“Kamu kalau mau macarin anak saya, yang bener jagainnya. Ini bisa sakit gini kamu apain?”
Sumpah, demi apa pun. Bahkan gue gak ketemu Kak Sana lagi semenjak break. Itu berlangsung di hari gue sempro sampai gue wisuda.
Tapi kalau itu berhubungan dengan pikirannya, maka gue ikut terlibat dalam membuat tubuh Kak Sana menjadi selemah sekarang.
“Maaf ....”
“Maaf, maaf! Kamu ini mau merjuangin anak saya atau enggak?!”
“Mau ....”
“Jawab yang tegas!”
“Mau, Tante!”
“Sekarang, mohon-mohon ke saya supaya saya restuin.”
Kejadian lain yang gokil di kehidupan gue. Pas ngelakuinnya gue biasa aja, tapi kalau inget lagi agak malu juga, ya, soalnya itu di depan ruangan Kak Sana. Semua orang yang lewat lihat gue. Ortu gue juga jadi nyaksiin gimana anak mereka ini jadi budak cinta.
Tapi, ya udah. Udah kejadian dan gue gak menyesal sama sekali. Meski harus berlutut buat mohon-mohon dan dapet omelan sana-sini, kalau balasannya adalah si kakak yang gak pernah keberatan untuk ajak gue ke dunianya atau sebaliknya, gue gak masalah.
Sekarang kita lagi di jalan. Nyusul temen-temen gue yang udah ke pantai sejak semalam. Pake mobilnya dia, tapi gue yang nyetir.
“Berangkatnya kepagian tahu, Kak,” kata gue. Bayangin aja, lo masih nyenyak udah ada yng jemput.
“Biar seger,” balasnya dengan enteng. Sekali lagi dia menyuapkan roti isi yang dia buat. Tentu, dengan senang hati gue kunyah.
“Kalau ada resto yang udah buka, kita mampir dulu aja, ya. Roti gini satu berdua mana kenyang.”
“Ya, kenapa pake disuapin ke aku? Kan, bisa kamu makan sendiri, Kak.”
“Pokoknya sarapan dulu.”
Bisa apa gue selain menurut?
Butuh waktu sekitar satu jam lebih menuju tujuan kami berdua. Itu kalau jalanannya mulus. Namun, mengingat berangkatnya cukup pagi kayaknya bakal lancar-lancar aja.
“Warung nasi gitu mau gak? Deket sini ada kalau gak salah, yang 24 jam gitu.”
“Warteg?”
“Mirip, tapi tampilannya lebih wah. Masa aku bawa kamu ke warteg. Ke angkringan aja gak mau.”
Bibir dia langsung manyun dan gue sebisa mungkin tetap fokus.
“Ya udah, ayo ke sana aja. Aku udah laper,” katanya agak merengek sambil menyandarkan dirinya. Perutnya yang terbalut kaos merah muda itu ditepuk-tepuk. Percaya gak dia lebih tua 5 tahun dari gue?
Wkwk.
“Iya, ayo.”
Gue sama Kak Sana makan di tempat yang gue maksud tadi. Sebuah tempat makan yang cukup besar dengan gaya prasmanan. Untungnya menu ayamnya baru diperbarui dan nasinya juga anget, jadi dia gak kelihatan malas.
Kak Sana tuh udah biasa yang mewah, orang udah kaya dari lahir. Dia kadang suka maksain gaya hidup gue di kosan, tapi mentok-mentok tetep ada yang dia komenin.
“Minyaknya banyak banget, Dek.”
Tuh, kan.
“Gak lama dikeringinnya kali, Kak,” jawab gue satu gelas es teh padanya. “Mau yang lain?”
“Ini aja, tapi kulitnya buat kamu, ya?”
“Iyaa, pindahin aja ke piring aku.”
Sebenarnya penampilan kami sekarang gak menunjukkan mau jalan-jalan. Gue sama dia sama-sama pake kaos, mana gue pake celana pendek pula.
Kami gak biasa makan sambil diem. Ada aja yang diceritain. Entah itu dari gue atau dia.
“Nanti Senin aku padet banget tahu, kayaknya bakal lama bales.”
Sebuah kode yang dapat langsung gue pahami. “Kalau malemnya?”
“Bisa.”
Oke.
“Tapi mulai Senin aku bakal full, Kak. Mau nabung buat beli laptop baru, sebentar lagi juga keluar jadi aku mau manfaatin waktu aja,” jawab gue jujur.
Kak Sana melirik ke arah gue. “Tutupnya jam berapa, sih?”
“Jam 10, tapi karena ada beres-beresnya. Mungkin aku sampai rumah jam 11-an.”
Dia mengangguk paham. “Ya udah, komunikasinya pas lunch.“
“Oke. Eh, Kak, mau nanya.”
“Tanya aja.”
Gue diem dulu, mikir ulang. Takutnya malah sisa perjalanan ini dihabiskan dengan mood yang jelek. Tapi daripada penasaran pada akhirnya gue tanya, “Cowok yang waktu itu kabarnya gimana?”
Kak Sana yang semula lagi sibuk ngemilin yupi langsung diem. Aduh, kayaknya gue salah nanya.
“Dia gitu aja.”
“Gitu gimana? Udah gak dijodoh-jodohin lagi, 'kan?”
Dia menyandarkan kepalanya pada bahu gue. Ini mah sambil ngebujuk supaya gue gak ngambek.
“Iya, udah enggak.”
“Terus gimana?”
