metanoia-2
Kwon Soonyoung akan menikahi asisten pribadinya, Minatozaki Sana.
Pagi ini kantor diramaikan oleh berita itu, setelah semalam mereka sama-sama menerima email berisi undangan pernikahan. Tak ada yang pernah menduga kalau direktur keuangan akan berakhir dengan asistennya, lebih tepatnya tidak ada yang menyangka kalau Soonyoung menjalin sebuah hubungan.
Yang sedang menjadi topik pembicaraan muncul di lobi, pemandangan Soonyoung dan Sana dibelakangnya adalah hal yang biasa. Tapi, kali ini semuanya terasa berbeda karena undangan pernikahan keduanya. Bisikan mulai terdengar seiring langkah keduanya yang semakin dalam memasuki area kantor.
Soonyoung menghela napasnya, memang benar manusia dan hobinya membicarakan orang tidak bisa dipisahkan dimana pun tempat dan tujuan keberadaannya.
“Kalau mereka mau menikah, kenapa jalannya belum berdampingan?”
Kalimat itu menjadi satu bisikan yang jelas terdengar oleh Soonyoung, langkahnya terhenti seketika. Dia melirik pada pemilik suara lewat ekor matanya, raut tanpa ekspresi yang sering ditunjukkan menjadi ancaman tersendiri apabila Soonyoung menatap secara khusus.
Sana tentu menyadarinya. Bekerja semenjak sosok di depannya diangkat menjadi direktur, Sana sudah bisa menilai bagaimana Soonyoung.
Sana berjinjit agar bisa berbisik pada Soonyoung, “Pak Kwon, masih banyak pekerjaan lain.”
“Ah benar masih banyak pekerjaan,” balasnya sengaja mengeraskan suaranya, menyindir. Soonyoung melanjutkan langkahnya dan tentunya langsung diikuti oleh Sana.
“Ini dia yang baru aja ngehebohin dunia.” Begitu sampai di lantai tempat ruangan mereka berada, keduanya disambut oleh celetukan Jinhyuk yang sepertinya sengaja menunggu di dekat lift. Soonyoung memutar bola matanya malas, untung Jinhyuk bukan sekedar rekan kerja.
Ah, laki-laki itu pasti akan membahas hal yang sama yang menjadi topik pembicaraan mereka di group chat semalam.
“Kerja, Pak. Jangan kayak pegawai lo yang gosip di bawah,” balas Soonyoung, tanpa sadar ia sudah bersikap tidak formal di depan Sana.
“Lo belum jawab pertanyaan gue semalam, ya, Soon,” balas Jinhyuk, membuat Sana mengernyitkan dahinya. Tidak tahu menahu soal ini.
“Nanya lagi, lo gak akan dapet undangan cetaknya,” balas Soonyoung sembari berjalan menuju ruangannya. Memilih untuk mengabaikan Jinhyuk.
Jinhyuk yang kelewat hafal dengan tingkah sahabatnya kini berdecak, kesal karena tiba-tiba ditinggalkan. Laki-laki itu menatap pada Sana yang tidak mengekori Soonyoung.
“Sana, yakin nikah sama Soonyoung? Saya sebenarnya masih bingung kenapa kalian bisa tiba-tiba memutuskan untuk menikah, Soonyoung gak pernah cerita secara jelas. Apa pun itu, saya harap bukan jalan yang kalian ambil sebagai penyelesaian masalah. Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”
Sana terdiam untuk beberapa saat sebelum memandang Jinhyuk dan tersenyum tipis. “Pak Lee, sebentar lagi ada rapat dengan direktur utama.”
Jujur, ia selalu merasa kebingungan jika ditodong pernyataan seperti itu. Meski sudah diyakinkan sebagaimana rupa, ketakutan soal itu tetap ada dalam dirinya.
“A-ah benar juga, saya duluan ya, Sana.” Laki-laki itu teralih seketika, ia mengambil langkah cepat dan masuk ke ruangannya.
Rapat dengan direktur utama tidak pernah menjadi hal yang menyenangkan untuk mereka berempat. Para asisten paham dengan jelas.
“Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”
Sana menggelengkan kepalanya, ini bukan saatnya ia memikirkan itu. Kini, ia harus menjadi Sana yang berperan sebagai seorang asisten dari direktur keuangan. Bukan calon istrinya.
