bonus kalana.
Jun as Kana Tzuyu as Larena.
“Kakak, bentar. Sepatuku tiba-tiba hilang sebelah.”
Kana yang sudah menunggu di luar menghela napasnya. Ia meletakkan tas berisi pakaian mereka di bawah, lalu mendekat pada Larena yang terduduk di ambang pintu. Dekat dengan rak sepatu.
“Ini ada, Dek. Kedudukin kamu sendiri,” ucap Kana sambil menarik sepatu putih dengan corak warna-warni favorit Larena. Istrinya itu tertawa kecil, merasa malu lalu lanjut memakai sepatu.
“Oh, iya.”
Ini sudah seminggu sejak mereka berdua tinggal di sini selepas menikah. Namun, mereka baru berkesempatan untuk pergi bulan madu sekarang. Hanya tiga hari, jadi mereka memutuskan untuk tak mengunjungi tempat yang jauh dan Bandung menjadi tujuan mereka.
“Yuk, gocar-nya udah di depan,” ajak Kana seraya mengajak Larena untuk berdiri. Perempuan itu menerima uluran tangan yang Kana tawarkan, lengkap dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya.
“Ayo!”
Mereka pergi keBandung menggunakan kereta. Di stasiun sempat membeli beberapa jajanan untuk mengganjal perut, lalu kembali memesan gocar menuju hotel.
Setelah bersih-bersih, Kana dan Karena langsung pergi ke luar untuk makan siang. Pilihan mereka jatuh ke restoran dengan gaya prasmanan yang tak jauh dari hotel.
Ini permintaan Larena tentu saja.
“Agak jauh dari sini, ada jalan yang biasanya penuh sama kuliner malam. Nanti mau nyoba?” tanya Kana seraya mengusap bekas saus yang ada di ujung bibir Larena.
Larena tak langsung menjawab, dia menelan makanannya dulu baru berkata, “Mau! Di sana juga ada yang jual olahan kodok gitu, 'kan, Kak? Aku mau nyoba.”
Kana mengerjapkan matanya. Tubuhnya tiba-tiba terlihat kaku. “Ko-kodok?”
Larena mengangguk dengan wajah antusias. “Iya! Biasanya, sih, pahanya aja.”
Sejujurnya, Kana beberapa kali mendengar soal masakan dengan bahan baku hewan yang satu itu. Namun, jika disuruh untuk mencobanya, Kana memilih mundur.
Tak ada alasan khusus, tapi Kana tak pernah membayangkan kodok akan menjadi santapannya. Di sisi lain, wajah Larena membuatnya tak tega kalau harus menolak.
Menyadari ada perubahan pada suaminya, Larena memiringkan kepalanya agar bisa menatap wajah Kana lebih jelas. “Kak Kana gak mau, ya?”
Kana langsung gelagapan. “E-eh, enggak. Aku—”
“Gak papa, nanti aku pesan buat aku sendiri aja. Aku gak akan maksa kakak buat makan itu.”
“Beneran gak papa?”
“Iya, Kakak!”
Kana merangkul istrinya itu lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi. Larena hanya tertawa kecil menanggapi hal itu.
“Masih di luar, ih, Kak.”
Kana tak mengacuhkan itu. Dia memberi satu lagi kecupan di pelipis Larena sebelum berkata, “Biarin lah, biar pada paham kamu punya aku.”
Mungkin sudah bukan rahasia lagi kalau sosok yang Larena harapkan sejak kecil adalah Rendra. Tidak hanya sekali atau dua kali Larena membayangkan tentang masa depannya dan Rendra ada di setiap bayangannya. Hadir sebagai sosok paling penting dalam hidupnya.
Jika mengingat itu, rasanya sedikit lucu karena Rendra malah menjadi seseorang yang membantu dirinya dan si kakak agar bisa menikah. Larena sebenarnya heran karena laki-laki itu mau melakukan hal ini di tengah kesibukannya. Namun, setelah dipikirkan lagi kalau yang memintanya bukan Larena dan Kana, mungkin Rendra tak akan mau.
Masih segar dalam ingatannya bagaimana Kana melompat ke arah Rendra selepas laki-laki itu mengatakan ibunya telah setuju dengan hubungan mereka. Tubuh Kana itu lebih tinggi dari Rendra, jadi laki-laki yang sudah memiliki anak satu itu agak kewalahan pada awalnya.
Namun, pada akhirnya mereka malah tertawa bersama seperti orang tak waras.
“Jagain yang bener, tuh, lo udah bawa-bawa nama gue dua kali.”
“Pasti lah! Lo boleh pukul gue kalau sampai Larena nangis karena gue.”
“Kalau udah nikah gak cuma gue pukul. Gue bikin lo miskin sekalian.”
