genera colorum

Toko baru itu mengundang perhatian beberapa orang. Orang-orang yang ada di depan berusaha melihat isi toko melalui jendelanya, tapi mereka gagal karena di dalam sana terlalu gelap. Di pintunya, tergantung sebuah papan. Jika dibaca lebih lanjut, orang-orang akan mendapatkan informasi singkat tentang nama dan jadwal toko ini.

Genera Colorum.

Datang saat gelap, pergi saat terang.

Langit perlahan menjadi gelap. Orang-orang semakin banyak berkumpul di depan toko itu, dan kamu adalah salah satunya. Ketika malam sepenuhnya datang, lampu toko mulai menyala satu per satu.

Pintu yang sedari tadi tertutup pun akhirnya terbuka, menampilkan dua orang perempuan. Mereka memiliki rambut dengan warna yang cukup mencolok, hijau dan abu-abu.

“Selamat datang di Genera Colorum,” sambut si hijau, “saya Dahyun dan saya akan selalu menunggu kalian. Tetapi, saya juga akan selalu bisa menahan kalian.”

Perkataan Dahyun membuat mereka sedikit was-was, tapi rasa penasaran jauh lebih kuat. Sehingga mereka memutuskan untuk tetap bertahan di sana.

“Saya Chaeyoung,” sambung si abu-abu. “Sebelum masuk masing-masing dari kalian harus bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Jangan ragu atau kalian tidak berhak untuk masuk.”

“Silahkan berbaris,” ucap Dahyun dan langsung dituruti. Entah bagaimana caranya, tapi orang-orang itu berhasil membuat kamu ada di barisan paling depan.

Chaeyoung menatapmu dengan serius, kemudian dia bertanya, “Sebutkan tiga nama hari kecuali Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Apakah kamu tahu?”

Pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi karena ini sudah malam dan fungsi otak menurun karena berbagai faktor, membuat kamu tidak bisa langsung menjawabnya. Orang-orang di belakangmu tanpa sadar ikut berpikir.

“Ah, ya! Kemarin, besok dan lusa?” tebakmu tanpa ragu.

Chaeyoung mengukir senyuman puas. “32 detik, baiklah silahkan masuk.”

Kamu masuk setelah Chaeyoung dan Dahyun sama-sama mengubah posisi mereka menjadi menyamping. Setelah itu, Dahyun tersenyum sambil menatap orang berikutnya. Perasaan gelisah karena takut tidak bisa menjawab menghilang begitu saja ketika melihat senyuman itu. Ia merasa seperti ditawarkan sebuah kedamaian oleh Dahyun.

Chaeyoung kembali mengubah raut wajahnya menjadi serius. Dia menatap laki-laki yang menjadi orang berikutnya yang akan menjawab pertanyaan darinya.

“Semakin banyak mengambil, semakin banyak tersisa. Apakah itu?”

“U-uhm apa ya? Makan ... makanan?”

“Ragu. Kamu tidak berhak masuk kesini,” ucap Chaeyoung penuh penekanan. Orang-orang yang menyaksikan di sana menahan napas mereka seketika saat laki-laki itu tiba-tiba berbalik dan berjalan pergi.

“Kenapa kakiku bergerak sendiri?! Hei apa yang kalian lakukan padaku?!”

“Tenang saja, dia hanya terperangkap dengan kakinya sendiri. Seperti yang Chaeyoung bilang sebelumnya, jangan ragu atau kamu tidak berhak datang kesini,” jelas Dahyun diakhiri senyum.

Lagi-lagi senyuman itu menimbulkan rasa damai bagi yang melihatnya. Membuat mereka lupa dengan kalimat yang sebelumnya ia katakan.

Abu-abu menggambarkan keseriusan, tapi di sisi lain dia akan menimbulkan rasa kurang percaya diri. Sementara hijau, tak pernah jauh dari kedamaian. Namun, jangan lupa bahwa kedamaian pun bisa memerangkap.


Ada banyak lorong di dalam toko itu, tapi yang menarik perhatianmu adalah lorong yang didominasi oleh warna kuning. Kamu berjalan memasukinya, langkahmu terhenti tiba-tiba karena kemunculan seseorang berambut pirang dari sana.

“Halo, saya Momo, pegawai di lorong ini. Kamu bisa berbahagia sepuasmu di sini, tapi tidak boleh berubah-ubah. Oh iya, kuning memang terang, tapi terlalu terang dapat membuatmu tertekan dan gelisah, benar kan?”

Kamu menatap Momo bingung, tapi kemudian mencoba untuk memahaminya.

