kondangan.

Suara nyanyian Jun dan Momo mendomanisasi mobil itu. Lagu 'Seberapa Pantas' milik Sheila ON7 terdengar samar, teredam oleh suara mereka berdua. Jeje dan Caca bergabung di bagian reff saja, sedangkan Wira sesekali menjentikkan jarinya mengikuti irama. Zidan sudah memasang earphone-nya, melanjutkan tontonannya walau tak benar-benar bisa fokus.

Sesuai kata Wira, perjalanan mereka menuju tempat Helia agak terhambat karena macet. Oci yang biasa mengendarai mobil agak ngebut pun, sekarang mau tak mau harus santai. Sebisa mungkin harus santai karena yang duduk di sebelahnya Caca.

Sebenarnya Oci biasa saja, tapi semenjak Caca ngacangin dia, Oci jadi canggung.

“Bentar lagi ada masjid, Ci,” ucap Wira di sela nyanyian mereka. Ia memang bertugas memberi tahu arah pada Oci, walau laki-laki itu sudah tahu jalannya, tapi tidak dengan tempatnya.

Wira duduk di antara Zidan dan Jun, mereka duduk di tengah. Sedangkan Jeje dan Momo ada di bangku paling belakang. Mereka kalah suit.

“Oke,” jawab Oci singkat dan memilih untuk lebih fokus ke jalanan. Takut masjidnya kelewatan.

Selepas mereka beribadah dan ikut membatalkan puasa di sana, mereka akan meneruskan perjalanan.


Gedung itu sudah cukup ramai. Sesuai dugaan, ini menjadi reuni berkedok pernikahan. Sedari tadi, sudah banyak yang menyapa mereka.

Belum apa-apa, mata Momo sudah mengamati satu per satu makanan yang tersedia di sana. “Gila ... makanannya gak pelit,” komentar Momo.

“Nanti dulu lah, Mo. Salaman dulu sama pengantennya,” ucap Jun seraya menarik belakang baju Momo seperti kucing.

“Ih, lepasin!”

Zidan berjalan memimpin mereka, dia memang paling tidak betah ada di keramaian begini. Bawaannya ingin cepat pulang, tapi sayangnya yang lain bukan tipe yang susah bergaul.

“Yang, pelanan dikit. Buru-buru amat,” ucap Oci sambil menyamakan langkahnya dengan Zidan. Yang lain, spontan juga mengikutinya.

“Jangan lama, deh. Ini rame banget,” ucap Zidan dan yang lain mengangguk paham.

“Ya udah, ayo sapa dulu pengantinnya, makan, terus kita pulang, deh,” balas Caca.

Ini yang membuat Zidan tak merasa kewalahan berteman dengan mereka. Meski semuanya pandai bergaul di dunia nyata, tapi tak ada yang pernah benar-benar memaksa Zidan agar sama seperti mereka.

“Aduh, udah nikah aja ini bocil satu.” Itu adalah kalimat yang pertama keluar dari mulut Jun ketika mereka sudah berhadapan dengan pengantinnya.

Caca langsung memeluk Helia setelah tersenyum pada suami perempuan itu. “Selamat, yaaa, semoga langgeng dan bahagia selalu.”

Momo dan Jeje melakukan hal yang sama setelah Caca, juga dengan ucapan yang menurut Jun khas perempuan banget.

“Yang bener, ya, Mas, jagain istrinya,” ucap Oci sok akrab. Padahal dia sudah melupakan nama orang yang dia ajak bicara barusan.

“Siap, pasti dijagain. Ini yang temen kecilnya Helia itu, ya?” balasnya.

“Iya nih, Mas. Dulu dia paling bawel,” sahut Jun.

Helia menatap teman masa kecilnya itu satu per satu. “Kalian ini disuruh bawa plus one malah bawa satu kampung.”

“Kata Jun, kita 6+1,” balas Wira dengan tanpa ekspresi membuat Helia juga suaminya tertawa. Jun yang namanya disebut mau tak mau ikut tertawa.

“Buset, awet bener kalian bareng-bareng,” ucap Helia. Dia agak tidak menyangka kalau mereka akan datang dengan seperti ini.

Oci merangkul Zidan yang ada di sebelahnya. Kemudian mengukir senyuman bangga. “Lah, kita pas di perut aja udah main gaple bareng.”

