“Makasih, Aru!” ucap Cici, merasa antusias dengan makanan yang Aru serahkan.
Aru tersenyum tipis sebelum duduk di tepi ranjang saudaranya itu. Dia turut membuka onigiri miliknya sendiri lalu memakannya dengan agak lemas. Berbanding terbalik dengan Cici.
“Kita dulu jadi sering jajan onigiri karena apa, ya?” tanya Cici, memulai pembicaraan.
Dulu.
Kalau bisa, Aru ingin menjadi tuli untuk satu kata itu.
“Karena kalau main, urang sering dititipin sama Gibran buat beli.” Ujungnya, Aru tetap menjawab.
“Oh, iya! Sekarang Gibran udah jarang, ya? Dia ngabisin liburannya gimana?”
“Hari terakhir kemarin papa sama adeknya nonton. Mungkin Gibran sama mereka? Dia belum cerita apa-apa soalnya. Binar juga sama, yang pasti gak ada yang di dorm.”
Cici mengangguk paham.
Tak ada lagi yang berbicara di antara mereka sebelum itu. Sejujurnya, Cici bisa menebak kalau ada yang ingin disampaikan oleh Aru. Laki-laki itu biasanya sedikit menghindarinya jika di rumah, tapi malam ini Aru malah bersedia mengantarkan sekotak minuman dingin ke kamarnya.
“Aru,” panggil Cici, “mau ngomong apa?”
Aru mengerjap lalu tertawa dengan canggung. “Bentar, Ci.”
Cici diam, menunggu. Onigiri di tangannya sudah habis sehingga Cici hangat bisa diam mematung.
Aru mengalihkan pandangannya, menghindari pertemuan mata mereka. Laki-laki itu menunduk, sedikit meremat makanan yang baru ia habiskan setengah.
“Urang udah lihat semuanya, Ci. Gimana lo ngejalanin hari lo setelah tahu hubungan kita, gimana susahnya lo ngejalanin semua itu. Mungkin lo berpikiran urang biasa aja, tapi jujur, Ci, urang sama kesusahannya.”
“Waktu pertama kali ketemu, urang ngerasa bakal ada sesuatu sama kita. Urang sedikitnya ngasih harapan ke diri sendiri kalau kita bakal lebih dari teman curhat. Urang berekspetasi, mungkin ada masa di mana kita ngomongin sebuah pernikahan.”
Cici terdiam. Ia tak mengerti kenapa Aru tiba-tiba berkata seperti ini.
“Ekspetasi itu mungkin bakal kejadian, tapi yang bakal diomongin pernikahan lo sama cowok lo, bukan lo sama urang,” ucap Aru dengan suara yang nyaris menghilang di akhir.
Laki-laki itu berdiri, menatap pada Cici dengan raut wajah bersalahnya. Onigiri yang ia pegang terjatuh bersamaan dengan raganya yang berlutut di depan saudaranya.
Cici secara spontan berdiri kala Aru terjatuh. Namun, kakinya tertahan untuk tetap membuat jarak kala Aru mengisyaratkan supaya Cici tidak mendekat.
“Urang capek, Ci. Pura-pura bilang kalau urang udah damai soal kita, kalau urang ikut bahagia lihat lo sama cowok itu ... urang bahkan iri sama dia.”
“Biarin urang lemah kali ini, ya, Ci? Biarin urang jadi manusia brengsek buat sehari karena confess ke cewek orang. Biarin urang nangisin lo sebagai cowok yang ditinggal kekasihnya.”
“Sekali ini aja ... besok urang bakal jadi Aru lagi. Urang bakal jadi orang yang paling bahagia di pernikahan lo nanti.”
Cici terdiam. Biasanya, ia yang ada di posisi Aru. Biasanya ia yang lebih bebas menyuarakan isi hatinya dan Aru yang tak pernah lelah mendengar. Biasanya selalu Cici yang lemah dengan tangisan dan Aru yang menenangkan dengan tepukan.
Cici mendekati saudaranya dengan perlahan. Ia ikut berlutut sebelum memeluk Aru.
“Aru, lo juga berhak buat nangisin kita.”