“Anjing, tega banget.”
Larena terkekeh mengingat itu. Taksa selalu punya interaksi yang unik menurutnya, walau cara mereka menghabiskan waktu dulu kurang bermanfaat.
“Hayo, mikirin apa kamu tiba-tiba ketawa?”
Pipi Larena dicubit dan siapa lagi pelakunya kalau bukan Kana? Larena mengerucutkan bibirnya sebal karena cubitan tadi sakitnya lumayan membekas. “Terserah aku lah.”
“Jangan mikirin mantan kamu.”
“Dibilang terserah aku?”
Yang lebih tua mengernyitkan kening. “Kok gitu?”
Larena menahan tawanya, merasa terhibur dengan ekspresi yang sedang Kana tunjukkan. Perempuan itu menyandarkan kepalanya pada bahu yang lebih tua seraya mengaitkan tangan mereka berdua.
Mereka sedang ada di kamar hotel. Menunggu langit berubah menjadi gelap sambil malas-malasan. Televisi menyala, menampilkan kartun yang tak benar-benar keduanya tonton.
“Kamu kalau aku gak ada bakal tetap ngejar Rendra gak?”
“Kita lagi honeymoon, loh, Kak. Kok bahas yang lain?”
Kana ikut menyandarkan kepalanya di atas kepala Larena.
“Pengen nanya aja.”
Larena terdiam sebentar. “Gak akan, deh. Walau gak ada kamu, Kak Rendra, kan, tetap ada Kak Naya. Dia tuh naksir Kak Naya dari zaman sekolah tahu.”
“Lama juga, sekarang udah nikah lagi. Gak pernah bosen apa, ya, mereka?”
“Kalau bosen sama hubungannya, mungkin gak pernah. Tapi kalau bosen sama keadaan pasti pernah. Cuma kita aja yang gak tahu.”
Larena memainkan jari-jari keduanya yang masih saling bertaut. “Mereka selalu punya cara supaya rasa bosan itu gak bunuh hubungan mereka.”
“Aku harap kita juga bisa kayak gitu, Kak. Gak ngebiarin rasa bosan nguasain hubungan kita. Pokoknya, kalau semisal nanti kita gak bisa dipaksa cocok lagi. Aku gak mau rasa bosan itu jadi alasannya.”
Kana mengangguk, lalu mengelus surai Larena dengan tangannya yang lain. Laki-laki berambut pirang yang cukup panjang itu memberi kecupan di kening istrinya. “Dimengerti, sayang. Aku gak akan bosen sama kamu.”
Larena semakin menyamankan dirinya di posisi ini. “Buktiin, ya, jangan manis di mulut aja.”
“Siap!”
Selama berhubungan dengan Larena, Kana sudah memahami bagaimana kebiasaan perempuan itu. Salah satunya kalau sedang jalan-jalan, Larena akan lebih fokus pada makanan dibanding tempatnya. Berbeda dengan Kana yang lebih suka memperhatikan tempat juga jalanannya.
Tempat yang sering mereka kunjungi untuk berkencan adalah pantai. Kana mencari angin untuk menikmati suasana, sedangkan Larena mencari kelapa muda.
Namun, sejauh ini Kana menikmati saat kebersamaannya bersama si adek. Kana selalu menikmati kala mereka sedang berdua.
Selesai mencari warung makan tempat makanan yang Larena inginkan tadi siang, kini mereka sedang duduk di pinggir jalan. Ada bakso bakar berukuran jumbo di tangan Kana, sedangkan Larena sedang menikmati minumannya.
Kana lebih memilih membeli 'cemilan' daripada makanan berat.
“Mau nyoba?” tawar Kana sambil mendekatkan bakso itu pada Larena. Yang lebih muda mengangguk dan mengambil satu gigitan besar.
Rasa panas dan pedas-manis yang menyapa lidahnya membuat Larena memejamkan matanya. Setelah menelan, Larena berkomentar, “Enak!”
“Kakak, yakin bakal habis?” tanya Larena. Masalahnya ada tiga bakso berukuran besar di sana dan mereka baru menghabiskan satu.
“Bungkus lagi aja kalau gak habis buat ngemil tengah malem,” balas Kana dengan tawa di akhir kalimat. “Tapi selama bakso, aku pasti habis, sih. Apa lagi ini enaknya tipe aku.”
Jangan heran kenapa username Kana itu sukabaso, Kana memang sangat menyukai makanan satu itu.
“Aku mau nyoba kue basah itu, deh, Kak. Kamu tunggu di sini aja, ya!”
Kana mengangguk. Dia setuju karena gerobak yang Larena maksud masih masuk dalam pandangannya, Kana bisa mengamati Larena dari jauh.
