Kwon Soonyoung akan menikahi asisten pribadinya, Minatozaki Sana.
Pagi ini kantor diramaikan oleh berita itu, setelah semalam mereka sama-sama menerima email berisi undangan pernikahan. Tak ada yang pernah menduga kalau direktur keuangan akan berakhir dengan asistennya, lebih tepatnya tidak ada yang menyangka kalau Soonyoung menjalin sebuah hubungan.
Bukan rahasia umum lagi kalau Soonyoung adalah sosok yang menghindari terikat dengan seseorang diluar pekerjaan. Laki-laki itu selalu membangun tembok tinggi kalau ada yang mendekatinya, wajahnya memang ramah tapi ucapannya kadang kelewatan.
Lalu, soal Minatozaki Sana. Jika Soonyoung tidak tertarik untuk mempunyai hubungan, maka Sana terlalu berhati-hati dalam memulai hubungan. Belum lagi dengan pekerjaannya sebagai asisten pribadi yang banyak menyita perhatiannya. Tak jarang Sana akan lebih fokus pada Soonyoung dibandingkan dirinya sendiri.
Yang sedang menjadi topik pembicaraan muncul di lobi, pemandangan Soonyoung dan Sana dibelakangnya adalah hal yang biasa. Tapi, kali ini semuanya terasa berbeda karena undangan pernikahan keduanya. Bisikan mulai terdengar seiring langkah keduanya yang semakin memasuki area kantor.
Soonyoung menghela napasnya, memang benar manusia dan hobinya membicarakan orang tidak bisa dipisahkan dimana pun tempat dan tujuan keberadaannya.
“Kalau mereka mau menikah, kenapa jalannya belum berdampingan?”
Kalimat itu menjadi satu bisikan yang jelas terdengar oleh Soonyoung, langkahnya berhenti seketika. Dia melirik pada pemilik suara lewat ekor matanya, raut tanpa ekspresi yang sering ditunjukkan menjadi ancaman tersendiri apabila Soonyoung menatap secara khusus.
Sana tentu menyadarinya. Bekerja semenjak sosok di depannya diangkat menjadi direktur, Sana bisa menilai bagaimana Soonyoung. Yang lebih tua memiliki suasana hati yang mudah dibuat buruk dan sulit dibuat baik. Termasuk dalam situasi ini, Soonyoung baru saja dibuat badmood.
Sana berjinjit agar bisa berbisik pada Soonyoung, “Pak Kwon, masih banyak pekerjaan lain.”
“Ah benar masih banyak pekerjaan,” balasnya sengaja mengeraskan suaranya, menyindir. Soonyoung melanjutkan langkahnya dan tentunya diikuti oleh Sana.
“Ini dia yang baru aja ngehebohin dunia.” Begitu sampai di lantai tempat ruangan mereka berada, keduanya disambut oleh celetukan Jinhyuk yang sepertinya sengaja menunggu di dekat lift. Soonyoung memutar bola matanya malas, untung Jinhyuk bukan sekedar rekan kerja.
“Emang kenapa sih? Aneh kalau gue sama Sana nikah?” Sahutnya dan Sana terkekeh karena entah sadar atau tidak, Soonyoung tidak bersikap formal padahal ada dirinya.
“Hahahaha gak gitu, cuma kaget aja. Lagian lo gak cerita,” balas Jinhyuk sembari mengelus dagunya sendiri.
“Masih mending gue undang,,” celetuk Soonyoung sembari berjalan menuju ruangannya. Sebentar lagi jam kerja, bukan saatnya mereka membicarakan urusan pribadi.
Jinhyuk yang kelewat hafal dengan tingkah sahabatnya kini berdecak. Kesal karena tiba-tiba ditinggalkan. Laki-laki itu menatap pada Sana yang tidak mengekori Soonyoung, “Sana, yakin nikah sama Soonyoung? Saya gak tahu apa alasan kalian tiba-tiba memutuskan untuk menikah. Tapi apapun itu, saya harap bukan jalan yang kalian ambil sebagai penyelesaian masalah. Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”
Sana terdiam untuk beberapa saat sebelum memandang Jinhyuk dan tersenyum, “Pak Lee, sebentar lagi ada rapat dengan direktur utama.”
