Makna.
“Siapa yang pegang kabelnya?” tanya Bintang. Satu laki-laki yang dari pagi tadi tak menghentikan kakinya untuk terus melangkah.
“Di aku, Abang!” sahut salah satu rekannya sambil berlari ke arah Bintang.
Bintang tersenyum tipis dan mengangguk, kembali mengatur segala peralatan yang dibutuhkan untuk keperluan lomba 17-an. Lomba yang rutin dilaksanakan di daerah tempat tinggalnya, sekali dalam setahun.
Mereka baru akan mempersiapkan lapangan selepas upacara tadi. Lombanya sendiri akan dimulai pada pukul 10.
“Abang, gak mau diem dulu? Ini sama aku aja, ya?”
Bintang menggeleng. “Abang gak capek, kok. Nanti abang gak bisa ikut lombanya, jadi sekarang abang ikut nyiapin aja.”
“Abang, 'kan, udah gak jadi ketua di sini.”
“Sst, gak papa. Abang, ada kemungkinan gak akan kuliah di sini, jadi abang mau manfaatin waktu yang ada. Akhir-akhir ini aja udah susah ngabisin waktu sama kalian,” jawab Bintang, menyakinkan orang yang lebih muda darinya itu.
Akhirnya, mau tak mau orang tadi mengangguk. Membiarkan Bintang melanjutkan apa yang ia kerjakan.
Tak lama kemudian ada seorang anak kecil menghampiri Bintang, tidak lupa dengan nama Bintang yang diteriakkan oleh anak itu.
Bintang menoleh dan tersenyum hangat ketika sosok itu sudah mendekat. Kemudian ia berjongkok, menyamakan tinggi antara keduanya.
“Kata mama abang belum makan, jadi aku bawain roti!” ucap Zia, adiknya Bintang.
“Abang lupa. Makasih, ya, Dek.”
“Aku mau di sini, mau nonton,” ucap Zia lagi dan Bintang hanya mengangguk sembari memakan roti yang diberikan adiknya.
Selesai makan, Bintang meraih tangan Zia. Memastikan agar adiknya itu tak jauh darinya. Lapangan ini lumayan ramai dan meskipun keduanya sama-sama sudah tidak asing dengan tempat ini, Bintang tetap khawatir.
“Abang, aku gak sampe. Tolong gantungin ini,” panggil salah seorang anggota yang membawa tempat berisi banyak kerupuk. Kerupuk-kerupuk berwarna putih itu sudah diikat dengan tali, siap untuk digantungkan.
“Kamu tungguin abang di sini, ya, jangan kemana-mana.”
Zia langsung memasang pose hormat, dan Bintang tertawa gemas menanggapi itu. Dia kemudian mulai menggantung satu per satu kerupuknya.
“Abang, aku bantu, ya?” tanya Zia sembari menyerahkan salah satu kerupuk pada Bintang. Membantu agar kakaknya itu agar tidak membungkuk berulang kali untuk mengambil kerupuk. Jadi, Bintang hanya tinggal memasangkannya saja.
“Boleh, makasih, ya,” jawab Bintang.
“Sama-sama! Tapi, Bang, kenapa kerupuknya harus digantung?”
“Zaman dulu, 'kan, ada kesulitan kebutuhan pangan. Ada yang kesusahan buat sekedar makan. Jadi, lomba ini bisa dibilang simbol keprihatinan untuk itu, Dek,” jawab Bintang tanpa mengalihkan pandangannya.
Zia diam sejenak, meresapi apa yang dikatakan oleh sang kakak. Kemudian ia mengangguk, walau belum benar-benar paham.
“Kalau panjat pinang kenapa banyak yang mau ikut? Itu, 'kan, bahaya.”
“Uhm, kalau itu mungkin karena hadiahnya. Kamu tahu gak, sih, kalau panjat pinang itu udah ada dari zaman dulu? Lomba ini bukan kita yang ciptain, tapi Belanda. Mereka sebut ini sebagai De Klimmast.“
Zia menggeleng. “Aku belum banyak belajar sejarah, Abang. Aku baru kelas 1 SD!”
Bintang tertawa mendengar itu. Sekaligus ia sadar kalau dirinya sedari tadi memberi penjelasan pada Zia seolah adiknya itu adalah teman seumurannya.
“Tapi, aku pintar! Jadi, aku bakal paham-pahamin apa kata abang!”
Sekali lagi Bintang tergelak karena adiknya itu. “Oke deh, anak pintar.”
