Kala Hujan
Alternative story, crossover character.
Tara x Shasa.
Semu!sy x Taut!sn
Sorry for typo and enjoy the ride!
Kalau bukan karena surat pengunduran dirinya yang tidak langsung diterima. Mungkin Tara tidak akan ada di jalanan ini sekarang.
Kamera sudah tak lagi menjadi barang kesayangannya. Sekarang benda itu ia arahkan pada pepohonan kemudian mengambilnya potretnya secara asal.
Rasa kesal Tara seolah didukung bumi untuk semakin memuncak. Hujan turun secara tiba-tiba, di kala beberapa menit yang lalu bahkan langit masih menunjukkan cerahnya.
Tara berdecak, kakinya ia bawa berlari. Memasuki salah satu kafe yang ada di sana, tempat apa pun selama itu melindungi dari basah air hujan.
Luna suka hujan, dan sekarang Tara tak mempunyai alasan lagi untuk menyukainya.
Laki-laki itu duduk di dekat jendela. Memesan minuman secara asal, agar ia dibiarkan untuk meneduh di sini.
Mata Tara menatap kosong ke arah jalanan yang mulai dihiasi oleh genangan air. Namun, tubuhnya menegang seketika saat melihat seorang perempuan terjatuh di sana.
Perempuan itu cukup menonjol dengan rambut merah mudanya. Dia nampak kesakitan, dan dunia Tara seakan berhenti ketika perempuan itu tanpa sengaja melihat ke arahnya.
Tanpa sadar, laki-laki itu berkata, “Luna ....”
Shasa tahu, ini adalah pilihan yang buruk. Namun, ia seakan bukan tuan atas tubuhnya ketika memasuki tempat itu hanya karena seseorang yang bahkan belum tentu adalah orang itu.
Kondisinya yang basah mengundang tatapan heran dari pengunjung lain, tapi Shasa tak memperdulikannya. Tujuannya hanya satu, laki-laki di dekat jendela, di mana mata mereka sempat bertemu tadi.
Laki-laki itu juga menatapnya, matanya mengikuti setiap gerakan yang Shasa lakukan. Ketika mereka benar-benar saling bertatapan secara langsung, Shasa dapat merasakan kerinduan yang ia pendam selama ini langsung pecah begitu saja.
Tangan Shasa bergerak, membingkai sisi wajah laki-laki itu.
Sosok ini nyata.
“Soonyoung,” panggilnya, “Soonyoung.”
Kemudian, Shasa tak dapat menahan dirinya lagi. Ia memeluk sosok itu erat-erat.
Shasa tak ingin lagi kehilangan sosok ini.
“Mbak, ma-maaf tapi saya bukan Soon—”
“Soonyoung, mereka bohong sama aku, 'kan? Kamu masih ada, kamu gak pergi ninggalin aku.”
Laki-laki itu kemudian terdiam. Matanya ikut bergetar ketika mendengar isakan dari sosok asing yang memeluknya ini.
Tara menggelengkan kepalanya. Tidak, Tara. Dia bukan Luna, bukan bulannya Tara.
Tara membiarkan sosok itu memeluknya, melampiaskan segala perasaan yang seperti telah dipendam sejak lama. Laki-laki itu menatap pengunjung yang memperhatikan mereka seolah memberikan isyarat agar mengabaikan keduanya.
“Tara, Luna 'kan, tidak suka warna pink. Jadi mau di warna blonde aja. Boleh, 'kan?”
“Tara, Luna pakai baju gelap kalau terpaksa saja! Kalau memang baju yang lain sedang dicuci!”
“Taraaa.“
Tara memejamkan matanya, sebelum menelusupkan kepalanya pada leher perempuan itu. Kenapa Tara harus teringat pada Luna di saat seperti ini?
Tara payah dalam mengingat, tapi ia tak pernah mengira kalau ingatan tentang Luna akan mengunjunginya kala seperti ini.
Sosok ini, memang mirip dengan Luna. Namun, mereka bukanlah orang yang sama.
Tara sadar dengan hal itu. Terlebih, perempuan ini memanggilnya dengan nama yang tidak Tara kenali.