Semua menatap aneh pada Oci, tapi itu bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan karena keluar dari mulut laki-laki itu.

Mengikuti permainan, Momo langsung bertanya, “Siapa yang menang?”

Oci menoleh pada perempuan itu. “Yang lahir duluan.”

Semua langsung tertawa mendengar itu. Entah dari mana lucunya.

“Ngaco anjir,” ucap Zidan sambil menyikut Oci pelan.

Jun tertawa paling keras, tapi dia tiba-tiba berhenti. Jarinya menunjuk pada diri sendiri. “Lah, gue dong?”

“Iya, lo juaranya dah, Jun,” sahut Jeje seraya menepuk pundak laki-laki itu seakan ia bangga.

Jun membusungkan dadanya kemudian malah berjalan bolak-balik di hadapan mereka sembari berkata, “Permisi, pemenang mau lewat.”

Dia baru berhenti setelah Momo mencubit perutnya lumayan keras.

“Aduh, KDRT mulu!” protesnya.

Helia menggelengkan kepalanya, ternyata mereka belum banyak berubah. Sekali lagi ia menatap satu per satu wajah teman lamanya kemudian berhenti pada Wira yang berdiri berdampingan dengan Jeje.

Wira mengangkat kedua alisnya, bingung karena Helia tiba-tiba menatapnya dengan alis yang naik turun. Helia tersenyum remeh.

“Tapi beneran, nih, kalian semua masih friends aja? Belum ada yang lebih dari itu satu pun?”

Wira melotot mendengar itu, baru sadar dengan maksud Helia. Yang ditatap hanya mengendikkan bahunya tak acuh.

“Udah naik tingkat, kok,” jawab Jeje membuat suasana terkesan berbeda. Wira menatap Jeje was-was, tapi juga tidak sabar.

“Sekarang kita semua best friends,” sambung Jeje lengkap dneban ibu jari juga cengiran khasnya.

Helia menatap Wira sembari menahan tawanya. Laki-laki itu hanya mendengus sebelum menoleh ke arah lain. Malas.

“Aduh, gue kira lo bakal jawab ada yang jadi bedug,” ucap Jun membuat Oci menginjak kakinya.

“Banyak omong!”

“Jangan diinjek juga dong, anjir!”

Helia lagi-lagi menggelengkan kepalanya maklum. “Aduh, ternyata belum ada juga yang maju. Ya udah kalian silakan dinikmati makanannya, ya. Tamunya masih banyak, nih. Gue belum bisa ngobrol lama-lama.”

Mereka mengangguk paham. “Sekali lagi, happy wedding, ya, Helia!”

Mereka menjauh dari pengantin. “Ya udah mencar dulu aja, nanti kita kumpul lagi. Makan yang kenyang lo semua,” ucap Oci.

Oci memisahkan dirinya tanpa menunggu jawaban. Sedari tadi sudah ada yang dia incar.

“Ayo, Ca, mau bareng gak?” ajak Momo, tapi Caca malah menunjukkan wajah ragunya.

“Eh ... aku mau ke toilet dulu. Duluan aja, ya, Mo,” balas Caca. Mereka semua menatap menyelidik karena setelahnya, Caca malah mengejar Oci.

Momo menunjukkan raut bingungnya. “Lah, toiletnya si Oci?”

“Mau bahas yang kemarin kali, biarin aja, deh. Ayo kita ambil bakso aja, Mo,” ucap Jun sembari menarik tangan Momo tanpa permisi. Namun, kali ini perempuan itu tidak protes karena Momo juga menginginkannya.

“Mau ke mana, Je?” tanya Wira pada perempuan berambut sebahu di sebelahnya.

“Gue mau nasi aja,” jawab Jeje dan berjalan ke tempat yang dia inginkan. Wira mengikutinya setelah itu. Menyisakan Zidan yang tetap diam di sana.

Zidan menghembuskan napasnya kasar. Kepalanya menunduk, menatap kakinya yang menendang angin.

“6+1 apanya ... ini mah 6-1.”

Selalu saja seperti ini.

Zidan selalu menjadi pihak yang dilupakan. Di saat yang lain mencicipi hidangan yang tersedia di sana, Zidan malah melangkahkan kakinya keluar dari gedung itu.