“Benar.”

“Kamu pengunjung pertama di lorong ini, mari saya temani.” Momo mendekat padamu, dia merangkulmu seolah kalian sudah akrab sejak lama.

“Apakah kamu percaya bahwa kuning itu bahagia?” tanyanya pada kamu yang sibuk menatap sekeliling.

Benda-benda yang ada di sana memang berwarna kuning tanpa campuran warna lain. Beberapa makanan seperti sponge cake, keripik dan mie ada di sana. Bahkan di ujung lorong kamu bisa melihat bunga mawar dan gesanghua berwarna kuning. Benda yang tidak berwarna kuning hanyalah rak dan vas bunganya.

“Mungkin? Mengingat anak kecil banyak yang menyukainya,” jawabmu.

“Oh ada pengunjung lain,” ucap Momo membuat kamu langsung menoleh ke belakang. Benar saja ada dua orang perempuan di sana.

Momo melepaskan rangkulannya, dia berjalan mendekat pada kedua orang itu. Kamu berpikir mungkin Momo akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padamu tadi, oleh karena itu kamu memutuskan untuk mendekat pada bunga-bunga yang ada di ujung lorong itu.

Senyuman lebar terukir di wajahmu, perasaan bahagia muncul melihat betapa cantiknya bunga-bunga itu.

Langkah Momo terhenti ketika ada seorang perempuan pirang lain yang berdiri di depan kedua orang itu. Momo mengendikkan bahunya, kemudian kembali mendekat padamu dan diam di sebelahmu tanpa kamu sadari.

“Halo, saya Mina, pegawai di lorong ini. Kamu bisa berbahagia sepuasmu di sini, tapi tidak boleh berubah-ubah. Oh iya, kuning memang terang, tapi terlalu terang dapat membuatmu tertekan dan gelisah, benar kan?” ujarnya pada dua orang perempuan yang baru memasuki area lorongnya.

“Dia berbicara apa sih? Semua pegawai di toko ini aneh.”

Mina tidak tersinggung, dia masih memberikan kesan cerianya. Dia malah berkata, “Silahkan melihat-lihat, temukan satu benda yang bisa membuatmu bahagia.”

Kedua orang itu berpandangan, mereka memilih untuk mengabaikan Mina dan melihat barang-barang yang ada di sana.

“Lihat ini! Antingnya akan cocok denganku, aku akan tampak cantik dengan ini,” ujar salah satunya diakhiri dengan sebuah tawa bahagia.

“Sepatu warna kuning, bukannya ini akan serasi dengan jaket yang aku beli kemarin?” balas temannya sembari menunjukkan sepatu yang ia maksud.

“Banyak kue, di sini lihat. Kue lebih baik dari anting yang tadi.”

“Hei, ada cat kuku juga! Bahagia itu mudah ya, di sini banyak ala—” Dia menghentikan ucapannya ketika merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Matanya membulat ketika melihat sesuatu yang mirip seperti tentakelnya ada di sana. Dia melihat pada temannya, mereka ada dalam keadaan yang sama.

“Hei apa ini?!” jerit keduanya.

Kaki mereka tiba-tiba ditarik, membuat keduanya hilang keseimbangan dan terjatuh. Mereka mulai berteriak ketika dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang entah sejak kapan ada di sana. Kamu mengalihkan pandanganmu dari bunga kala mendengar keributan itu, tapi yang pertama kamu lihat adalah sosok Momo yang masih tersenyum hangat.

Itu membuatmu terkejut dan spontan mengambil langkah mundur.

“Hai! Kamu suka bunganya? Apakah kamu bisa bahagia hanya dengan bunga dalam satu waktu?” Momo bertanya dengan nada ramah.

Kamu mengangguk dengan kaku, itu membuat senyum Momo semakin lebar. Dalam pandanganmu, dia tampak menggemaskan sekarang.

“Baiklah terima kasih sudah mengunjungi lorong kuning ini dan mengikuti perkataanku. Bunga mawar ini gratis untukmu! Kasir akan tahu, kamu tidak perlu mengatakannya.”

Kamu menerima bunga mawar yang Momo beri lalu tersenyum. “Terima kasih.”

“Sama-sama! Masih banyak lorong yang bisa kamu kunjungi sebelum terang datang, selamat berbelanja di toko kami. Dengarkan baik-baik apa yang mereka bilang, ya!” Momo sedikit berteriak di akhir karena terlalu antusias.

Meskipun merasa bingung, kamu mengangguk dan kembali melangkahkan kakimu menuju lorong yang lain.