“Dia sempat ... apa, ya, kesel? Pas tahu kalau aku pacarnya kamu. Kemarin waktu aku nyelametin kamu pertama kali juga dia bales judes gitu, deh.”
Bentar, kok lawak, ya?
“Dia kesel karena kalah sama brondong?”
Kak Sana ngangguk. “Kayaknya, sih, gitu.”
Gue gak bisa buat gak ketawa, lalu ikut menyandarkan kepala gue di atas kepalanya. Kak Sana lanjut ngemilin makanan kenyalnya itu.
Sekali-kali kayak gini di tempat umum gak papa kali, ya? Toh tempat makannya juga belum begitu rame.
Mari kita nikmatin aja.
Gue sama dia gak sekamar, kok, beda lantai pula. Ini udah sore dan gue yang baru selesai mandi diminta untuk jadi fotografer dadakannya. Kayaknya ini udah jadi kebiasaan kami semenjak pacaran dah.
Beda dengan tadi pagi, Kak Sana tampak lebih modis sekarang. Dia pakai kemeja yang tak dikancing dengan dalaman berwarna putih. Dia pakai celana jeans dan di kepalanya ada topi beret berwarna cokelat.
Dia juga sempat main sama anjing yang dibawa pengunjung lain. Gue cuma senyum-senyum lihatnya dan jaga jarak karena juju gue gak berani sama anjing yang gede gitu.
Selesai main sama anjing, gue menarik tangannya untuk mendekat ke arah pantai. Dia awalnya menolak, tapi gue malah bersenandung dan itu membuat dia tertawa geli.
“Baby, I'm dancing in the dark.“
Angin meniupi kami. Turut menggoda agar perasaan bahagia ini semakin kencang keluar.
“With you between my arms. Barefoot on the grass.“
Gue menarik tangannya, menciptakan jarak antara kami berdua sebelum membiarkan tubuhnya untuk berputar mendekati gue. Lalu memerangkapnya dalam sebuah pelukan.”
“Listening to our favourite song.“
Tawanya terdengar lagi setelah gue mengikuti gerakannya barusan. Dia menepuk perut gue sebagai pelampiasan dan gue ikut tertawa karena itu.
“When you said you looked a mess. I whispered underneath my breath. But you heard it.“
Dagu beristirahat di atas pundak. Hidung menemui aroma kesukaannya. Tangan memeluk pinggang yang terasa pas. Sempitnya jarak yang membuat kami kebal dengan rasa dingin yang ada.
“Darling, you look perfect tonight.“
Gue mencuri satu kecupan di pipinya dan dia sekali lagi mengeluarkan tawa indahnya. Sumpah ... cantik, cantik banget.
Tuhan lagi senang pas nyiptain Kak Sana. Gue beruntung bisa merengkuh tubuhnya. Rasanya gue ingin menjadi angkuh setiap mengaku kalau dia adalah milik gue. Dia memberi gue cinta, membawa kebahagiaan, dan hangat yang entah kapan hilangnya.
“Hahaha, ngapain, sih?”
“Biar romantis, Kak. Dansa di pantai.”
“Lagunya tonight, tapi ini belum malem.”
Kami tertawa bersama lagi.
Selesai dengan itu, kami kemudian membeli kelapa. Belum lengkap rasanya kalau ke pantai gak minum itu dan makan seafood. Makannya nanti malem bareng yang lain, jadi sekarang minum dulu sambil lihat lautan yang nampak biru. Makin indah dibalut cahaya jingga dari langit sore.
“Cantik, dah,” kata gue sambil menyampirkan rambutnya ke telinga. Kalian harus percaya kalau itu adalah salah satu kalimat paling jujur yang pernah gue ucapin seumur hidup.
“Apaan, sih?”
Baiklah, tampaknya beliau sedang gengsi untuk dipuji.
Gue cuma ketawa, merasa gemas dengan reaksi yang dia tunjukkan. Kali ini kami lebih banyak diem, benar-benar mau menikmati waktu. Entah kapan lagi bisa ke sini, terlebih kalau udah gue kerja nanti.
Dia gak menuntut, tapi gue tahu gue perlu buru-buru.
“Kak.”
“Hm?”
“Makasih, ya.”
Kak Sana menatap gue dengan bingung. “Makasih kenapa?”
“Udah mau mengunjungi duniaku, juga berkenan buat bawa aku ke dunianya Kakak.”
Dia senyum. Es kelapa yang ada di tangan gue kalah manis.
“Ya udah, aku juga makasih kalau gitu.”
Kak Sana lagi-lagi nyenderin kepalanya setelah nyimpen minumannya di atas meja, kayaknya ini emang posisi favorit beliau. Tangannya mengajak tangan gue untuk saling bertautan, sesekali akan dia mainin.
“Seneng gak diajak ke sini?”
“Seneng, Dek.”
“Masih mau sama aku?”
Gue bisa merasakan dia mengangguk. “Masih.”
“Sip.”
Dia ketawa, merasa terhibur dengan balasan gue barusan. Gue juga ikut tertawa. Tawa kami di hari itu berpadu. Layaknya lagu favorit, gue gak akan pernah bosen dengerinnya.
Mungkin, emang masih perlu jalanan panjang supaya bisa nemu tujuan yang sama. Gue merasa gak keberatan sama sekali untuk memperjuangkan hal itu.
Gue tahu jalanannya gak akan mulus. Gue juga tahu kalau ini bukan hal yang mudah. Namun, sekarang gue gak lagi melangkah sendirian. Ada sepasang kaki lain yang juga turut mengejar tujuan itu.
Sekarang, baik gue atau Kak Sana sama-sama berjuang.