Gini-gini aja kalau gue. Lo gimana? Lebih bahagia pasti, 'kan? Cowok lo setara sekarang.”
“Gue juga gini-gini aja, Gema.”
Ini maksud dia ... dia gak beda jauh sama yang gue rasain gitu?
“Jadi, ada apa?”
“Mama selalu kenalin gue sama anak temen-temennya, Gem. Biasanya gue bakal langsung nolak, tapi sama Sena ... gue agak lama.”
Gue gak paham kenapa dia menegaskan ini. Apa kelihatan, ya, kalau gue masih ngarep sama dia? Padahal udah berusaha buat kelihatan biasa aja bahkan kayak yang baru lihat dia hari ini.
atau jangan-jangan karena...
“Sama dia lebih lama karena dia mirip gue?” tebak gue dan yang gak gue sangka dia mengangguk.
“Tapi dia bukan lo.”
“Ya iyalah, cuma mirip. Dia tinggi dan kaya, gue sebaliknya.”
Bego, Gema. Malah ngebandingin diri sendiri sama pacar baru mantan.
Diana menggeleng dan terkekeh. “Ya gak gitu juga ... maksud gue dari bahasa tubuh dan sikap kalian. Wajah juga, sih.”
“Sorry, nih. Bukan mau kepedean. Kalau lo sendiri menyatakan kami mirip, apa lo ngelihat dia sebagai gue? Makanya ketika lo ketemu sama gue yang asli hari ini, lo nekat untuk ngajak gue ngobrol.”
Diana diam sejenak. “Gue gak tahu ....”
“Jujur, ya, Na. Sebenarnya gue belum move on dari lo. Kalau aja tadi lo dateng sendiri, mungkin gue bakal nekat buat ajak lo berjuang bareng lagi,” ucap gue sambil mengalihkan pandangan.
“Gue sering gak sempat buat mikirin lo karena ke sana ke sini buat nyari kerja. Tapi ketika gue sempat, gue malah pengen ngehapus lo dari pikiran gue.”
“Tadi, sepanjang kalian berdua makan. Gue gak sadar terus merhatiin kalian. Ketika temen gue bilang kalau gue sama pacar baru lo itu mirip. Gue jadi kepikiran, 'mungkin gak, sih, Diana keinget gue pas lagi sama dia?' Tapi itu kerasa mustahil mengingat lo adalah orang tertulus yang pernah gue kenal.”
Gue menatap ke arah dia yang menunduk secara sekilas. Sebelum kembali memandang langit. “Jujur, kalau suatu saat nanti gue ngerasa diri gue udah layak buat seseorang. Mungkin gue bakal nyari seseorang yang kayak lo, Na.”
Diam. Ada jeda waktu cukup lama sebelum Diana membalas omongan gue.
“Gue bukan orang tulus, Gem,” balas Diana, “gue sengaja lebih lama sama Sena. Gue berharap dengan kemiripan kalian, gue bisa lebih cepet lupain lo. Nyatanya gak bisa, gue masih sering keingetan lo ketika lagi sama dia.”
Kalau gini, gue bingung harus seneng apa sedih sekarang.
Hening. Diana nunggu gue untuk membalas, sedangkan gue bingung harus berkata apa lagi. Hingga ucapan dari Mama Diana yang selalu menggema di kepala gue kembali terlintas.
“Kita jujur-jujuran kayak gini buat apa, ya, Na? Gak bisa memperbaiki hubungan juga.”
Gue dan dia sekarang saling menatap dengan jarak yang masih sama. Terasa jauh.
“Kita ... tetep gak bisa sama-sama, Diana.”