“A-ah benar juga, saya duluan ya, Sana.” Laki-laki itu teralih seketika, ia mengambil langkah cepat dan masuk ke ruangannya.
“Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”
Sana menggelengkan kepalanya, ini bukan saatnya ia memikirkan itu.
- * *
Soonyoung memandang lekat ke arah Sana, sedari tadi ia mengamati bagaimana gerak-gerik perempuan itu. Awalnya seperti yang biasa ia lakukan, Soonyoung sesekali akan memeriksa kegiatan Sana. Kali ini ia memandang agak lama karena perempuan itu tampak pucat dan tidak fokus.
Laki-laki itu melihat pada jam tangannya, sebentar lagi jam kerja akan selesai dan tidak ada lagi yang harus ia lakukan hari ini. Dia merapihkan semua peralatannya kemudian membuka salah satu lacinya, mengambil jaket. Soonyoung berjalan mendekat, tanpa kata menyampirkan jaketnya pada bahu Sana. Sana terdiam masih memproses keadaan. Hingga ketika Soonyoung mulai membereskan barang-barangnya, dia baru bereaksi lebih.
“P-pak Kwon, biar saya saja.” Sana berucap panik dan spontan memegang lengan yang lebih tua. Gerakan Soonyoung terhenti dan mata mereka bertemu.
Si kelahiran Juni tersenyum tipis seraya menggeleng, “Ini sudah bukan jam kerja, Sana. Sekarang kamu pasangan saya, tidak usah sungkan ya.”
Sana terdiam dan tidak protes ketika Soonyoung melanjutkan kegiatannya tanpa menyingkirkan tangan Sana. Perempuan itu meringis ketika rasa sakit di kepala yang sempat ia abaikan kembali terasa. Soonyoung melirik sekilas dan mempercepat gerakannya.
“Kamu kuat jalan?” Tanyanya seraya memegang dahi Sana, memeriksa suhu tubuh perempuan itu. Sana dibuat bungkam karena sentuhan pada dahinya yang dilanjutkan dengan elusan di rambut.
“Sana?”
“A-ah kuat kok, Pak.”
“Pakai jaketnya ya, tas kamu biar saya yang bawa. Tidak ada yang tertinggal kan?” Tanya Soonyoung dan Sana mengangguk sebagai jawaban. Ketika Sana berdiri, Soonyoung segera merangkul untuk membantunya berjalan. Laki-laki itu tidak yakin Sana kuat berjalan seperti yang dikatakannya, tapi ia diam karena paham kalau Sana masih sungkan padanya.
“Saya temani ke dokter ya.” Sana tidak membalas ia terlanjur pusing, dalam posisi berjalan seperti ini rasanya semakin sakit. Ditambah pikirannya masih terfokus pada suatu hal.
Begitu keluar dari ruangan Soonyoung, kesadaran Sana menipis. Sebelum pandangannya benar-benar gelap, ia sempat mendengar, “Sini biar gue yang bawa barangnya. Lo jangan panik! KWON SOONYOUNG ASTAGA!”
- * *
“Akhirnya, bangun ... merasa baikan gak?”
Yang pertama kali Sana lihat ketika membuka matanya adalah lampu. Perempuan itu menoleh ke asal suara, itu Eunbi. Entah kenapa Sana sedikit merasa kecewa karena yang pertama kali ia lihat bukan Soonyoung. Sana menepis rasa kecewanya, dia adalah wanita yang akan berumur tiga puluh tahun, perasaan semacam ini seharusnya tak ia rasakan.
“Lumayan,” balasnya sembari memijat pelipisnya sendiri.
“Tadi, dokter kesini. Katanya lo kecapean dan banyak pikiran? Intinya sekarang habis makan dan minum obat langsung tidur lagi ya. Besok ambil cuti dulu.”
Sana hanya mengangguk sebagai balasan. Ketika menatap sekeliling ia baru sadar kalau ini bukanlah apartemen miliknya. Tapi bukan juga tempat yang asing untuknya.
“Ini rumah Pak Kwon?”
Eunbi mengangguk, “Iya, tadi anaknya panik banget jadi Seungwoo mutusin buat manggil dokter aja.”