Setelah merasa sosok itu menjadi lebih tenang. Tara memegang pundaknya agar bisa menciptakan jarak antara keduanya.
“Maaf, tapi ini Tara, bukan Soonyoung.”
“Soon—”
Tara menggeleng. “Tara serius, Tara bukan Soonyoung. Ini kartu nama Tara, kalau kamu tidak percaya.”
Shasa mengusap wajahnya, agar matanya bisa menatap dengan jelas. Perempuan itu menerima kartu nama yang Tara ajukan, dan nama yang tertera di sana adalah Tara. Bukan Soonyoung seperti yang ada dalam pikirannya, keinginannya.
“Ma-maaf, gu-gue udah sembarangan meluk lo,” ucap Shasa dengan panik.
Tara sekali lagi menggelengkan kepalanya. “Gak papa, duduk di sini saja sama Tara, ya. Kalau mau tenang, kamu biasa minum apa?”
Shasa mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, menurut ketika Tara mengarahkan dirinya agar duduk di kursi kosong yang juga ada di meja itu.
“Ice Coffee,” jawab Shasa dengan pelan. Tidak yakin, karena minuman tidak pernah menjadi usahanya agar bisa menenangkan diri.
“Sebentar, ya, biar Tara pesankan.”
Kemudian, dia pergi.
Shasa memejamkan matanya. Ia selalu bertindak implusif terhadap hal yang mengingatkannya pada Soonyoung.
Itu menjadi salah satu alasan kenapa Juni selalu menekankan padanya kalau dia tidak akan pernah kembali. Shasa sadar hal itu, namun ia belum bisa sepenuhnya menerima.
Soonyoung bukan sosok yang bisa lupakan begitu saja.
Tara kembali tak lama kemudian, membawa satu kotak tisu juga minuman yang tadi Shasa sebutkan. Laki-laki itu duduk di kursinya tadi, dan berkata, “Ini, terus tisu kalau kamu mau lap air hujannya.”
“Makasih, Tara,” balas Shasa dengan pelan. Ia menurut dengan apa yang laki-laki itu katakan barusan.
“Nama kamu siapa?” tanya Tara, berbasa-basi. Sebenarnya, Tara tidak yakin ia akan mengingat nama sosok ini nantinya, setidaknya Tara ingin mencoba.
“Sana, biasanya dipanggil Shasa.”
Tara tersenyum tipis dan Shasa rasanya ingin mengumpati itu. Kenapa mereka berdua mirip? Shasa benar-benar tak membutuhkan kebetulan semacam ini.
“Salam kenal, ya, Shasa.”
Mereka kemudian diam. Telinga keduanya sama-sama memperdengarkan air hujan.
“Tara, gue minta maaf. Lo ... mirip banget sama Soonyoung, gue kira lo itu dia. Gue impulsif banget saking kangennya.”
“Gak papa, Shasa. Maaf sebelumnya, tapi kalau boleh tanya, Soonyoung ke mana?”
“Dia pergi,” ucap Shasa menggantung, “pergi buat selamanya.”
Shasa tahu, laki-laki ini paham. Ia tidak terburu meminta maaf, hanya mengangguk dan tak berucap apa pun lagi.
“Shasa hafal sama daerah sini?” tanya Tara.
“Hafal, gue udah lama tinggal di sini.”
“Aaa, kalau begitu. Tara boleh minta tolong nanti tunjukan arah hotel ini?” tanya Tara lagi seraya menunjukkan alamat yang ia maksud.
“Ah, iya. Ini deket kok, Ra. Lo tinggal nyebrang aja, belok kiri dan ada di sana.”
Tara mengangguk. “Tara tadi dari sana, tapi lupa lagi.”
“Gak papa, lo baru, ya, ke Bandung?”
“Enggak, ingatan Tara memang payah,” ucap Tara tanpa merasa keberatan.
“Shasa mirip dengan Luna, orang yang mau Tara ingat, tapi selalu gagal. Yang berhasil Tara ingat malah kenangan buruknya.”
Shasa memiringkan kepalanya, penasaran. Tanpa sadar, ia bertanya, “Kenangan buruk?”
“Waktu itu Tara baru melamar Luna ... tapi gagal. Tuhan tidak percaya pada Tara untuk menjaga Luna. Jadi, Luna di ajak pulang lebih awal dengan perantara mobil itu.”