Soonyoung memandang lekat ke arah Sana, sedari tadi ia mengamati bagaimana gerak-gerik perempuan itu. Sudah jadi kebiasaannya untuk memeriksa kegiatan Sana. Namun, kali ini ada yang berbeda.
Perempuan itu tampak terlihat memucat dan gerakannya juga cenderung lambat. Ia terlihat lemas.
Laki-laki itu melihat pada jam tangannya, sebentar lagi jam kerja akan selesai. Tidak ada yang harus mereka lakukan setelahnya karena persiapan pernikahan hanya tinggal menunggu undangan cetaknya selesai.
Soonyoung merapihkan semua peralatannya kemudian membuka salah satu lacinya, mengambil jaket yang sengaja ia simpan di sana. Dia berjalan mendekat ke arah Sana, tanpa kata menyampirkan jaketnya pada bahu asistennya.
Sana terdiam masih memproses keadaan. Hingga ketika Soonyoung mulai membereskan barang-barangnya, dia baru bereaksi lebih.
“P-pak Kwon, biar saya saja.” Sana berucap panik dan spontan memegang lengan yang lebih tua. Gerakan Soonyoung terhenti dan mata mereka bertemu.
Si kelahiran Juni tersenyum tipis seraya menggeleng. “Ini sudah bukan jam kerja, Sana. Sekarang kamu pasangan saya, tidak perlu sungkan, ya.”
Sana langsung terdiam. Ia tidak lagi protes ketika Soonyoung melanjutkan kegiatannya tanpa menyingkirkan tangan Sana yang memegangnya. Merapihkan dengan satu tangan tanpa merasa keberatan.
Sana tiba-tiba meringis, merasakan rasa sakit di kepala yang sempat ia abaikan, sekarang kembali terasa.
Soonyoung sadar akan hal itu. Namun, ia tak mengatakan apa-apa. Soonyoung melirik sekilas pada Sana, kemudian mempercepat gerakannya.
“Kamu kuat jalan?” tanyanya seraya memegang dahi Sana, memeriksa suhu tubuh perempuan itu. Sana dibuat bungkam karena sentuhan pada dahinya yang dilanjutkan dengan elusan pelan di pucuk kepala.
“Sana?” tanya Soonyoung lagi ketika Sana tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“A-ah kuat kok, Pak.”
“Pakai jaketnya ya, tas kamu biar saya yang bawa. Tidak ada yang tertinggal, 'kan?” tanya Soonyoung dan Sana mengangguk sebagai jawaban.
Ketika Sana berdiri, Soonyoung segera merangkulnya, sekaligus membantunya untuk berjalan. Laki-laki itu tidak yakin Sana kuat seperti yang dikatakannya, tapi ia diam karena paham kalau Sana masih sungkan padanya.
“Saya temani ke dokter, ya.” Sana tidak membalas lagi. Kali ini kepalanya benar-benar terasa pusing. Dalam posisi berjalan seperti ini rasanya semakin sakit.
Ditambah pikirannya masih terfokus pada satu hal.
Begitu keluar dari ruangan Soonyoung, kesadaran Sana menipis. Sebelum pandangannya berubah menjadi gelap, ia sempat mendengar, “Sini biar gue yang bawa barangnya. Lo jangan panik! KWON SOONYOUNG ASTAGA!”
Setelah itu, kesadarannya menghilang. Meninggalkan Soonyoung yang panik karena Sana tiba-tiba jatuh pingsan, untuk dia masih bisa menahan agar tubuh itu tidak menabrak lantai.
Eunbi yang barusan teriak menyuruhnya untuk tidak panik rasanya malah membuatnya semakin merasa panik. Perempuan itu tentunya tidak sendiri, ada Seungwoo yang mengekorinya.
“Tunggu apa lagi, sih, Soon? Gendong terus cepet bawa dia ke rumah sakit.”
Mata Soonyoung bergertar. “Bi, Sa-sana ... ini gara-gara gue. Harusnya dia jangan suruh dia kerja.”
“Nanti aja bahasnya, sekarang kesehatan dia lebih penting, okay? Kalau gak mau ke rumah sakit, bawa aja ke rumah lo. Nanti biar Seungwoo yang neleponin medis,” ucap Eunbi sembari mengusap pundak Soonyoung, berusaha membuatnya lebih tenang.
“Kwon Soonyoung, astaga. Malah nangis!”