“Ah gitu ya ... bantuin dong Kak, mau duduk,” ucap Sana dan langsung dilalukan Eunbi. Sana memandangi pintu kamar dan Eunbi langsung memahaminya.
“Kalau lo cari Soonyoung, dia lagi buat bubur. Agak lama mungkin ... soalnya dia malu.”
“Malu?” Tanya Sana.
“Dia panik sambil nangis mana terus nyalahin diri sendiri. Pas dokter datang pun sempet dia marahin, Seungwoo bahkan kena tonjok gara-gara dokternya lama dateng.”
Sana membulatkan matanya, memandang Eunbi tidak percaya. Mana mungkin seorang Kwon Soonyoung panik hanya karena dia pingsan kan? Bahkan sampai menangis dan marah-marah tidak jelas. Rasanya itu bukanlah Soonyoung.
“Gue jujur kok, terserah lo mau percaya atau nggak ... ” Eunbi menggantungkan kalimatnya, dia menatap lekat pada sahabatnya dan memegang kedua tangan Sana.
“Soonyoung cerita kalau kalian mutusin buat menikah karena sama-sama kena tuntutan. Gue gak tahu ini keputusan terbaik atau nggak, karena pasti setelah menikah bakal lebih banyak tuntutannya. Tapi terlepas dari semua itu, gue lega sepupu gue sama lo, Sana,” ucap Eunbi diakhiri dengan senyuman.
Sana terdiam, setiap kalimat yang Eunbi keluarkan terasa menusuknya. Padahal perempuan itu tidak menyindir, tapi Sana merasa demikian. Ditambah dengan ucapan Jinhyuk tadi, Sana rasa keputusannya adalah hal yang salah.
Seharusnya, ia dan Soonyoung hanya sebatas direktur dan asisten pribadinya.
Tidak lebih.
Belum sempat membalas ucapan Eunbi, pintu kamar terbuka mengalihkan atensi keduanya. Ada Soonyoung dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih, laki-laki itu tampak sedikit kacau. Di belakangnya ada Seungwoo yang kemudian memberikan isyarat pada Eunbi untuk keluar.
“Sana, Soonyoung, kami pamit ya. Semoga lekas sembuh, Sana,” ucap Seungwoo sebelum menutup pintu.
Soonyoung tanpa kata menyuapkan sesendok bubur, senyum terukir ketika Sana menerima suapannya. Keduanya terlibat hening hingga obat masuk ke dalam tubuh Sana. Soonyoung meletakkan bekas makannya di atas laci, ia akan menyimpannya kalau perempuan itu sudah terlelap.
“Kamu sekarang istirahat disini ya, saya di ruang tengah jadi kamu teriak saja kalau butuh sesuatu. Tapi jika tidak sanggup, telepon atau chat saya ya. Saya akan keluar kalau kamu sudah tidur.”
Sana menatap pada Soonyoung, kenapa sikapnya sekarang seolah mereka benar-benar menjadi pasangan karena keinginan mereka? Padahal mengobrol pun masih terdengar formal.
“Pak, keputusan kita itu benar atau nggak? Maksud saya, pernikahan adalah pilihan tapi kita karena tuntutan.”
Soonyoung tidak langsung membalas, dia memandang pada Sana. Perempuan itu menghindari tatapannya dan Soonyoung paham kalau Sana ada dalam keraguan.
“Sana, saya tahu kalau kita sama-sama punya tuntutan untuk menikah karena umur. Tapi, saya memilih kamu.”
Satu.
“Terlepas dari tuntutan itu, saya memang tidak pernah berharap tapi saya pernah memikirkan bagaimana kalau seandainya kamu adalah orang yang mendampingi saya sebagai istri? Ketika tuntutan itu semakin gencar diberikan, pikiran saya selalu terarah pada kamu.”
Soonyoung tersenyum, merasa konyol karena mengatakan itu pada Sana.
“Di umur saya yang sekarang, saya yakin kalau apa yang saya punya sudah cukup untuk melamar seseorang. Saya selalu ingat kata Papa, kalau saya harus menikah dengan seseorang yang tahu buruknya saya sebelum menikah dan mau mengubah itu bukan sekedar menerimanya. Kamu seperti itu.”
Dua.