Shasa terdiam, tidak benar-benar memahami ucapan Tara. “Maaf, tapi Luna kecelakaan di depan mata lo?” tanyanya memastikan.
“Iya,” balas Tara dan kemudian keduanya kembali hening.
“Jadi, kita sama-sama kehilangan?” tanya Shasa sambil memandang sendu pada minumannya.
Tara tertawa, miris. “Iya.”
“Lo ditinggalin pas hubungan kalian baru mau melangkah, dan gue ditinggal ketika hubungan kami berhenti. Tapi keduanya punya rasa sakit yang sama.”
“Pulihnya juga susah, ya? Padahal itu sudah hampir dua tahun, tapi Tara masih seperti ini.”
“Sama, Ra. Gue udah mau empat tahun malah, dan masih ngeharapin dia bakal ngetuk pintu rumah gue, kayak biasa.”
“Gue kadang mikir, kenapa gue sampai dibiarin kehilangan sama sosok yang ngenalin dunia ke gue. Bahkan orang-orang juga ngedesak supaya gue lupain dia, tapi gak bisa. Gue muak tapi gue harus tetap berjalan, gue gak mau dia kepikiran soal gue di atas sana,” sambung Shasa tanpa memandang pada Tara.
Tanpa sadar ia menceritakan apa yang ia pendam selama ini kepada sosok yang bahkan belum satu jam ia kenali.
“Ah—sorry, gue malah ngeluh ke lo.”
Tara sekali lagi mengukir senyuman tipisnya, bermaksud menenangkan. “Gak papa, Shasa. Tara juga merasa seperti yang kamu rasakan, kok.”
Tangan Tara bergerak, menunjukkan kamera yang tergantung di lehernya pada Shasa.
“Tara dulu sering memotret Luna karena ingatan payah Tara. Sekarang Tara kesulitan karena objek utama lensa kamera Tara sudah tidak ada.”
Shasa sebenarnya tidak terlalu memahami ingatan payah yang dimaksudkan oleh Tara. Namun, ia tidak ingin terlalu menunjukkan rasa penasarannya. Takut, Tara akan risih.
Waktu terus berjalan, ada kemungkinan mereka akan bertemu kembali.
“Tara datang ke sini supaya surat pengunduran diri Tara diterima. Tara tidak ingin lagi menjadi fotografer,” ucap Tara.
“Eh, kenapa?”
“Sekarang, Tara selalu gagal mengambil foto yang bagus.”
Shasa terdiam sejenak. “Luna seneng kalau difoto sama lo?”
Anggukan dari Tara, membuat Shasa kembali lagi berkata, “Berarti lo bisa mengenang dia lewat perkerjaan lo, Ra. Lo mungkin butuh rehat aja.”
“Soonyoung suka nari, dan gue ikut menari untuk ngerasain keberadaan dia. Gue tahu ini gak akan berlaku buat semua orang, tapi coba jalani lagi. Kalau memang masih gagal, lo bisa berhenti.”
Tara mengangguk. Wajah Shasa terlihat jelas berusaha meyakinkan dirinya. Untuk menghargai Shasa, Tara menyuarakan persetujuan yang tidak jujur.
Tara sudah mempertimbangkan ini sejak lama, dan ia tak ingin membahasnya lagi.
“Lo bisa foto gue sebagai permulaan. Lo bilang gue mirip Luna, mungkin itu bakal ngebantu lo 'nemu' hal yang lo rasa hilang dari pekerjaan ini,” usul Luna kemudian.
Tara mengerjapkan matanya beberapa kali, ragu.
“Ayo, Ra. Coba dulu, sekali!” ucap Shasa lagi, semakin meyakinkan Tara dengan tangan yang menggenggam tangan laki-laki itu.
Tara menarik napasnya dalam-dalam. “Baiklah,” ucapnya sebelum mengeluarkan kamera dari tas yang tergantung di lehernya.
Tara mengarahkan itu pada Shasa, dan Shasa kebingungan untuk berpose seperti apa. Pada akhirnya, dia memutuskan seolah-olah dirinya tidak menyadari kamera itu.