“Lanjutin ceritanya, Bang. Aku penasaran walau bingung sedikit,” ucap Zia lagi dan Bintang mengangguk.
“Tadi abang sempat bilang soal kesulitan kebutuhan pangan, 'kan? De Klimmast juga ada karena itu. Bedanya, dulu hadiahnya itu kayak makanan atau pakaian.”
Bintang berhenti sejenak. “Ada yang gak setuju lomba ini diadakan, karena mengingatkan sama kesusahan di zaman dulu. Ada juga yang setuju diadakan dengan alasan hampir sama kayak makan kerupuk tadi.”
Bintang berbalik. Semua kerupuk yang ada di tempat itu sudah ia gantungkan. Laki-laki itu mengangkat wadah bekasnya dengan sebelah tangan dan tangan satunya kembali menggandeng Zia.
“Terlepas dari semua itu. Lomba panjat pinang ini ngajarin kita buat gak menyerah walau rintangannya sesulit apa pun, buat meraih apa yang memang kita mau,” sambung Bintang lagi.
Langkah keduanya berhenti setelah itu karena seseorang menahan lengan Bintang. Orang itu tampak panik dan Bintang langsung menyimpulkan kalau ada satu masalah yang terjadi.
“Gawat, Bang! Hadiah-hadiahnya gak ada,” ucap orang itu, membuat nata Bintang membuat seketika.
“Kok bisa?” tanyanya panik.
Ada perasaan bersalah dalam diri Bintang. Di tahun ini, ia memang sudah tidak menjabat sebagai ketua. Namun, mereka masih membutuhkan bimbingannya dan Bintang tidak sepenuhnya membimbing mereka karena banyak hal yang harus ia lakukan sebagai siswa kelas akhir.
Kesibukan yang semakin membuat Bintang harus bertahan di rumah. Fokus dalam usahanya agar bisa meraih kampus yang dia inginkan. Membiarkan hari-harinya berkutat dengan buku tebal dan tulisan padat.
Bintang berusaha mendekatkan dirinya dengan cita-cita.
Waktu memang berjalan cepat. Mereka yang dulu selalu memanggil Bintang di setiap kondisi yang mereka hadapi, kini malah berusaha agar Bintang bisa diam untuk sejenak, fokus dengan apa yang memang harus Bintang utamakan.
Namun, Bintang tetap mengamati dan turut melibatkan diri.
Bintang bukannya tak mempercayai mereka. Bintang hanya merasa tidak tenang dan merasa masih bertanggung jawab untuk adik-adik. Sayangnya, Bintang tak benar-benar memperhatikan mereka sepenuhnya untuk acara kali ini.
Salahnya juga tidak bertanya ketika salah satu di antara mereka sama sekali tak ada yang melapor. Bintang hanya membantu membeli hadiah tanpa memastikan benda itu akan ditaruh di mana.
Sekarang, Bintang merasa bersalah dan kesal pada dirinya sendiri.
Bintang buru-buru merogoh sakunya. Kemudian mengambil semua uang yang ada di sana. Sayangnya, Bintang tak membawa banyak uang karena niatnya yang hanya akan membantu persiapan di lapangan saja tadi.
“Bentar, biar abang beli dulu buat ganti.”
“Eh, jangan, Bang! Itu, ’kan, uang abang.”
“Gak papa, dari pada anak-anak kecewa karena gak dapat hadiah,” ucap Bintang, “abang titip Zia, ya.”
“Abang di sini aja, biar aku yang beli,” ucap Nova, orang yang sama dengan yang barusan melaporkan hilangnya hadiah untuk lomba.
Bintang mengangguk. “Maafin abang. Harusnya abang gak selepas itu sama kalian.”
“Abang, gak papa! Kami juga minta maaf buat keteledoran ini, kami nyia-nyiain kesempatan yang abang kasih.”
Baiklah, sekarang bukan hanya Bintang yang merasa bersalah. Namun, Nova dan beberapa anggota lain yang turut menyimak percakapan mereka juga merasakan hal yang sama.
“Udah, yuk, gak papa. Sekarang usahain bisa ditutupi dulu sampai ketemu, jangan berhenti nyarinya,” ucap Pak Tio, ketua RT yang entah sejak kapan ada di sana dan menyimak perbincangan mereka.
Mereka semua mengangguk, kembali dengan pekerjaan masing-masing. Yang bagiannya sudah selesai, turut membantu dalam pencarian hadiah yang tiba-tiba hilang itu.