“Kita jadi rekan tidak di waktu yang sebentar. Kita tahu kebohongan masing-masing dan sering dibuat bahagia bersama. Saya tahu kalau kamu adalah orang yang saya butuhkan untuk menjadi pasangan hidup saya.”
Tiga.
“Tak ada yang menduga kalau kita akan ada di hubungan romansa, termasuk diri kita sendiri. Benar?”
Sana mengangguk, dirinya sangat dibuat bungkam oleh setiap kalimat yang diucapkan Soonyoung sebelumnya.
“Itu membuat kita sama-sama tidak pernah memasang ekspetasi tinggi terhadap diri masing-masing, tanpa sadar. Kita tahu dengan jelas kalau sesudah menikah akan lebih banyak tuntutan yang datang bukan bahagia selamanya. Tapi, kita bisa bahagia bersama tanpa menjadikannya tujuan.”
Empat.
“Saya tidak bisa menjamin akan terealisasikan atau tidak, tapi saya akan berusaha untuk mewujudkannya. Jika kamu tanya keputusan ini benar atau tidak, untuk saya jawabannya iya. Untuk kamu bagaimana? Disini bukan hanya ada saya, Sana.”
Lima.
Hanya lima poin, tatapan yang tulus dan senyuman yang tidak pernah lepas, Sana tahu kalau keraguannya hanya percuma. Sejak keputusan itu diambil sekitar tiga bulan yang lalu, seharusnya detik ini Sana tidak pernah mempertaruhkan keyakinannya hanya karena perkataan orang yang bukan peran utama dalam cerita mereka.
Mereka sudah banyak menghadiri seminar dan melakukan konsultasi pranikah, mereka mau belajar bersama. Belum lagi dengan persiapan yang telah mereka lakukan. Maka hal apa lagi yang harus Sana tuntut agar Soonyoung menawarkan jaminan yang lain?
Untuk sekarang, semua sudah cukup.
“Pak, jawaban saya juga iya. Maaf sempat ragu ... “
“Ssst, gak papa. Sekarang kamu istirahat ya, supaya bisa lekas sembuh,” ucap Soonyoung lembut dan Sana langsung membaringkan dirinya. Memilih untuk menurut.
“Pak Kwon.”
“Hm?”
“Saya percaya sama Bapak.”
Soonyoung masih setia dengan senyumannya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih, saya akan jaga kepercayaannya. Kamu juga jaga kepercayaan saya ya?
Sana tersenyum malu dan mengangguk, debaran yang selalu ia rasakan bersama Soonyoung terasa semakin jelas. Sana menyukainya.
Soonyoung mengelus pucuk kepala Sana pelan, “Tidur ya.”
Sana menurut dan mulai memejamkan matanya. Ketika yakin perempuan itu sudah masuk ke alam mimpi, Soonyoung memberanikan diri untuk mengelus pipinya. Dia tersenyum, memandang Sana dengan kehangatan yang sejauh ini baru ia tunjukan pada keluarganya.
“Terima kasih karena selalu menemani saya. Besok pagi buka pesan saya ya, Sana. Saya sebenarnya malu tapi mau kamu dengar itu haha.”
Tentu tidak akan ada balasan dari Sana.
“God, i really love this person. Let me take care of her as best i can.”
Ketika Soonyoung meninggalkan kamar itu, Sana membuka matanya. Ia memang pura-pura tertidur, perempuan itu langsung mengambil ponselnya yang mungkin sengaja Soonyoung letakkan di atas laci. Ada lagu yang dikirimkan oleh laki-laki itu, Sana segera memutarnya dengan volume pelan agar tidak ketahuan. Sepanjang lagu itu terdengar, Sana tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
'My love only amounts to this, but my heart won't change, it's only for you.'
“PAK, SAYA SUDAH BILANG BELUM KALAU SAYA SAYANG SEKALI SAMA BAPAK?” Teriaknya begitu lagu itu selesai. Masa bodoh, Sana tidak tahan harus pura-pura tenang.
Di luar kamar, Soonyoung berusaha menyembunyikan wajahnya pada lengan sofa, dari telinganya yang memerah terlihat jelas kalau laki-laki itu malu.
Sekarang, mari doakan supaya pernikahan Pak Kwon dan asistennya berjalan lancar.