Hari Pertama

Mereka bertujuh sama-sama belum dapat kerja. Jadi, walau terlihat ogah-ogahan, ide Jun untuk berjualan ini tetap mereka jalani.

Mereka berkumpul lagi di depan rumah Momo. Mulai menyiapkan apa yang akan mereka jual.

Jeje sudah mulai menggoreng beberapa risol juga piscok yang mereka buat tadi siang, sementara kebab akan dibuat secara dadakan. Jun sedang merapikan bahan-bahan kebab, Momo menyiapkan untuk minuman, Wira membantu Jun, dan Zidan sedang memindahkan es.

Lagi-lagi tanpa Oci dan Caca. Dua orang itu walau belum kerja, jarang sekali ada di rumah. Dulu sama-sama aktif, jadi pertemanan mereka terhitung luas.

“Oci beneran gak ikut?” tanya Jeje di sela keheningan mereka.

“Tadi waktu ke rumahnya, dia udah pergi,” jawab Wira.

“Lah, terus itu uang siapa?” sahut Jun.

Wira menoleh pada Jun. “Mamanya. Katanya nanti dia bakal minta ganti ke Oci.”

“Nanti pas tarawih gue bilang ke dia,” ucap Zidan. “Kalau udah balik itu juga.”

“Udah, sekarang kita fokus dulu aja,” sahut Momo dan diangguki oleh yang lain.

Jun tiba-tiba menarik mereka agar melingkar. Dengan nada ceria ia berkata, “Biar semangat, nanti pas gue bilang 'Jajanan ceria', lo semua bales pake, 'Semoga berkah!', ya!”

Zidan langsung menunjukkan wajah tidak relanya. “Ogah!”

Jun tentu mengabaikan hal itu. Ia mengulurkan tangannya dan yang lain ikut menaruh tangan mereka di atas milik Jun. Zidan memutar bola matanya malas, tapi tetap ikut menaruh tangannya di paling atas.

“Jajanan ceria?!”

“Semoga berkah!” balas mereka secara bersamaan. Kecuali Zidan yang terlihat malas-malasan.

“Semoga hari ini dagangannya abis!”


Semangat yang ada di antara mereka berlima perlahan luntur setelah 30 menit mereka lewatkan tanpa satupun pembeli. Wira menoleh ke kiri dan ke kanan, hari ini tampak lebih sepi dari biasanya.

“Kayaknya kita kepagian, deh,” ucap Wira.

“Gak, deh. Yang di depan aja biasanya jam segini udah rame,” jawab Momo setelah melihat jam yang ada di ponselnya.

“Orang-orang udah pada ke depan kali,” sahut Zidan dengan nada cueknya.

Momo melihat pada laki-laki itu. “Tapi, kan, mereka lewat sini dulu harusnya.”

Jun yang tadi paling semangat, sekarang belum banyak bicara. Sudah lemas duluan membayangkan dirinya tidak jadi diundang oleh Mata Najwa.

Padahal belum 1 jam...

Matanya berbinar ketika melihat sosok yang dikenalnya mendekat ke arah mereka.

“Teteh! Mau beli?” sapanya langsung pada kakak perempuan Oci itu.

“Iya, nih. Kata Harsa beli takjil di sini aja.”

“Pilihan yang tepat. Mau beli apa aja, Teh?” sahut Momo.

“Piscok aja 5, ya.”

Jeje—selaku yang sedang memegang bagian itu tanpa basa-basi langsung membungkus sesuai yang dipesan. Perempuan itu menyerahkannya pada yang lebih tua. “Ini, ya, Teh. Makasih banyak.”

“Jadinya 10 ribu, ya?”

“Iya, bayarnya ke Zidan, Teh,” balas Wira sembari menunjuk Zidan yang tak kunjung bersuara.

“Loh, Zidan ikutan. Si Harsa malah kelayapan.” Zidan tak membalas, ia hanya menerima uangnya dan lanjut diam.

“Dia ke mana, sih, Teh? Kalau Caca, 'kan, udah banyak janji,” tanya Jun.

Perempuan itu mengangkat bahunya tak acuh. “Dia lagi ikut kegiatan apa gitu, gak terlalu ngerti juga teteh. Udah dulu, ya. Teteh mau pulang.”

“Makasih, Teh! Hati-hati di jalan!”

Jun tersenyum lebar. “Penglaris, habis ini banyak yang beli!” ucapnya penuh percaya diri.

Namun, ucapan hanya sekedar harapan. Butuh waktu cukup lama untuk pembeli berikutnya datang. Itu pun, Lagi-lagi anggota keluarga mereka.

Dimulai dari adik Wira, ibu Zidan, kakak Jeje, ibu Jun hingga ayah Caca yang baru pulang kerja. Mereka membeli dalam jarak cukup lama dan itu pun tidak lebih dari 10 ribu.

Mungkin mereka hanya ingin mendukung bisnis anggota keluarga mereka. Namun, kenapa seperti janjian, ya?

“Kebanyakan kita bikinnya,” ucap Jeje dengan lesu melihat piscok juga risol yang belum digoreng tersisa cukup banyak.

“Baru hari pertama,” balas Wira berusaha menenangkan. “Rezeki gak akan ke mana.”

Jun tiba-tiba mengubah posisinya menjadi jongkok. Raut wajah kecewa terlukis dengan cukup jelas. “Lagian, tumben banget gak pada lewat sini? Giliran ada yang lewat juga cuek aja. Kayaknya kita gak kelihatan sama mereka.”

“Baru hari pertama—”

“Iya, tahu, Wir. Gue lagi menerima realita yang tak seindah ekspetasi.”

“Ya udah lah, lumayan ada yang beli,” ujar Momo sembali melihat pada tempat uang yang ada di tangan Zidan.

“Dikit lagi 100 ribu,” balas Zidan, ikut melihat pada tumpukan uang berwarna ungu itu.

“Anak-anak, gimana jualannya?”

Suara ibu Momo itu membuat mereka kompak menoleh ke asal suara.

“Masih nyisa banyak, nih, Mah,” balas Momo langsung.

“Aduh,” katanya sembari mendekat untuk melihat berapa banyak yang tersisa.

“Ya udah, sisanya tante aja yang beli, ya.”

Mereka kompak membulatkan mata. Pasalnya bukan hanya satu atau dua yang tersisa.

“Beneran, Tante? Banyak, loh, itu. Momo mana bisa ngabisin,” tanya Zidan memastikan. Momo mendengar itu cuma bisa melotot pada Zidan.

“Iya, buat takjil di masjid sebagiannya.”

“Alhamdulillah, Ya Allah ... makasih, ya, Tante!” balas Jun seraya menyalimi tangan ibunya Momo. Yang lain juga mengikutinya setelah itu.

Ibu Momo tertawa, merasa terhibur. “Kalian ini.”

“Saya gorengin dulu, ya, Tante,” ucap Jeje.

Kemudian, mereka kembali sibuk.