Saat memfokuskan lensanya, Tara sempat mematung. Matanya bergetar, namun ia dengan cepat mengendalikan dirinya lagi.
“Sudah,” kata Tara sembari menunjukkan hasilnya pada perempuan di depannya. Wajah Shasa menjadi cerah seketika.
“Gue gak terlalu paham sama dunia fotografi, tapi ini keren banget, Ra!”
Melihat senyuman Shasa yang terukir dengan lebar, Tara tanpa sadar ikut tersenyum. Hanya itu, tanpa ada balasan perkataan.
Seiring dengan kebersamaan mereka, hujan pun mereda. Tara mengamati jalanan, sebelum berkata, “Tara harus melanjutkan pekerjaan. Tara duluan, ya, Shasa? Minumannya sudah dibayar tadi.”
“Gue ganti, ya.”
Tara menggeleng. “Tidak usah, anggap saja tanda salam kenal dari Tara.”
Shasa mengamati ketika laki-laki itu merapihkan rambutnya sebelum kembali memasangkan topi di kepalanya. Tara berdiri dan menatap pada Shasa.
“Nyebrang dan belok kiri, 'kan, ya?” tanya Tara, mengulang pernyataan Shasa perihal alamat tadi.
“Iya, Ra.”
“Okay, Sha. Tara pamit, ya.”
Belum sempat melangkah, tangan Shasa sudah menahan lengannya. Tara menatap bingung pada sosok yang kini dipenuhi keraguan itu.
“Tara, habis ini kita ada kemungkinan untuk ketemu lagi, 'kan?”
Tara terdiam, sebelum mengangguk. “Ada, Shasa pegang kartu nama Tara, 'kan? Bisa hubungi Tara pakai info yang ada di sana.”
Shasa mengangguk dan tersenyum, ia menjauhkan tangannya dari Tara. “Oke, Tara. Hati-hati, ya!”
Tara mengangguk, ia melambaikan tangannya pada Shasa dan pergi meninggalkan kafe itu.
Di luar, ketika Tara berniat meneruskan pekerjaannya yang tertunda akibat hujan tadi. Tara terdiam cukup lama di dekat pintu masuk, mengamati foto Shasa yang ia ambil tadi.
Tara menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghapus foto itu.
“Beneran, Juni! Lihat nih kartu namanya, beneran mirip Soonyoung!” ucap Shasa dan Juni cuma mengamati lekat-lekat kartu yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu.
“Mirip sih, beneran beda orang, 'kan? Bukan lo yang sengaja edit ginian?”
Shasa melotot. “Buat apa coba? Nih gue hubungi sekalian.”
Shasa mengetikkan nomor yang ada di kartu nama Tara di ponselnya. Ia melirik pada Juni sekilas, sebelum memutuskan untuk menelepon nomor itu.
Tak butuh waktu lama, Tara langsung mengangkatnya. Shasa sengaja menyalakan loud speaker-nya agar Juni bisa mendengar. Ia harus membuktikan bahwa Tara nyata.
“Halo?”
“Halo, Tara! Ini Shasa yang kemarin,” balas Shasa dengan antusias.
Cukup lama tak mendapatkan balasan.
“Shasa itu siapa, ya?”
Shasa membeku dan Juni menyadari hal itu.
“Gu-gue yang kemarin di kafe. Lo juga sempat foto gue, Tara.”
“Semisal kita bertemu kemarin dan Tara berkata macam-macam, Tara minta maaf. Tara tidak bisa mengingat siapa saja yang Tara temui kemarin, dan foto yang diambil Tara pun hanya pemandangan.”
“Tara minta maaf, ingatan Tara memang payah sekali. Apa kita ada urusan pekerjaan?”
Shasa mematikan sambungan telepon itu, ia menunduk dan mencengkeram ponselnya dengan keras.
“Sha—”
“Diem, Jun,” potong Shasa sebelum berjongkok dan menenggelamkan wajahnya dibalik lipatan lengan.
Shasa pikir, ia dan Tara bisa berjalan berdampingan untuk pulih dari kehilangan. Namun, pada kenyataannya, sosok itu tidak menginginkan mereka untuk pulih bersama-sama.
Tara melupakan Shasa secepat itu.