Kuning selalu punya makna yang positif, dia punya kesan ceria dan bahagia. Sayangnya, semua kesan positif itu tidak lepas dari risiko kegelisahan dan inkonsisten.

Kamu hanya perlu menahan diri dalam lorong ini dan ikuti apa yang pegawainya katakan.


“Selamat datang di lorong merah! Tidak ada peraturan khusus, kamu hanya perlu berhati-hati dengan si merah. Saya Sana, apakah kamu tahu rasanya kasih sayang?”

Kamu disambut oleh seorang perempuan dengan rambut berwarna merah muda di lorong yang didominasi oleh warna merah. Ketika mendekat kamu baru sadar kalau di lorong itu, benda-bendanya tidak hanya berwarna merah, ada juga yang berwarna merah muda.

“Apakah setiap pegawai lorong memiliki warna rambut yang sama dengan lorong yang dia tempati?” tanyamu pada Sana, mengundang tawa dari perempuan itu.

“Begitulah, masing-masing dari kami mewakilkan satu warna.” Kamu mengangguk paham, pantas saja sedari tadi apa yang mereka ucapkan tidak jauh berbeda dari makna warna yang pernah kamu baca di internet.

“Lalu, apakah di sini ada dua warna?” tanyamu lagi.

“Iya, merah dan merah muda. Aku tidak tahu Jihyo ada di mana, yang pasti berhati-hatilah jika melihat perempuan berambut merah. Omong-omong kamu belum menjawab pertanyaanku sebelumnya,” balas Sana.

“A-ah maaf, tentang kasih sayang, 'kan?” Sana mengangguk.

“Aku masih merasakannya dari keluargaku.”

“Kalau cinta bagaimana? Apakah kamu mau dengan dia? Aku bisa membuat kalian saling jatuh cinta,” ucap Sana sembari menunjuk pada seorang laki-laki yang berdiri di hadapan sebuah gitar. Kamu menggeleng dengan cepat.

“Tidak ... tidak perlu. Untuk sekarang cinta keluargaku saja sudah cukup.”

“Kamu pengunjung pertama yang menolak, baguslah. Kamu tahu? Laki-laki itu tidak sama sepertimu, kalau kamu menyentuhnya maka akan .... “

Sana menggantungkan kalimatnya ketika laki-laki yang ia bicarakan terjatuh akibat ditendang oleh seseorang. Kamu memandang takut ketika lantai toko menghisapnya masuk, lalu menghilang bagai ditelan bumi.

“Dia menghalangi jalanku,” ucap Jihyo, si merah yang baru saja menendang.

“Lihat? Kalau disentuh, dia akan seperti itu,” sambung Sana, meneruskan ucapannya yang sempat tertahan tadi.

“Apa dia—”

“Hei, minggirlah!” Jihyo memotong kalimatmu, dia berjalan melewatimu dan Sana. Pundakmu dengan Jihyo sempat bertabrakan cukup keras, berhasil membuat kamu merintih sakit. Sementara Jihyo tampak tidak peduli dan kembali menghilang.

“Ah maafkan Jihyo. Merah memang identik dengan agresivitas dan kekerasan, tapi dia baik kok sebenarnya.”

Kamu tidak membalas perkataan Sana, kamu menatap kosong ke depan. Kamu menunjuk dengan gemetar ke tempat di dekat gitar. Ada sebuah tentakel yang kemudian berubah menjadi laki-laki yang sama dengan yang tadi ditendang oleh Jihyo. Bahkan posisinya pun sama, memandangi gitar.

Sana meringis. “Aku lupa menutupimu, maaf-maaf. Laki-laki itu hanya untuk menguji pengunjug, terkadang seseorang menjadi kurang berhati-hati dengan romansanya hanya karena fisik lawannya pantas dicintai.” Tangan Sana mengelus rambutmu, berusaha menenangkan.

“Kamu tadi bertanya lorong cokelat, 'kan? Ada di sebelah lorong ini,” ucap Sana sembari menjauhkan tangannya darimu.

Kamu mengerjapkan matanya. Tiba-tiba rasa bingung melingkupi dirimu. “Ah ya, aku rasa tadi aku mencari lorong cokelat ... kenapa jadi kesini ya?”


Di lorong dengan benda-benda berwarna cokelat ini suasananya terasa lebih nyaman. Aroma hutan yang kamu sukai sungguh terasa akrab. Bunga mawar yang kamu pegang sedari tadi seperti menambah suasana.