“Abang,” panggil Zia karena Bintang masih setia menunduk.
“Udah, Bintang. Selama ini kamu udah jadi ketua karang taruna yang baik. Sekarang aja, kamu masih bisa kasih saran buat masalah ini. Padahal kamu udah gak ngejabat,” ucap Pak Tio lagi sembari mengusapi bahu Bintang.
“Saya ngerasa bersalah, saya lepas banget sama adik-adik kemarin. Harusnya saya masih ikut serta bukan ngecek kalau inget aja. Maafkan saya, Pak.”
“Tidak masalah, kok, Bintang. Kamu ini, 'kan, sudah tidak menjabat sebagai ketua karang taruna, tapi mereka masih bergantung pada kamu. Kamu memang boleh untuk membimbing mereka, tapi bukan berarti kamu masih bertanggung jawab atas kinerja mereka.”
Bintang terdiam sejenak kemudian mengangguk paham. Pak Tio memberikan senyuman padanya sembari menepuk punggung Bintang, memberi semangat.
“Kamu udah gak menjabat sebagai ketua karang taruna, kamu sebenarnya udah gak punya tanggung jawab di sini. Tapi, bapak hargai usaha kamu yang masih bimbing mereka. Kemerdekaan itu bisa diartikan bebas, Bin. Pastikan kamu merasa bebas setelah melepas posisi kamu ini, ya.”
Pak Tio berhenti sejenak. “Kita gak mungkin sempurna, Bintang. Kesalahan dan manusia itu adalah dua hal yang memang gak bisa dipisahkan.”
Meski suasana lapangan saat itu ramai. Namun, suasana antara Bintang dan Pak Tio terasa hening. Bintang masih menunduk, memikirkan baik-baik apa maksud dari ucapan Pak Tio sebelumnya.
Benar, tidak ada yang sempurna. Kesalahan adalah hal yang tak mungkin tidak terjadi.
Setelah merasa yakin dengan apa yang akan ia katakan. Bintang kembali mengangkat wajahnya, tak lagi menunduk.
“Pak, terima kasih banyak. Saya akan mencobanya,” ucap Bintang seraya tersenyum kecil.
Apa yang Pak Tio katakan tak ada salahnya. Bintang juga harus membiarkan adik-adiknya semakin berkembang, baik itu dengan kehadirannya ataupun tidak.
Mereka harus bisa menyesuaikan keadaan dengan masalah, mencari jalan keluar tanpa melaporkan pada Bintang. Mereka tak selamanya bisa bergantung pada laki-laki itu.
“Sama-sama! Sudah, ya, saya mau lihat siapa aja peserta yang ada di daftar.”
“Ah, iya. Silahkan, Pak.”
Bintang tetap diam di posisinya sampai sosok Pak Tio menghilang dari pandangannya. Bintang kemudian beralih dan menarik napasnya dalam-dalam.
Tanggal 17 Agustus, akan selalu menjadi hari dimana Bintang akan mengenang. Lomba yang rutin setiap setahun sekali ini, bukanlah sekedar lomba. Ada kenangan, ada pengalaman, dan ada pembelajaran.
Termasuk apa yang terjadi hari ini.
Dari percakapannya dan Pak Tio, Bintang mempelajari beberapa hal. Pertama, tentang masa tanggung jawab seseorang. Membantu tidaklah salah, tapi terkadang hal itu juga ada batasnya.
Kedua, tentang manusia dan kesempurnan. Kesalahan bisa terjadi, kita hanya perlu percaya dengan setiap langkah yang kita coba ambil.
Bintang harus mencoba untuk selalu menerapkan itu pada kehidupan sehari-hari—dan ke depannya tentunya.
“Ayo, Abang. Kok malah diem, sih? Pak RT udah pergi dari tadi, tau.” Zia kembali menarik tangan Bintang, menyadarkan kakaknya dari lamunan.
Bintang terkekeh. “Maaf, ya, abang cuma kepikiran omongan Pak Tio tadi.”
Obrolan antara Bintang dan Pak Tio hari ini adalah alasan kenapa Bintang kembali mengikuti organisasi lagi. Padahal sebelumnya, ia sudah berencana untuk tak menyibukkan dirinya dengan hal itu dan fokus pada menari saja.
Ya, tapi ini dunianya. Bintang tidak punya banyak alasan untuk meninggalkannya begitu saja.
Terlebih, banyak hal menarik yang ia dapatkan dari sini.