Level.

Katanya, mencintai itu ada levelnya.

note : cerita ini sebelumya pernah dipublikasikan di wattpad dan instagram.

cw // mention of accident.


Ada yang bilang kalau cinta memiliki tingkatan tersendiri. Dimulai dari cinta monyet, cinta dimana kamu sudah mulai memahami hingga sampai di titik cinta yang sesungguhnya.

Dalam kehidupan, cinta memiliki warnanya tersendiri. Hal ini terkadang bisa membuatnya menjadi bagian terpenting di kehidupan seseorang. Tak jarang pula berhasil membuat seseorang kehilangan pijakannya karena masalah hati.

Hari itu, Hyunjin mengatakan padanya sebuah kalimat yang berhasil membawa Chaeyoung tenggelam ke dalam pemikirannya sendiri lagi. Menjelajahi isi kepalanya sendiri dan tak lupa membawa hatinya dalam pertimbangannya atas ucapan Hyunjin.

“Kak, lo tahu gak? Gue ngerasa kita tuh bukan ada di level terakhir. Kita baru  sampai pertengahan.”

Hyunjin itu random. Tak jarang hal itu malah membuat hari keduanya keduanya diakhiri dengan obrolan yang cukup mendalam.

Perihal kalimat Hyunjin tadi serta pertimbangannya. Chaeyoung tak akan mengelak mengenai hal itu, tapi dirinya juga tak akan menyetujui kalimat yang sempat diperdengarkan padanya itu, untuknya.

“Lo ngerasa kita akhir-akhir ini hampa gak sih?”

Hyunjin kembali menyuarakan isi pikirannya. Kali ini Chaeyoung mengangguk, memberinya sebuah jawaban. Menyetujui perihal kehampaan yang Hyunjin rasakan. Walau sebenarnya hal itu membuatnya merasa tidak enak.

“Mungkin karena udah jarang ketemu, ya? Sorry, gue bakal coba selesain tugas gue cepet-cepet. Biar waktu gue buat lo bertambah.”

“Gak usah, Hyunjin. Tugas lo bukan tugas gak penting.”

Hyunjin memberinya sebuah tawa renyah bersamaan dengan tangan yang mengusak kepalanya.

“Mana ada tugas gak penting sih, Kak? Gue cuma mau belajar mempersingkat waktu.”

Jika diingat pertemuan pertama mereka lumayan ... menarik.

Saat itu, Chaeyoung secara kebetulan melewati tempat dimana Hyunjin tengah menjalankan tugasnya. Karena Chaeyoung melewati tempat tersebut, ia mendapat tuduhan kalau dirinya adalah salah satu dari kelompok yang tengah Hyunjin dan rekan-rekannya kejar.

Lalu, kalau diingat lebih jauh lagi, mereka berdebat panjang. Saat itu keduanya sama-sama merasakan perasaan yang sama untuk satu sama lain.

Begitu menyebalkan.

Ah, perihal mempersingkat waktu yang pernah Hyunjin bicarakan.

Dia memang benar-benar melakukannya. Hanya saja berbeda, yang terjadi adalah di luar kehendaknya.

Pagi itu Chaeyoung terbangun dengan rasa yang begitu tidak tenang, bercampur dengan rasa yang cukup memuakkan. Rasa yang mulai ia rasakan ketika Hyunjin berpamitan kepadanya dua hari yang lalu, sebelum dirinya pergi menjalankan tugasnya.

Chaeyoung menatap kosong pada pintu kamarnya, ada suara langkah yang terdengar terburu-buru. Pintu kamar itu terbuka, menampilkan adiknya yang datang dengan wajah gelisahnya.

Keduanya saling bertatapan, sama-sama memancarkan aura tak tenang.

“Pesawatnya jatuh ....”

Hanya itu yang sanggup adiknya ucapkan. Dan Chaeyoung dapat memahami dengan cepat.

“Kak...”

Adiknya mendekat, membawa Chaeyoung dalam pelukannya.

“Lo boleh nangis.”

Ketika tangisannya turun, Chaeyoung tahu. Bukan hanya Hyunjin yang harus mempersingkat waktu, tapi dirinya juga.

Ia harus mempersingkat waktu untuk langsung menaikkan levelnya dalam mencintai ke level tertinggi.

Mengikhlaskan.