“Ah ya, aku belum memilih satupun barang untuk dibeli,” gumammu kemudian memilih untuk mendekat pada jajaran cokelat batang yang sungguh menarik perhatianmu.

“Hai! Maaf terlambat menyapamu, aku Nayeon. Pegawai di lorong ini bersama dengan Jeongyeon.” Kamu tersentak karena terkejut dengan kehadiran perempuan berambut sebahu itu. Nayeon langsung mengelus pundakmu untuk menenangkan.

“Maaf karena telah membuatmu terkejut.”

“Tak apa,” balasmu lalu tersenyum canggung.

“Kamu suka cokelat?”

“Aku sebenarnya hanya bingung mau membeli apa, aku pikir ini lorong terakhir yang akan aku kunjungi. Aku ingin segera pulang sebelum larut.”

Nayeon mengangguk paham. “Aku sarankan cokelat yang ini, tidak terlalu manis dan tidak juga terlalu pahit. Ada tambahan kacang, rasanya enak sekali!”

Kamu terdiam, tampaknya lorong cokelat akan menjadi kesukaanmu. Disini rasanya nyaman dan akrab, pegawainya pun berbeda dengan yang sebelumnya. Pegawai lain selalu memulai dengan kalimat atau pertanyaan yang perlu dipikirkan lebih lama.

“Baiklah, aku akan membeli ini.”

Nayeon tersenyum puas. “Terima kasih sudah mendengarkan saranku, hati-hati di jalan ya!”

“Iya, terima kasih kembali.”

Kamu berjalan menuju kasir dengan bunga mawar yang diberikan Momo dan dua buah cokelat yang disarankan oleh Nayeon tadi. Namun kemudian, langkahmu terhenti karena ada dua orang perempuan yang berdiri menghalangi kasir.

“Hari ini banyak yang terjebak di tempat Momo dan Mina. Aku dengar Chaeyoung dan Dahyun pun lebih banyak membiarkan mereka masuk dari pada keluar,” kata salah satunya yang memiliki rambut berwarna cokelat.

“Di lorongku apa lagi, Sana terus-menerus menawarkan makhluk itu pada setiap pengunjung,” balas perempuan yang berambut merah. Itu adalah Jihyo yang sempat kamu temui tadi.

“Kita akan makan banyak hari ini—”

“Maaf memotong, Kak Jeongyeon dan Kak Jihyo. Kalian sadar tidak kalau ada seseorang di sana yang mau membayar?”

Dua orang itu langsung memandang ke arahmu begitu mendengar suara kasir.

“M-maaf, saya hanya ingin membayar,” ucapmu sembari mendekat. Jeongyeon dan Jihyo memberimu jalan. Kamu berdiri di hadapan si kasir yang memiliki rambut berwarna hitam.

“Selamat malam, Kak. Perkenalkan, saya Tzuyu. Apa menyenangkan mengunjungi lorong-lorong dengan warna berbeda di sini? Kalau merasa aneh, tolong dimaklumi ya. Kami tidak sama sepertimu,” ujarnya sembari memasukkan dua cokelatmu ke dalam sebuah tas kertas.

Tzuyu tersenyum tipis. “Kak, warna itu tema yang menarik bukan? Orang-orang datang ke sini karena penasaran, tapi tak pernah berusaha mendengarkan. Kamu selalu mendengarkan, oleh karena itu aku tidak akan membiarkanmu untuk melanggar.”

Kamu memandang bingung, tidak menangkap apa yang Tzuyu maksud. Namun ketika melihat rambut hitamnya, kamu mengingat kalau hitam identik dengan misterius.

“Kamu mendapatkan bunga dari Kak Momo, jadi ini gratis.”

Kamu membulatkan mata. Kamu kira hanya bunga yang diberi gratis, ternyata coklatnya juga. “Sungguh?”

Tzuyu mengangguk. “Iya, terima kasih telah berkunjung, Kak.”

“Terima kasih kembali,” balasmu dan buru-buru ke luar dari toko itu. Kamu menarik napas dalam-dalam.

“Tempat yang aneh.” Setelah mengucapkan itu rasa pusing menyerangmu. Kamu spontan memejamkan mata untuk menahan sakit, juga bertumpu pada tiang yang ada di sana.

Kamu membuka mata, rasa bingung kembali kamu kamu rasakan.

“Kenapa malam-malam seperti ini aku ada di luar rumah? Lalu, dari mana aku mendapatkan cokelat dan bunga ini?”

Kamu melihat ke arah sekitar. Ketika kamu berbalik, yang kamu temukan adalah sebuah lahan yang kosong.


—honeyshison.