Namun, fokusnya teralih begitu melihat sebuah gerobak bertuliskan 'bakso kecil'. Dia jadi teringat sesuatu. Mau beli, tapi bakso bakar di tangannya saja belum habis.
“Kakak!”
Kana baru sadar kalau Larena sudah menuju ke arahnya lagi. Perempuan berambut pirang itu berlari kecil ke arahnya. Ah, gemas. Untung udah jadi istri gue.
Rambut mereka masih sama-sama pirang. Mereka sengaja mewarnai rambut untuk foto pre-wedding, tapi itu malah dibiarkan hingga sekarang.
Sesekali kembaran tak apa, bukan?
“Aku gak beli banyak, takut kenyang banget soalnya,” ucap Larena.
“Gak papa. Kalau masih mau, nanti tinggal beli lagi aja.”
Larena mengangguk. “Dulu pas kecil aku selalu jajan ini tiap pulang sekolah, terus jadi sedih karena ibu yang jualnya gak ke sekolah lagi.”
“Kenapa?”
“Gak tahu, tiba-tiba kayak gitu.”
Kana mengangguk paham. “Dulu, ibu selalu bikin ini kalau lagi ada perayaan di rumah. Entah ulang tahun atau kelulusan.”
“Seru, dong? Ibu jago, ya, kak?”
“Jago dia, tapi jadi kurang motivasi setelah mereka cerai. Kamu coba ajakin lagi, deh, nanti. Siapa tahu dia semangat lagi.”
Larena mengangguk dengan antusias. “Oke!”
Namun, rasa antusiasnya itu hanya bertahan sebentar. Perempuan itu tiba-tiba menunduk lesu sambil mengamati kue yang ada di pangkuannya.
“Maaf, ya, Kak.”
Kana menatap dengan heran. “Maaf kenapa?”
“Semenjak kita nikah, kita selalu beli makanan. Padahal aku harusnya masak buat kamu.”
“Ya, gak papa lah. Kan, ada uangnya.”
“Lama-lama boros, Kak. Aku sama kamu bukan seseorang dengan keuangan yang bisa dijamin akan selalu stabil,” ucap Larena dengan lesu. “Terus udah tugasnya juga, 'kan, seorang istri harus masak buat suaminya?”
Kana merangkul pinggang Larena, sedikit menariknya untuk mengurangi jarak yang ada pada keduanya. “Loh? Aku, kan, jadiin kamu istri, bukan chef.“
“Tetep aja, Kak. Aku—”
“Sst,” potong Kana. Tangannya bergerak untuk mendorong kepala Larena pelan agar bersandar pada dadanya.
Larena mengerjapkan matanya beberapa kali, wajahnya perlahan memerah. Mereka sekarang ada di tempat yang ramai. Matanya menatap sekeliling, untungnya orang-orang tampak tak begitu peduli.
Jadi, Larena memilih untuk memejamkan mata. Mendengarkan detak jantung Kana dengan jelas.
“Lagipula aku bisa masak, Ren,” ucap Kana, “dan kita ini cuma manusia yang bakal terus belajar. Gak papa, pelan-pelan aja. Gak usah buru-buru. Kita baru nikah seminggu, loh.”
Larena tak membalas dan Kana pun memilih diam. Tangan laki-laki itu kini mengelus pelan surai Larena, membiarkan perempuan itu mendengarkan detak jantungnya. Berharap Larena paham kalau detak jantungnya yang seperti ini hanya untuk Larena.
“Kak, makasih, ya.”
Kana tersenyum geli. “Aku yang harusnya makasih.”
“Aku. Pokoknya aku makasih banget Kak Kana mau jadi pasanganku. Kakak bolehin aku kerja dan ngasih aku waktu buat terus belajar,” papar Larena.
Sebenarnya masih banyak lagi, tapi dia yakin Kana sudah paham apa saja yang Larena syukuri tentang kehadirannya. Bukan hanya sekali ini Larena mengatakannya. Perempuan itu selalu mengungkapkan pikirannya pada Kana ketika banyak pikiran.
Larena tahu dulu Kana seperti apa. Larena juga tahu bagaimana Kana mau berubah untuknya. Tak seharusnya, Larena menanyakan tentang perasaan Kana untuknya lagi. Sekarang pun, ia masih dapat merasakannya sendiri.
“Dek, diterima sama kamu itu hal yang paling kusyukuri seumur hidup. Makasih, ya, mau nerima aku yang jauh berbeda sama sosok impian kamu.”
Larena tak membalas, dia mengusakkan dirinya pada dada Kana. Kedua tangannya melingkari pinggang laki-laki itu.
“Aku sayang kakak.”
Kana terkekeh lalu mengecup puncak kepala Larena. “Aku juga sayang sama kamu.”
and love is when both feel lucky to have each other.